Search This Blog

Kamis, 06 Agustus 2015

YURISPRUDENSI FEMINISME (Patricia Smith).



            Sejak tahun 1980-an, minat dan upaya yang menantang dalam studi hukum tercurah pada kajian yurisprudensi feminisme (lihat Smith, 1993). Pengetahuan hukum feminisme menampilkan karakteristik yang cukup beragam. Sebagaimana yang sudah lazim diketahui bahwa ada berbagai mazhab pemikiran mengenai feminisme, bukan hanya satu mazhab saja, dan oleh karena itu ada berbagai teori hukum feminisme, bukan satu saja. Pertanyaaan selanjutnya yang patut dikemukakan adalah apakah yurisprudensi feminisme itu dan mengapa penting untuk dikaji? Kesamaan ciri apa yang terdapat pada semua teori hukum feminisme dan ciri apa yang membedakannya dengan semua teori hukum lain? (Ciri apa yang berlaku sama dalam teori hukum feminisme?) Kedua, pengetahuan hukum apa yang dapat diperoleh dari teori hukum feminisme? (Apa dasar pembenar teori hukum feminisme sebagai yurisprudensi?) Ketiga, manfaat apa yang diperoleh dalam analisis yurispridensi feminisme? Sekiranya suatu yurisrudensi feminisme yang spesifik diterapkan, apa fungsi hukumnya? Pertanyaan-pertanyaan di atas dilontarkan sehubungan adanya penolakan terhadap yurisprudensi feminisme yang menyatakan bahwa: (a) yurisprudensi feminisme bukanlah yurisprudensi “yang memadai”; (b) yurisprudensi feminisme memihak diri; dan  (c) yuridprudensi feminisme tidaklah penting dari segi filsafat. Penolakan tersebut menafikkan legitimasi yurisprudensi feminisme sebagai suatu disiplin filsafat. Karena itu, patut kiranya masing-masing pertanyaan yang dilontarkan di atas maupun pernyataan penolakan terhadap yurisprudensi feminisme dikaji secara terpisah.
            Apa dasar pembenar “yurisprudensi feminisme” dianggap sebagai yurisprudensi? Yurisprudensi adalah analisis mengenai kaitan hukum, konsep-konsep dan prinsip-prinsip hukum. Dengan bertumpu pada analisis seperti itu, sahih kiranya teori hukum feminisme diterima sebagai yurisprudensi. Lalu mengapa timbul penolakan untuk menerimanya sebagai yurisprudensi? Penolakannya didasarkan pada argumen bahwa yurisprudensi feminisme mengandung makna yang kontradiktif. Yurisprudensi adalah analisis prinsip hukum universal yang netral, sehingga ditilik dari segi hukum feminisme dianggap memihak diri (self-interested). Namun logika argumen ini sungguh keliru: (1) feminisme dipandang memihak diri adalah argumen yang keliru; dan (2) yurisprudensi netral nilai (netral terhadap nilai moral ataupun politik) juga adalah argumen yang keliru.
            Feminisme menyanggah argumen (1) di atas. Yurisprudensi feminisme justru tidak memihak diri ketika diperhadapkan dengan yurisprudensi universal sebagaimana yang nyata berlaku, karena faktanya, patriakisme diterima sebagai analisis objektif prinsip dan konsep hukum yang netral. Sebetulnya, banyak yurisprudensi feminisme membuktikan bahwa yurisprudensi tradisional dan hukum tidaklah netral atau universal, tetapi termencengkan (bias) akibat budaya dominan yang berlaku, sehingga mengabaikan pihak lain (lihat Smith, 1993; Estrich, 2001; MacKinnon, 2006 ). Jadi, penolakan atas legitimasi yurisprudensi feminisme mendasarkan pada logika ciri yurisprudensi dan hukum yang dianut feminisme. Karena itu, penolakan ini mengandung kekeliruan mendasar dalam memandang objek yurisprudensi feminisme yang bukan bertujuan menata ulang (rekonstruksi) institusi hukum bagi kalangan feminis, malah merekonstruksi institusi hukum yang mengabaikan feminis. Yakni, bertujuan untuk menghapus kemencengan dengan alasan bahwa feminis memihak diri. Jadi, meskipun feminis memihak diri, memihak diri yang dimaksud di sini adalah memihak dalam membela diri yang bertujuan demi menegakkan keadilan, bukan memberi perlakuan khusus dirinya. Karena itu, argumen yang menyatakan bahwa feminis memihak diri yang tidak mengandung dasar pembenar sungguh keliru.
            Argumen (2) yang menyatakan bahwa yurisprudensi adalah netral adalah argumen yang keliru. Argumen ini hanya menafsirkan yurisprudensi pada lingkup spesifik. Pemahaman yurisprudensi dikelompokkan dalam pemahaman luas dan sempit. Dalam pemahaman luas, teori-teori yurisprudensi bertumpu pada teori-teori politik yang berimplikasi terhadap hukum. Misalnya, teori liberal, Marxis dan sosialis adalah sumber dalam memahami yurisprudensi (yakni, teori-teori hukum) dan berimplikasi terhadap teori-teori hukum. Ketika orang  mengutarakan yurisprudensi menurut paham liberal atau paham sosialis, pemahaman yurisprudensinya tergantung ideologi politik yang dianut. Jadi jelas bahwa pemahaman yurisprudensi dalam lingkup luas tidaklah netral, malah cenderung sebaliknya.
            Banyak (tetapi tidak semua) yurisprudensi feminisme berkait dengan satu atau lebih teori-teori politik ini. Misalnya, feminisme liberal sejak dirumuskan oleh Mary Wollstonecraft selalu menegaskan bahwa nilai-nilai liberal memberikan kebebasan sepenuhnya bagi kalangan perempuan, persis pula yang dikaji oleh Baer (2004). Sebaliknya, feminisme sosialis berpendirian bahwa prinsip-prinsip sosialis harus melenyapkan setiap upaya dominasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Jaggar (1983). Teori-teori feminisme acapkali mengabaikan perempuan atau mengakui diskriminasi jenis kelamin jika ditilik hubungannya dengan teori-teori umum politik. Disamping itu, yurisprudensi feminisme juga berkombinasi dengan beberapa teori-teori politik lain, seperti pragmatisme (Williams, 2001), teori postmodernisme kritis (Cornell, 2007), teori radikal murni (MacKinnon, 1989, 2006), teori ras kritis (Crenshaw et all., 1996), feminisme post-Kolonial (Mirza, 2006), atau studi hukum kritis (Minow, 1991; Rhode, 1997). Tak ada yurisprudensi feminisme yang berlaku tunggal, tak ada paham politik tunggal yang berkait dengan feminisme, kecuali feminisme itu sendiri, yang juga bermuatan paham politik (paham yang mendukung kebebasan dan keadilan bagi perempuan). Jadi segenap teori feminisme memuat paham politik. Bentuknya bervariasi tergantung kombinasinya dengan teori-teori lain.
            Disamping pemahaman berlingkup luas, ada pula pemahaman yurisprudensi yang berlingkup sempit yang acapkali berlaku setara bagi segenap yurisprudensi. Jadi, legitimasi pemahaman yurisprudensi berlingkup luas acapkali disangsikan, sehingga ada alasan dasar memandang yurisprudensi feminisme sebagai yurisprudensi “hakiki”. Pemahaman yurisprudensi berlingkup luas berbeda dengan pemahaman yurisprudensi berlingkup sempit. Namun pemahaman sempit yurisprudensi – setidaknya pemahaman yang menolak legitimasi yurisprudensi feminisme – terbuka untuk diperdebatkan.
            Pemahaman yurisprudensi berlingkup sempit umumnya menyangkut pertanyaan:       apakah hukum itu? Untuk menelaah pertanyaan ini, para filsuf memusatkan analisisnya pada konsep hukum, yakni konsep dan hubungan hukum, serta fungsi hukum khususnya penalaran hukum. Ditilik dari sejarahnya, ada tiga teori utama yang menyangkut ketiga konsep ini.
            Teori pertama adalah teori hukum dasar (natural law). Teori ini memandang hukum sebagai suatu prinsip penalaran yang mesti dilestarikan demi kemaslahatan umum oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk melaksanakannya. Hukum dasar antara lain menyatakan bahwa hubungan hukum dan moralitas adalah niscaya, sehingga hukum yang tak mengandung nilai moral dipandang tidak absah atau tidak ditolak.         
            Teori kedua adalah positivisme hukum (law positivism) yang mendominasi hukum di abad 19. Teori ini menyanggah teori hukum dasar sebagai konsep yang membingungkan perihal ukuran moral menurut hukum. Teori positivisme hukum memandang hukum tidak netral nilai. Penganut paham positivisme mendefinisikan hukum sebagai suatu sistem kaidah yang dijabarkan melalui prosedur resmi, mengikat bagi para birokrat dan dipatuhi oleh masyarakat.
            Teori ketiga, realisme hukum (legal realism) yang berkembang di abad 20, yang menyangsikan teori hukum dasar sebagai teori hukum yang samar dan adiabstrak (metaphysical), dan memandang teori positivisme hukum terlampau kaku dan abstrak.Teori hukum ini menyatakan bahwa hukum pada dasarnya menampilkan karakteristik sekaligus tak terpisahkan dengan ideologi politik, dimana teori ini memandang hukum sebagai penyelesaian perselisihan dengan menerima otoritas keputusan pengadilan; atau ringkasnya, hukum adalah apa yang diputuskan oleh para hakim. Para pengeritik teori-teori hukum ini terus memperdebatkan karakteristik dasar hukum dan fungsi yurisprudensi yang memadai hingga sekarang.
            Berdasarkan sejarah hukum yang dipapar di atas tampak jelas bahwa yurisprudensi tradisional terbagi menjadi dua sub-kategori: yurisprudensi normatif dan deskriptif. Pembagian ini dirumuskan oleh John Austin, tokoh positivisme hukum abad 19 yang menyumbangkan gagasannya dalam “menetapkan lingkup yurisprudensi yang dipandang tepat”. Menurut Austin, ranah yang layak bagi yurisprudensi adalah analisis deskriptif hukum positif, konsep dasar dan hubungannya. Menurutnya, analisis hukum normatif adalah ranah yang layak bagi perundang-undangan (legislation), bukan yurisprudensi, dan keduanya tidak mesti dikacaukan tafsirannya, sebab hukum dan moralitas seharusnya tidak dikelirupahami.
            Pengaruh kuat pandangan ini tertuang dengan jelas dalam Kamus Hukum Black’s Law Dictionary yang mendefinisikan yurisprudensi sebagai:
pengetahuan hukum yang fungsinya menjamin prinsip-prinsip yang bertumpu pada kaidah-kaidah hukum, yang bukan hanya berfungsi mengklasifikasi kaidah-kaidah hukum tersebut dalam tatatertib yang tepat … melainkan pula tata cara dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum yang meragukan berdasarkan kaidah-kaidah yang memadai. Yurisprudensi lebih menyangkut hal formal ketimbang pengetahuan materi hukum (material science). Yurisprudensi tidak bersangkut paut langsung dengan persoalan-persoalan moral ataupun kebijakan politik, karena persoalan-persoalan seperti itu berada dalam wilayah etika dan perundang-undangan.

            Definsi di atas menunjukkan dengan jelas pemecahan yang baik sekali perihal kontroversi yang berlangsung lama dan berkelanjutan antara teoritikus positivisme hukum (law positivism) dan teoritikus hukum dasar (natural law), karena definisi tersebut mengungkapkan dengan tegas positivisme hukum sebagai satu-satunya yurisprudensi sejati. Sungguh sayang, persoalan-persoalan filsafati kerapkali tidak mudah dituntaskan, dan barangkali peminat yang ingin mengkaji pengetahuan hukum dasar (natural law) tidak akan memperoleh jawaban-jawaban mereka dari definisi yurisprudensi di atas. Namun bagaimana pun, definisi yurisprudensi dalam kamus tersebut benar-benar menunjukkan kekuatan pengaruh positivisme hukum dalam dunia pemikiran hukum Amerika, serta ciri pendekatan dalam menyelesaikan masalah hukum sebagaimana yang disarankan oleh Austin. Dengan demikian, jelas bahwa pandangan ini menjadi alasan dasar untuk membantah argumen yang menyatakan bahwa feminisme netral bertentangan dengan definisi yurisprudensi.
            Aspek penting yang diwartakan dalam definisi Kamus Black ’s Law Dictionary adalah adanya upayanya untuk netral, mengikatkan diri pada kemencengannya sendiri terhadap semua teori kecuali satu, yakni mengadopsi definisi teori positivisme hukum dalam menetapkan persyaratan yurisprudensi: suatu definisi yang nyaris netral.
            Ciri hukum dipengaruhi oleh paham politik tidaklah dapat disangkal, sehingga bagaimana pun yurisprudensi tidaklah netral dan tentu saja bukan ditilik menurut definisi bersyarat (stipulative definition), karena memang paham pemikiran politik berimplikasi terhadap hukum sebagai persoalan pokok yurisprudensi. Dengan demikian, yurisprudensi tidaklah netral, dan menunjukkan bahwa asumsi yang mendasari penolakan atas legitimasi feminisme sebagai yurisprudensi adalah argumen yang keliru. Jadi yurisprudensi feminisme benar-benar sebagai yurisprudensi menurut positivisme hukum atau tidak tergolong yurisprudensi menurut hukum dasar (natural law). Hal ini tidak lantas dikatakan bahwa aliran positivisme hukum dan hukum dasar keliru. Penganut paham positivism hukum dapat mengklaim hukum dasar keliru, namun tidak keliru jika tidak menggolongkan yurisprudensi feminisme bukan yurisrudensi, dan demikian pula paham lain yang mengeritik feminisme.
            Pertanyaan yang lebih sulit dituntaskan adalah bagaimana menjadikan yurisprudensi feminisme sebagai feminisme yang khas? Keragaman paham feminisme memunculkan berbagai kritik (dan bahkan dari kalangan feminis sendiri) yang menyangsikan bahwa tak ada perspektif feminisme yang berlaku umum. Tak ada penjelasan yang membedakan yurisprudensi feminisme dari semua filsafat hukum lain. Semua paham feminisme sebenarnya adalah hasil dari jabaran mazhab pemikiran tertentu, sehingga teori-teori feminisme mengandung paham yang berbeda-beda. Feminsime liberal adalah turunan dari paham liberal, feminisme postmidernisme berkiblat dari paham postmodernisme Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa feminisme tidak menawarkan gagasan baru, atau teori yang khas. Hal ini karena penerapan teori-teori lama menimbulkan masalah pengabaian dan penindasan kalangan feminis.
            Lagipula, semua perempuan tidak menganut sudut pandang yang sama. Sekiranya dianggap sebagai satu pandangan, feminisme hanyalah pandangan beberapa kelompok perempuan yang berupaya mencerahkan kelompok perempuan lain. Faktanya bahwa mayoritas perempuan di seluruh dunia ada yang tidak setuju dengan paham feminisme, atau sama sekali tidak berupaya mengangkat masalah feminisme. Rupanya hal ni merupakan masalah bagi kalangan perempuan dalam merepresentasikan diri mereka. Ini adalah masalah yang begitu serius.
            Tak disangsikan lagi bahwa perempuan menampilkan keragaman potret sebagai manusia. Ada yang kaya, miskin, lemah, kuat, pendominasi, pasif, kelas sosial tinggi, kelas sosial rendah, rasional, irasional. Perempuan adalah bagian dari ras, kebangsaan, kelas, ataupun kelompok etnik. Jadi mengapa ada sudut pandang yang menyangkal feminisme? Upaya apa yang ditempuh kalangan perempuan secara umum?
            Apa yang kita saksikan ketika melihat perempan tunawisma ketika melintasi Grand Central Station, atau pemandangan lain yang belum pernah kita saksikan di kota kita? Apa upaya kalangan pendidik di universitas perihal prostitusi, ketergantungan obat, kelompok perempuan, eksekutif perempuan, kasir, atau perempuan yang menghuni panti jompo? Bagaimana kita berbicara atas nama mereka?
            Bagaimana potret perempuan secara umum tanpa memandang ras, kelas sosial, agama, jabatan, kebangsaan, kesukuan atau latar belakang? Perempuan hidup dalam dunia patriarki. Segenap peran perempuan berada dalam dunia patriarki. Fakta yang tak tersangkal lagi, ibarat udara. Segenap kalangan perempuan berada dalam suatu potret dunia yang menampilkan  realitas tertentu – suatu potret yang secara nyata dan sistematis terabaikan dari segi gender.  Sebagaimana yang diungkapkan dari sisi gambaran feminisme radikal, bahwa gender terkonstruksi secara sosial: dominasi laki-laki dan kelemahan perempuan, otonomi laki-laki dan pengekangan perempuan, dan pemujaan laki-laki dan pengerdilan perempuan, atau pembatasan perempuan, yang semuanya menjadi sebagai dasar pembenar karena kebutuhan dan perbedaan alamiah, atau pembatasan perempuan yang diungkapkan dalam jargon netral nilai (lihat MacKinnon, 1998, 2006). Bagaimanapun teori ini bukanlah dipungut dari mazhab pemikiran manapun.
            Feminis barangkali tidak sependapat satu sama laim perihal apa yang menyebabkan penolakan terhadap dominasi gender, atau pendekatan apa yang dapat ditempuh dalam meningkatkan kondisi perempuan, atau yang paling rentang terhadap kekerasan ataupun kekeliruan pemahaman. Mereka barangkali tidak sepaham esensi masalah. Namun demikian, semua teori feminism bertujuan untuk membebaskan perempuan dari dominasi gender.
            Dominasi jenis kelamin menampilkan berbagai bentuk. Dominasi ini ditemukan dalam sikap sosial perihal kasus perkosaan, penganiayaan istri, kekerasan seksual, iklan, dan tanggung jawab keluarga, untuk menyebut beberapa contoh. Kebanyakan sikap sosial tersebit tercermin dalam hukum. Sikap sosial ini adalah bagian dari jutaan pengaruh dan implikasi patriarki. Dengan demikian, keragaman teori-teori feminisme sebagian merupakan gambaran atas tindakan tak wajar dari patriarki dan variasi pengaruhnya beragam.
            Keragaman itu juga disebabkan oleh adanya perspektif lain perihal perbedaan pemikiran feminisme. Akibatnya, feminis mengadopsi berbagai pendekatan yang berbeda dalam mewacanakan patriakri. Misalnya, beberapa pendekatan memusatkan pada kegagalan global hukum dalam memecahkan secara memadai kekerasan terhadap perempuan dalam wujud perkosaan, mesum dan kekerasan rumah tangga (lihat misalnya., Schneider, 2000; Estrich, 2001; Manderson, 2003; Husseini, 2007). Pendekatan lain menganalisis ketimpangan akibat struktur ekonomi berjenjang, dan khususnya pembedaan antara keluarga dan ekonomi pasar (lihat misalnya., Olsen, 1983 ; Williams, 2001; Fineman, 2004; McClain, 2006 ). Perpepektif lain menelaah struktur nilai yang berkait dengan peran tradisional laki-laki dan perempuan, menurutu pandangan dalam hukum dan dibenarkan menurut pandangan agama (misalnya., Peach, 2002; Reed, & Pollitt, 2002; Mirza, 2006 ). Pendekatan lain juga menelaah penyimpangan gender akibat faktor-faktor lain dari identitas dan diskriminasi, seperti ras, kesukuan, kelas, ketidakberdayaan, maupun usia (lihat Crenshaw, 1989; Crenshaw et al., 1996; Roberts, 2002; Nussbaum, 2006 ). Semua pendekatan ini baik sebagian atau secara keseluruhan diperlukan. Masing-masing menelaah beberapa aspek kemencengan patriakri.
            Namun tidak lantas ada jaminan bahwa teori-teorifeminisme mengandung ciri khas yang sama. Untuk menelaah teori-teori feminisme itu khas, kita tidak membandingkan teori-teorinya satu sama lain, melainkan dengan pandangan anti-feminis atau non-feminis. Perbedaan-perbedaan ini akan memperlihatkan dengan jelas hal yang berlaku umum pada semua teori feminisme sekaligus pula apa yang berlaku khas pada masing-masing teorinya.
            Hal ini terlihat jelas dalam debat antara Cahtherine MacKinnon dan Phyllis Schlafly perihal masalah ERA sebagai contoh perselisihan pandangan anti-feminis terhadap feminis (lihat MacKinnon, 1989). Apa yang diperdebatkan? Fokus debarnya adalah seputar perbedaan pandangan perihal apakah peran tradisional laki-laki dan perempuan harus diubah atau terus dilestarikan. Bagaimana tradisi pemikiran ini dikemukakan tergantung pada sudut pandang masing-masing pihak. Penganut paham feminis menjelaskan pengaruh peran tradisional dan institusi ini sebagai dominasi jenis kelamin. Sebaliknya anti-feminis menganggapnya sebagai pelestarian nilai-nilai keluarga. Feminis berpandangan bahwa patriakri mesti berubah dan antifeminis mesti dipertahankan. Kedua paham setuju bahwa isu ini sungguh penting.
            Di sisi lain teori non-feminis memandang bahwa patriarki tidak dipandang penting. Namun feminis umumnya berpandangan adanya implikasi dan pengaruh patriarki yang relevan terhadap beberapa aspek dibanding yang dipahami non-feminis. Sebenarnya, aspek penting dari upaya feminis adalah memandu non-feminis, atau dengan kata lain, memperjelas pengaruh patriarki yang umumnya tak terselami. Misalnya, upaya feminis untuk memperjelas bahwa struktur institusi tertentu – seperti hukum perlindungan yang setara dibentuk terhadap norma-norma patriarki sebagai standar perbandingan (lihat Allen, 2005 atau Fineman and Dougherty, 2005), konsep-konsep seperti hukum perceraian dan tuduhan pemerkosaan (Etrich, 2001), atau kebijakan seperti non-intervensi atas kekerasan rumah tangga sebagai respek terhadap hak privasi atau keluarga (Schneider, 2000; Husseini, 2007), atau pemeriksaan yudisial (Minow, 1991) yang terbiaskan atau bermuatan nilai, yang dikatakan sebagai netral.
            Jadi, secara umum, anti-feminis mendukung patriarki. Non-feminis mengabaikan patrarki. Dan feminis menentang patrarki. Jadi, suatu gambaran yang mengidentifikasi atau menggolongkan suatu teori sebagai feminis, adalah perlunya perubahan patriarki sebagai fokus sentralnya. Dengan kata lain menjadikan yurisprudensi feminisme sebagai khas feminis tanpa memandang variasi teori-teorinya.
            Jadi yurisprudensi feminisme adalah yurisprudensi karena menganalisis hubungan hukum, konsep dan prinsip hukum yang mendasar. Yurisprudensi feminis tergolong feminis karena menguji dan menentang patriarki. Namun mengapa tidak ada upaya besar terhadap yurisprudensi secara menyeluruh ketimbang sub-kelompok kecil saja? Formulasi pertanyaan ini menyingkapkan sendiri jawabannya. Feminis mengklaim bahwa patriarki merupakan struktur tak adil yang tampak nyata dalam semua tatanan sosial, dan tujuan feminis adalah menata ulang struktur tersebut. Siapa pun yang menyangkal atas upaya ini, ia ibarat tuan feodal. Sekiranya seseorang memandang klaim ini dalam pemahaman sempit, hal itu karena ia tidak meyakininya, atau barangkali tidak memahaminya karena mesti dilakukan secara bertahap dan damai.
            Untuk memperjelas pandangan feminis bagi yang belum meyakininya, maka ada beberapa argumen instrumental yang dapat diberikan. Pertama, menurut sifatnya, hukum cenderung memelihara status quo. Hukum adalah suatu sistem tatanan yang bertujuan melestarikan stabilitas. Yakni nilainya; namun dapat pula sulit untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan, khususnya perubahan sosial sistematis berskala luas. Kedua, hukum biasanya mewujudkan nilai-nilai, sikap, harapan, dan anggapan budaya dominan (yang biasanya tergambarkan sebagai nilai-niai universal dan/atau netralitas atas fakta-fakta kehidupan).
            Gambaran ini menjadikan hukum sulit menyesuaikan diri terhadap keragaman dalam pola yang benar-benar terbuka dan sederajat. Namun dalam dunia yang diwarnai oleh perubahan sosia yang cepat, pluralisme dan keragaman global, maka keterbatasan yang dihadapi hukum tergolong serius. Jika hukum hendak diwujudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum, hukum mesti mengakomodasi perubahan sosial dan keragaman budaya yang lebih baik disbanding strukturnya dan tradisinya saat ini. Budaya dominan – pihak yang terus melestarikan kekuasaan, menjadikan hukum dan kebijakan pblik serta pengembangan institusi – akan lumpuh dalam memecahkan masalah ini.
            Sekiranya hukum berdiri demi keadilan, maka hukum mutlak adil bagi semua. Namun faktanya hukum tergerus dalam menjamin keadilan bagi pihak-pihak di luar budaya dominan. Masyarakat kulit hitam, penduduk asli Amerika (Indian), dan Cina (untuk menyebutkan tiga dari banyak contoh) serta kalangan perempuan tidak memperoleh standar keadilan yang sederajat sebagaimana sebagaimana yang dgaungkan dalam semboyan “keadilan untuk semua”. Ketimpangan ini belum terkoreksi. Bintik buta kita masih nyata. Analis feminis adalah salah satu lensa koreksi terbaik yang ada saat ini karena mereka bersuara dari posisi di pihak luar. Hal ini memungkinkan mereka menjadi lebih kreatif, kurang terikat oleh tradisi, kurang dibutakan oleh derajatnya sendiri.
            Feminis dibekali motivasi untuk merumuskan cara-cara mengakomodasi perubahan dan keragaman dalam hukum, karena program feminis adalah bagian dari perkembangan baru yang diabaikan, dan karena kalangan feminis adalah pihak yang terpencilkan secara hukum yang berikhtiar meminta pengakuan. Sebenarnya, beberapa karya feminis telah menyuguhkan kajian yang berguna perihal apakah norma itu netral atau menceng, dan bagaimana mekanisme hukum diperbaharui dan dikembangkan guna meningkatkan daya kelenturan dan kepekaannya.
            Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan di atas, yurisprudensi feminisme sudah barang tentu menjadi minat kajian umum. Yurisprudensi feminis adalah satu-satunya filsafat hukum yang tengah berkonfrontasi dengan patriarki sebagai isu utama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

< >