Search This Blog

Kamis, 06 Agustus 2015

Hukuman Mati dan Keadilan

Hukuman dan kemanusiaan adalah dua keping dari mata uang keadaban yang sama. Manusia adalah satu-satunya makhluk Tuhan yang dikaruniai kehendak bebas. Dengan kehendak sadarnya manusia memilih untuk berbuat jahat. Untuk itu, hukuman hanya ditimpakan pada manusia bukan makhluk lainnya. Perbuatan jahat dan hukumanpun menjalin hubungan kesetimpalan. Salah satu logika keadilan berbunyi “ kejahatan harus dibalas dengan hukuman yang setimpal”. Itulah mengapa kita tersengat mendengar pemerkosa hanya dikenai hukuman percobaan. Atau seorang nenek yang mengambil biji kakao diseret ke pengadilan. Logika keadilan dewasa ini bukan monopoli hakim semata melainkan bagian resmi kesadaran kolektif, seperti memiliki program yang spontan bereaksi acap kali takaran antara hukuman dan kejahatan tidak seimbang[1].
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan, walaupun pro dan kontra mengenai pidana mati sudah lama terjadi di negeri ini. Bahkan keberadaan pidana mati di Indonesia akan terus berlangsung pada waktu yang akan datang karena dalam Rancangan KUHP (Baru), pidana mati masih merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk menghukum pelaku kejahatan.
Perdebatan mengenai pidana mati juga terkait dengan hak hidup yang dalam instrumen hukum internasional maupun dalam UUD 1945 masuk dalam kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights)[2].
Hal itu dalam konteks di Indonesia dikukuhkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting. Pertama, pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh[3].
Hukuman mati adalah bentuk hukuman yang paling ultim. Disebut ultim sebab pelaku tidak sekadar diisolasi sementara dari masyarakat melainkan dilenyapkan secara total keberadaannya. Hukuman mati mengganjar pelaku kejahatan dengan sebuah fakta bernama kekosongan eksistensial. Namun, keultiman hukuman mati menuntut argumentasi yang kuat mengenai legitimasinya. Apakah nyawa seseorang adalah harga yang layak dibayar atas kejahatannya? Pertanyaan ini pasti dijawab dengan jeda waktu yang cukup lama. Menimbang adalah hal yang dilakukan apakah prinsip ketesimpalan disini berarti mengharuskan nyawa diganti dengan nyawa. Pelaku terorisme menghilangkan nyawa ratusan orang dengan bom rakitannya. Apakah satu nyawanya cukup guna menggantikan ratusan nyawa yang hilang.
Persoalannya, bagaimana yang adab dari dalam diri manusia seringkali bertanya apakah pelaku kejahatan sungguh kebal dari penyesalan. Apakah taubat dan kembali ke jalan yang benar tidak ada artinya sama sekali. Dengan hukuman mati, sayangya menutup rapat dimensi kemanusiaan dan menyekap manusia untuk tidak memiliki harapan lagi kembali kejalan yang benar. Kekeliruan ini telah menjadi kebijakan yuridis di berbagai negara seperti indonesia yang telah menghabisi nyawa manusia lewat hukuman mati mulai tahun 1998 sampai tahun 2008 sebanyak 21 orang[4].
Soal pokok yang menghantui hukuman mati adalah soal legitimasi. Sayangya, rule of the game yang berlaku pada sistem hukum indonesia adalah positivisme hukum. Bagi positivisme hukum legiitimasi dan legalitas tidak dapat dipisahkan. Apa yang tertulis pada aturan yang sudah dibuat sesuai prosedur otomatis sah. Hal ini dapat membutakan pada skema nilai tertentu yang bersembunyi di balik sistem hukum kita. Skema nilai tersebut biasanya bertopang pada lempeng kultural, entah itu sekular atau religius. Apapun, skema nilai tersebut tetap mengambang sampai mampu menerobos tembok posotivisme guna melakukan analisa jurisprudensi secara mendalam.
Sebagian agama mempromosikan prinsip kesetimpalan. Hukum duniawi pada prinsipnya mesti mencerminkan hukum ilahi yang abadi. Namun, karena terlalu awam untuk memahami keadilan Ilahi, maka prinsip kesetimpalan pun sudah lebih dari cukup. Kitab perjanjian lama mengajarkan bahwa mata harus diganti mata dan gigi harus diganti gigi. Tidak ada prinsip keadilan lain diluar prinsip kesetimpalan. Filsafat pun merefleksikan hal serupa. Immanuel kant, filsuf jerman mengatakan: “ Even if civil society were to dissolve itself by common agreement of all its member, the last murderer remaining in prison must be executed, so that everyone will duly receive what his actions are worth and so that the bllodguilt there of will not be fixed on the people because they may be ragarded as accomplices in this public violation of legal justice. (Kant, 1965: 99-106)”.
Bagi kant, kesetimpalan adalah jiwa penghukuman. Hukuman pada prinsipnya harus setimpal dengan perbuatan yang dilakukan. Namun, persoalannya perinsip kesetimpalan (retributivisme) Kant tidak mampu menjawab pertanyaan tentang apakah kejahatan layak diganjar dengan hukuman mati. Matematika keadilan dalam kasus hukuman mati tidak semudah yang dibayangkan. Jangankan mencabut nyawa orang lain, dalam ajaran agama pun dijelaskan untuk tidak dibenarkan mencabut nyawa sendiri.
Argumen lain yang biasa dipakai untuk membenarkan hukuman mati adalah utilitarianisme yang beranggapan bahwa hukuman harus memiliki konsekuensi sosial yang menguntungkan bagi masyarakat. Hukuman mati bagi utilitarianisme menghasilkan efek jera yang dapat mencegah kejahatan dapat berulang dikemudian hari. Kejahatan yang menurun tentu saja menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Hukuman mati pun menjadi objek hitung-hitungan ekonomi sosial. Kerugian yang ditimbulkan akibat hilangya nyawa pelaku tidak sebanding dengan keuntungan sosial yang diakibatkannya. Argumen ini memiliki dua persoalan. Pertama, riset membuktikan bahwa dari laju pembunuhan di negara bagian Amerika serikat yang memberlakukan hukuman mati lebih tinggi daripada laju pembunuhan di negara bagian yang menghapuskannya[5]. Artinya, efek jera yang diharapkan dari hukuman mati tidak bekerja seperti yang diharapkan. Kedua, idiologi hak asasi manusia adalah ketakterlanggaran. Hak hidup tak dapat dilanggar atas nama keuntungan sosial. Dia absolut dan wajib dihormati tanpa syarat dan kecuali.
Penjatuhan pidana mati tersebut, tidaklah dijatuhkan kepada sembarangan orang melainkan khusus kepada pelaku kejahatan khusus (extraordinary crime), yang dianggap pelakunya telah memperlihatkan dari perbuatannya bahwa ia adalah individu yang sangat berbahaya bagi masyarakat, dan oleh karena itu harus dibuat tidak berbahaya lagi dengan cara dikeluarkan dari masyarakat atau pergaulan hidup[6]. Salah satu tokoh yang mendukung keberadaan  lembaga pidana mati di negeri ini ialah ialah R. Santoso Poedjosoebroto yang merupakan mantan wakil ketua Mahkamah Agung, berpendapat pidana mati itu adalah merupakan senjata pamungkas atau akhir dalam keadilan[7],  namun dalam penjatuhan pidana mati haruslah diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak si terpidana dan eksekusinya pun dilakukan dengan cara yang patut dan berprikemanusiaan.
Keberadaan pidana mati bukan hanya menjadi sebuah permasalahan yang terjadi di Indonesia namun juga terjadi di banyak Negara lainnya. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Von Henting yang  secara terang-terangan menolak mengenai keberadaan lembaga pidana mati. Beliau berpendapat, ada pengaruh yang kriminogen dari pada pidana mati ini terutama sekali disebabkan karena Negara telah memberikan suatu contoh yang jelek dengan pidana mati tersebut sebenarnya Negaralah yang berkewajiban untuk mempertahankan nyawa manusia, dalam keadaan yang bagaimanapun.
Selain mengenai hilangnya hak untuk hidup seseorang, pidana mati juga menimbulkan permasalahan lain yang tak kalah pelik dan juga memiliki keterkaitan erat dengan ranah hak asasi manusia yaitu mengenai kapan pelaksanaan eksekusi mati dilaksanakan. Peristiwa ini terjadi dikarenakan di Indonesia tidak ada peraturan yang mengatur limit (batas) waktu  pelaksanaan eksekusi terhadap si terpidana. Hai inilah yang mengakibatkan terjadinya suatu “kumulasi pidana”. Secara normatif, kumulasi pidana ini tidak akan pernah didapati dasar hukum dan pengakuan mengenai keberadaannya, namun di dalam prakteknya akan sering kali diketumukan. Maka dapat penulis katakan bahwa penundaan eksekusi yang terlalu lama menyebabkan terjadinya “kumulasi pidana” penjara dan pidana mati terhadap si terpidana.
Sosiologi hukum adalah analisa sosiologis terhadap hukum. Dalam disiplin sosiologi, hukum dijadikan obyek penelitiannya dan diasumsikan sebagai gejala sosial. Sebaliknya, sosiologi dijadikan perspektif di dalam menjelaskan gejala hukum. Keduanya memiliki ciri utama yaitu bersifat teoritis sedangkan yang kedua bersifat aplikatif. Makalah ini mengambil tema efektivitas hukuman mati di Indonesia. Dalam hal ini, penulis berusaha mengkaji perspektif sosiologis dalam hukum. Aplikasinya akan memperlihatkan hukuman mati sebagai suatu gejala hukum dikaitkan dengan efektivitas hukum sebagai obyek kajian sosiologi hukum.
Jika dihubungkan dengan hukuman mati, maka akan diketahui apakah hukum yang mengatur mengenai hukuman mati memiliki konsekuensi sosial, apakah perundang-undangan yang masih menerapkan hukuman mati sudah tepat, apakah tujuan diadakannya hukuman mati dan proses sosial seperti apa yang hendak dicapai dari adanya hukuman mati tersebut.



[1] J.E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 5-6.
[2] P.AF. Lamintang & D. Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek Van Het Nederlanches Strafrecht), Pionir Jaya, Bandung, 1992, hlm. 393.
[3] Djoko Prakoso & Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal 57.
[4]  ibid., hlm. 127.
[5] Data IMPARSIAL
[6]  Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 105.
[7] Djoko Prakoso & Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal 57.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

< >