Search This Blog

Rabu, 28 Maret 2012

Dasar Peringanan Pidana

Menurut Jonkers (1946 : 169), bahwa sebagai dasar peringanan atau pengurangan pidana yang bersifat umum, biasa disebut:
a.    Percobaan untuk melakukan kejahatan (pasal 53 KUUHP).
b.    Pembantuan (pasal 56 KUUHP); dan
c.    Strafrechtelijke minderjarigheid, atau orang yang belum cukup umur yang dapat dipidana (pasal 45 KUUHP).
Titel ketiga KUUHP hanya menyebut butir c, karena yang disebut pada butir a dan b bukanlah dasar peringanan pidana yang sebenarnya.
Pendapat Jonkers tersebut sesuai dengan pendapat Hazewinkel¬ Suringa (1973 : 571), yang mengemukakan bahwa percobaan dan pembantuan adalah bukan suatu bentuk keadaan yang memberikan ciri keringanan kepada suatu delik tertentu, tetapi percobaan dan pemban¬tuan merupakan bentuk keterwujudan yang berdiri sendiri dan tersendiri delik-delik. Jonkers (1946 : 169) menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal 53 (2) dan (3) serta pasa157(2) dan (3) KUUHP bukanlah dasar pengurangan pidana berdasarkan keadaan-keadaan tertentu; tetapi adalah algemene straffixering (penentuan pidana umum) pembuat percobaan dan pembantu, yang merupakan pranata hukum yang diciptakan khusus oleh pembuat undang-undang. Kalau di Indonesia masih terdapat satu dasar peringanan pidana umum seperti tersebut di dalam pasa145 KUUHP, maka di Nederland pasa139 oud WvS, yang mengatur hal yang sama, telah dihapuskan pada tang¬gal  9 November 1961, Staatsblad No. 402 dan 403, dan dibentuk Kinderstrafivet (Undang-undang Hukum Pidana Kanak-kanak) dan Beginselenwet voor de Kinderbescherming (Undang-undang Pokok Tentang Perlindungan Kanak-kanak), yang memerlukan karangan tersendiri.
Pasal 45 KUUHP, yang sudah ketinggalan zaman itu, mem¬berikan wewenang kepada hakim untuk memilih tindakan dan pemidanaan terhadap kanak-kanak yang belum mencapai usia 16 tahun, yaitu: mengembalikan kanak-kanak itu kepada orang tuanya atau walinya tanpa dijatuhi pidana; atau memerintahkan supaya anak¬-anak itu diserahkan kepada Pemerintah tanpa dipidana dengan syarat¬-syarat tertentu; atau pun hakim menjatuhkan pidana. Jikalau kemung¬kinan yang ketiga dipilih oleh hakim, maka kalau ia hendak menjatuhkan pidana maksimum kepada kanak-kanak itu, maka pidananya harus dikurangi dengan sepertiganya. Misalnya seorang murid SMP menghilangkan nyawa seorang murid SMA, yang usianya barulah 13 tahun. Kalau hakim hendak menjatuhkan pidana tertinggi, maka pidananya ialah 15 tahun dikurangi 5 tahun = 10 tahun penjara. Perlu juga penulis jelaskan bahwa pidana yang dijatuhkan oleh hakim tidaklah perlu yang tertinggi sebagaimana pandangan keliru sebagian mahasiswa Fakultas Hukum yang terbaca dalam skripsi mereka, tetapi hakim dapat memilih pidana yang paling ringan yaitu satu hari menurut pasal 12 (2) KUUHP sampai pidana maksimum yang ditentukan di dalam pasal 338 KUUHP yang dikurangi dengan sepertiganya, dengan kata lain pidana terendah ialah satu hari, dan yang tertinggi ialah sepuluh tahun penjara. Hanya hakim perlu memperhatikan bunyi pasal 27 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang memerintahkan hakim memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat serta memperhatikan tujuan pemidanaan yang dianut di Indonesia, yaitu membalas sambil mendidik.
Selain satu-satunya dasar peringanan pidana umum yang terdapat di dalam pasal 45 KUUHP, terdapat juga dasar peringanan pidana yang khusus yang diatur di dalam Buku Dua KUUHP, yaitu:
a.    Pasal 308 KUUHP, menetapkan bahwa seorang ibu yang menaruh anaknya di suatu tempat supaya dipungut oleh orang lain tidak berapa lama setelah anak itu dilahirkan, oleh karena takut akan diketahui orang bahwa ia telah melahirkan anak atau dengan maksud akan terbebas dari pemeliharaan anaknya, meninggalkan¬nya, maka pidana maksimum yang tersebut dalam pasal 305 dan 306 KUUHP dikurangi sehingga seperduanya. Pidana maksimum tersebut dalam pasal 305 KUUHP ialah lima tahun enam bulan penjara. Jadi pidana maksimum yang dapat dijatuhkan oleh hakim kalau terdapat unsur delik yang meringankan yang disebut dalam pasal 308 (misalnya karena takut diketahui orang bahwa ia telah melahirkan) ialah dua tahun dan sembilan bulan.
Pasal 306 (1) dan pasal 306 (2) KUUHP sesungguhnya mengandung dasar pemberatan pidana, yaitu kalau terjadi luka berat, maka pidana diperberat menjadi tujuh tahun enam bulan serta kalau terjadi kematian orang maka diperberat menjadi sembilan tahun. Jadi kalau terdapat unsur "takut diketahui bahwa ia telah melahirkan" dapat dibuktikan, maka pidana maksimumnya dikurangi dengan seperduanya.
b.    Pasal 341 KUUHP mengancam pidana maksimum tujuh tahun penjara bagi seorang ibu yang menghilangkan nyawa anaknya ketika dilahirkan atau tidak lama setelah itu, karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan. Ketentuan ini sebenarnya mempe¬ringan pidana seorang pembunuh yaitu dari 15 tahun penjara menjadi tujuh tahun, karena keadaan ibu tersebut. Sebenarnya untuk Indonesia kata "takut" harus diganti dengan perkataan "merasa aib", karena itulah yang terbanyak yang menyebabkan perempuan-perempuan membunuh bayinya. Pembunuhan bayi dan pembuangan bayi banyak terjadi oleh karena menjamumya budaya pacaran yang meruru-niru kehidupan orang-orang Barat.
c.    Pasal 342 KUUHP menyangkut Pembunuhan bayi oleh ibunya yang direncanakan lebih dahulu, yang diancam pidana maksimum sembilan tahun, sedangkan ancaman Pidana maksimum  bagi pembunuhan yang direncanakan ialah pidana mati, penjara seumur hidup atau dua puluh tahun.
Delik-delik tersebut di atas sering disebut geprivilingieerde delicten (delik privilege) atau delik yang diringankan pidananya, dan termasuk dasar pengurangan atau peringanan pidana yang subyektif. Lawannya disebut delik berkualifikasi, delik yang diperberat pi¬dananya dibandingkan dengan bentuk dasar delik itu.

< >