Sejak tahun 1980-an, minat dan upaya yang menantang dalam studi
hukum tercurah pada kajian yurisprudensi feminisme (lihat Smith, 1993).
Pengetahuan hukum feminisme menampilkan karakteristik yang cukup beragam.
Sebagaimana yang sudah lazim diketahui bahwa ada berbagai mazhab pemikiran
mengenai feminisme, bukan hanya satu mazhab saja, dan oleh karena itu ada
berbagai teori hukum feminisme, bukan satu saja. Pertanyaaan selanjutnya yang
patut dikemukakan adalah apakah yurisprudensi feminisme itu dan mengapa penting
untuk dikaji? Kesamaan ciri apa yang terdapat pada semua teori hukum feminisme
dan ciri apa yang membedakannya dengan semua teori hukum lain? (Ciri apa yang
berlaku sama dalam teori hukum feminisme?) Kedua, pengetahuan hukum apa yang
dapat diperoleh dari teori hukum feminisme? (Apa dasar pembenar teori hukum
feminisme sebagai yurisprudensi?) Ketiga, manfaat apa yang diperoleh dalam
analisis yurispridensi feminisme? Sekiranya suatu yurisrudensi feminisme yang
spesifik diterapkan, apa fungsi hukumnya? Pertanyaan-pertanyaan di atas
dilontarkan sehubungan adanya penolakan terhadap yurisprudensi feminisme yang
menyatakan bahwa: (a) yurisprudensi feminisme bukanlah yurisprudensi “yang
memadai”; (b) yurisprudensi feminisme memihak diri; dan (c) yuridprudensi feminisme tidaklah penting
dari segi filsafat. Penolakan tersebut menafikkan legitimasi yurisprudensi
feminisme sebagai suatu disiplin filsafat. Karena itu, patut kiranya
masing-masing pertanyaan yang dilontarkan di atas maupun pernyataan penolakan
terhadap yurisprudensi feminisme dikaji secara terpisah.
Apa dasar pembenar “yurisprudensi feminisme” dianggap
sebagai yurisprudensi? Yurisprudensi adalah analisis mengenai kaitan hukum,
konsep-konsep dan prinsip-prinsip hukum. Dengan bertumpu pada analisis seperti
itu, sahih kiranya teori hukum feminisme diterima sebagai yurisprudensi. Lalu
mengapa timbul penolakan untuk menerimanya sebagai yurisprudensi? Penolakannya
didasarkan pada argumen bahwa yurisprudensi feminisme mengandung makna yang
kontradiktif. Yurisprudensi adalah analisis prinsip hukum universal yang
netral, sehingga ditilik dari segi hukum feminisme dianggap memihak diri (self-interested). Namun logika argumen
ini sungguh keliru: (1) feminisme dipandang memihak diri adalah argumen yang
keliru; dan (2) yurisprudensi netral nilai (netral terhadap nilai moral ataupun
politik) juga adalah argumen yang keliru.
Feminisme menyanggah argumen (1) di atas. Yurisprudensi
feminisme justru tidak memihak diri ketika diperhadapkan dengan yurisprudensi
universal sebagaimana yang nyata berlaku, karena faktanya, patriakisme diterima
sebagai analisis objektif prinsip dan konsep hukum yang netral. Sebetulnya,
banyak yurisprudensi feminisme membuktikan bahwa yurisprudensi tradisional dan
hukum tidaklah netral atau universal, tetapi termencengkan (bias) akibat budaya
dominan yang berlaku, sehingga mengabaikan pihak lain (lihat Smith, 1993;
Estrich, 2001; MacKinnon, 2006 ). Jadi, penolakan atas legitimasi yurisprudensi
feminisme mendasarkan pada logika ciri yurisprudensi dan hukum yang dianut
feminisme. Karena itu, penolakan ini mengandung kekeliruan mendasar dalam
memandang objek yurisprudensi feminisme yang bukan bertujuan menata ulang
(rekonstruksi) institusi hukum bagi kalangan feminis, malah merekonstruksi
institusi hukum yang mengabaikan feminis. Yakni, bertujuan untuk menghapus kemencengan
dengan alasan bahwa feminis memihak diri. Jadi, meskipun feminis memihak diri,
memihak diri yang dimaksud di sini adalah memihak dalam membela diri yang
bertujuan demi menegakkan keadilan, bukan memberi perlakuan khusus dirinya.
Karena itu, argumen yang menyatakan bahwa feminis memihak diri yang tidak
mengandung dasar pembenar sungguh keliru.
Argumen
(2) yang menyatakan bahwa yurisprudensi adalah netral adalah argumen yang
keliru. Argumen ini hanya menafsirkan yurisprudensi pada lingkup spesifik.
Pemahaman yurisprudensi dikelompokkan dalam pemahaman luas dan sempit. Dalam pemahaman luas,
teori-teori yurisprudensi bertumpu pada teori-teori politik yang berimplikasi
terhadap hukum. Misalnya, teori liberal, Marxis dan sosialis adalah sumber
dalam memahami yurisprudensi (yakni, teori-teori hukum) dan berimplikasi
terhadap teori-teori hukum. Ketika orang
mengutarakan yurisprudensi menurut paham liberal atau paham sosialis,
pemahaman yurisprudensinya tergantung ideologi politik yang dianut. Jadi jelas
bahwa pemahaman yurisprudensi dalam lingkup luas tidaklah netral, malah
cenderung sebaliknya.
Banyak (tetapi tidak semua) yurisprudensi feminisme
berkait dengan satu atau lebih teori-teori politik ini. Misalnya, feminisme
liberal sejak dirumuskan oleh Mary Wollstonecraft selalu menegaskan bahwa
nilai-nilai liberal memberikan kebebasan sepenuhnya bagi kalangan perempuan,
persis pula yang dikaji oleh Baer (2004). Sebaliknya, feminisme sosialis
berpendirian bahwa prinsip-prinsip sosialis harus melenyapkan setiap upaya
dominasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Jaggar (1983). Teori-teori feminisme
acapkali mengabaikan perempuan atau mengakui diskriminasi jenis kelamin jika
ditilik hubungannya dengan teori-teori umum politik. Disamping itu,
yurisprudensi feminisme juga berkombinasi dengan beberapa teori-teori politik
lain, seperti pragmatisme (Williams, 2001), teori postmodernisme kritis (Cornell,
2007), teori radikal murni (MacKinnon, 1989, 2006), teori ras kritis (Crenshaw
et all., 1996), feminisme post-Kolonial (Mirza, 2006), atau studi hukum kritis
(Minow, 1991; Rhode, 1997). Tak ada yurisprudensi feminisme yang berlaku
tunggal, tak ada paham politik tunggal yang berkait dengan feminisme, kecuali
feminisme itu sendiri, yang juga bermuatan paham politik (paham yang mendukung
kebebasan dan keadilan bagi perempuan). Jadi segenap teori feminisme memuat
paham politik. Bentuknya bervariasi tergantung kombinasinya dengan teori-teori
lain.
Disamping pemahaman berlingkup luas, ada pula pemahaman
yurisprudensi yang berlingkup sempit yang acapkali berlaku setara bagi segenap
yurisprudensi. Jadi, legitimasi pemahaman yurisprudensi berlingkup luas acapkali
disangsikan, sehingga ada alasan dasar memandang yurisprudensi feminisme
sebagai yurisprudensi “hakiki”. Pemahaman yurisprudensi berlingkup luas berbeda
dengan pemahaman yurisprudensi berlingkup sempit. Namun pemahaman sempit
yurisprudensi – setidaknya pemahaman yang menolak legitimasi yurisprudensi
feminisme – terbuka untuk diperdebatkan.
Pemahaman yurisprudensi berlingkup sempit umumnya
menyangkut pertanyaan: apakah hukum
itu? Untuk menelaah pertanyaan ini, para filsuf memusatkan analisisnya pada
konsep hukum, yakni konsep dan hubungan hukum, serta fungsi hukum khususnya
penalaran hukum. Ditilik dari sejarahnya, ada tiga teori utama yang menyangkut
ketiga konsep ini.
Teori pertama adalah teori hukum dasar (natural law). Teori ini memandang hukum
sebagai suatu prinsip penalaran yang mesti dilestarikan demi kemaslahatan umum
oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk melaksanakannya. Hukum dasar
antara lain menyatakan bahwa hubungan hukum dan moralitas adalah niscaya,
sehingga hukum yang tak mengandung nilai moral dipandang tidak absah atau tidak
ditolak.
Teori kedua adalah positivisme hukum (law positivism) yang mendominasi hukum di abad 19. Teori ini
menyanggah teori hukum dasar sebagai konsep yang membingungkan perihal ukuran moral menurut hukum.
Teori positivisme hukum memandang hukum tidak netral nilai. Penganut paham
positivisme mendefinisikan hukum sebagai suatu sistem kaidah yang dijabarkan
melalui prosedur resmi, mengikat bagi para birokrat dan dipatuhi oleh
masyarakat.
Teori ketiga, realisme hukum (legal realism) yang berkembang di abad 20, yang menyangsikan
teori hukum dasar sebagai teori hukum yang samar dan adiabstrak (metaphysical), dan memandang teori
positivisme hukum terlampau kaku dan abstrak.Teori hukum ini menyatakan bahwa
hukum pada dasarnya menampilkan karakteristik sekaligus tak terpisahkan dengan
ideologi politik, dimana teori ini memandang hukum sebagai penyelesaian
perselisihan dengan menerima otoritas keputusan pengadilan; atau ringkasnya,
hukum adalah apa yang diputuskan oleh para hakim. Para pengeritik teori-teori
hukum ini terus memperdebatkan karakteristik dasar hukum dan fungsi
yurisprudensi yang memadai hingga sekarang.
Berdasarkan sejarah hukum yang dipapar di atas tampak
jelas bahwa yurisprudensi tradisional terbagi menjadi dua sub-kategori:
yurisprudensi normatif dan deskriptif. Pembagian ini dirumuskan oleh John
Austin, tokoh positivisme hukum abad 19 yang menyumbangkan gagasannya dalam
“menetapkan lingkup yurisprudensi yang dipandang tepat”. Menurut Austin, ranah
yang layak bagi yurisprudensi adalah analisis deskriptif hukum positif, konsep
dasar dan hubungannya. Menurutnya, analisis hukum normatif adalah ranah yang
layak bagi perundang-undangan (legislation),
bukan yurisprudensi, dan keduanya tidak mesti dikacaukan tafsirannya, sebab
hukum dan moralitas seharusnya tidak dikelirupahami.
Pengaruh kuat pandangan ini tertuang dengan jelas dalam Kamus Hukum Black’s Law Dictionary yang
mendefinisikan yurisprudensi sebagai:
pengetahuan hukum yang fungsinya menjamin prinsip-prinsip yang
bertumpu pada kaidah-kaidah hukum, yang bukan hanya berfungsi mengklasifikasi
kaidah-kaidah hukum tersebut dalam tatatertib yang tepat … melainkan pula tata
cara dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum yang meragukan berdasarkan kaidah-kaidah
yang memadai. Yurisprudensi lebih menyangkut hal formal ketimbang pengetahuan
materi hukum (material science).
Yurisprudensi tidak bersangkut paut langsung dengan persoalan-persoalan moral
ataupun kebijakan politik, karena persoalan-persoalan seperti itu berada dalam
wilayah etika dan perundang-undangan.
Definsi
di atas menunjukkan dengan jelas pemecahan yang baik sekali perihal kontroversi
yang berlangsung lama dan berkelanjutan antara teoritikus positivisme hukum (law positivism) dan teoritikus hukum
dasar (natural law), karena definisi
tersebut mengungkapkan dengan tegas positivisme hukum sebagai satu-satunya
yurisprudensi sejati. Sungguh sayang, persoalan-persoalan filsafati kerapkali
tidak mudah dituntaskan, dan barangkali peminat yang ingin mengkaji pengetahuan
hukum dasar (natural law) tidak akan
memperoleh jawaban-jawaban mereka dari definisi yurisprudensi di atas. Namun
bagaimana pun, definisi yurisprudensi dalam kamus tersebut benar-benar
menunjukkan kekuatan pengaruh positivisme hukum dalam dunia pemikiran hukum
Amerika, serta ciri pendekatan dalam menyelesaikan masalah hukum sebagaimana
yang disarankan oleh Austin. Dengan demikian, jelas bahwa pandangan ini menjadi
alasan dasar untuk membantah argumen yang menyatakan bahwa feminisme netral
bertentangan dengan definisi yurisprudensi.
Aspek penting yang
diwartakan dalam definisi Kamus Black ’s Law Dictionary adalah adanya
upayanya untuk netral, mengikatkan diri pada kemencengannya sendiri terhadap
semua teori kecuali satu, yakni mengadopsi definisi teori positivisme hukum
dalam menetapkan persyaratan yurisprudensi: suatu definisi yang nyaris netral.
Ciri hukum dipengaruhi oleh paham politik
tidaklah dapat disangkal, sehingga bagaimana pun yurisprudensi tidaklah netral
dan tentu saja bukan ditilik menurut definisi bersyarat (stipulative definition), karena memang paham pemikiran politik
berimplikasi terhadap hukum sebagai persoalan pokok yurisprudensi. Dengan
demikian, yurisprudensi tidaklah netral, dan menunjukkan bahwa asumsi yang
mendasari penolakan atas legitimasi feminisme sebagai yurisprudensi adalah
argumen yang keliru. Jadi yurisprudensi feminisme benar-benar sebagai
yurisprudensi menurut positivisme hukum atau tidak tergolong yurisprudensi
menurut hukum dasar (natural law).
Hal ini tidak lantas dikatakan bahwa aliran positivisme hukum dan hukum dasar
keliru. Penganut paham positivism hukum dapat mengklaim hukum dasar keliru,
namun tidak keliru jika tidak menggolongkan yurisprudensi feminisme bukan
yurisrudensi, dan demikian pula paham lain yang mengeritik feminisme.
Pertanyaan yang lebih sulit dituntaskan adalah
bagaimana menjadikan yurisprudensi feminisme sebagai feminisme yang khas?
Keragaman paham feminisme memunculkan berbagai kritik (dan bahkan dari kalangan
feminis sendiri) yang menyangsikan bahwa tak ada perspektif feminisme yang
berlaku umum. Tak ada penjelasan yang membedakan yurisprudensi feminisme dari
semua filsafat hukum lain. Semua paham feminisme sebenarnya adalah hasil dari
jabaran mazhab pemikiran tertentu, sehingga teori-teori feminisme mengandung
paham yang berbeda-beda. Feminsime liberal adalah turunan dari paham liberal,
feminisme postmidernisme berkiblat dari paham postmodernisme Dengan demikian
dapat dinyatakan bahwa feminisme tidak menawarkan gagasan baru, atau teori yang
khas. Hal ini karena penerapan teori-teori lama menimbulkan masalah pengabaian
dan penindasan kalangan feminis.
Lagipula, semua perempuan tidak menganut sudut pandang yang sama.
Sekiranya dianggap sebagai satu pandangan, feminisme hanyalah pandangan
beberapa kelompok perempuan yang berupaya mencerahkan kelompok perempuan lain.
Faktanya bahwa mayoritas perempuan di seluruh dunia ada yang tidak setuju
dengan paham feminisme, atau sama sekali tidak berupaya mengangkat masalah
feminisme. Rupanya hal ni merupakan masalah bagi kalangan perempuan
dalam merepresentasikan diri mereka. Ini adalah masalah yang begitu serius.
Tak disangsikan lagi bahwa perempuan menampilkan
keragaman potret sebagai manusia. Ada yang kaya, miskin, lemah, kuat,
pendominasi, pasif, kelas sosial tinggi, kelas sosial rendah, rasional,
irasional. Perempuan
adalah bagian dari ras, kebangsaan, kelas, ataupun kelompok etnik. Jadi mengapa
ada sudut pandang yang menyangkal feminisme? Upaya apa yang ditempuh kalangan
perempuan secara umum?
Apa
yang kita saksikan ketika melihat perempan tunawisma ketika melintasi Grand
Central Station, atau pemandangan lain yang belum pernah kita saksikan di kota
kita? Apa upaya kalangan pendidik di universitas perihal prostitusi,
ketergantungan obat, kelompok perempuan, eksekutif perempuan, kasir, atau
perempuan yang menghuni panti jompo? Bagaimana kita berbicara atas nama mereka?
Bagaimana
potret perempuan secara umum tanpa memandang ras, kelas sosial, agama, jabatan,
kebangsaan, kesukuan atau latar belakang? Perempuan hidup dalam
dunia patriarki. Segenap peran perempuan berada dalam dunia patriarki. Fakta
yang tak tersangkal lagi, ibarat udara. Segenap kalangan perempuan berada dalam
suatu potret dunia yang menampilkan
realitas tertentu – suatu potret yang secara nyata dan sistematis
terabaikan dari segi gender. Sebagaimana
yang diungkapkan dari sisi gambaran feminisme radikal, bahwa gender
terkonstruksi secara sosial: dominasi laki-laki dan kelemahan perempuan,
otonomi laki-laki dan pengekangan perempuan, dan pemujaan laki-laki dan
pengerdilan perempuan, atau pembatasan perempuan, yang semuanya menjadi sebagai
dasar pembenar karena kebutuhan dan perbedaan alamiah, atau pembatasan
perempuan yang diungkapkan dalam jargon netral nilai (lihat MacKinnon, 1998,
2006). Bagaimanapun teori ini bukanlah dipungut dari mazhab pemikiran manapun.
Feminis barangkali tidak sependapat satu sama laim
perihal apa yang menyebabkan penolakan terhadap dominasi gender, atau
pendekatan apa yang dapat ditempuh dalam meningkatkan kondisi perempuan, atau
yang paling rentang terhadap kekerasan ataupun kekeliruan pemahaman. Mereka
barangkali tidak sepaham esensi masalah. Namun demikian, semua teori feminism
bertujuan untuk membebaskan perempuan dari dominasi gender.
Dominasi jenis kelamin menampilkan berbagai bentuk.
Dominasi ini ditemukan dalam sikap sosial perihal kasus perkosaan, penganiayaan
istri, kekerasan seksual, iklan, dan tanggung jawab keluarga, untuk menyebut
beberapa contoh. Kebanyakan sikap sosial tersebit tercermin dalam hukum. Sikap
sosial ini adalah bagian dari jutaan pengaruh dan implikasi patriarki. Dengan
demikian, keragaman teori-teori feminisme sebagian merupakan gambaran atas
tindakan tak wajar dari patriarki dan variasi pengaruhnya beragam.
Keragaman itu juga disebabkan oleh adanya perspektif lain
perihal perbedaan pemikiran feminisme. Akibatnya, feminis mengadopsi berbagai pendekatan
yang berbeda dalam mewacanakan patriakri. Misalnya, beberapa pendekatan
memusatkan pada kegagalan global hukum dalam memecahkan secara memadai
kekerasan terhadap perempuan dalam wujud perkosaan, mesum dan kekerasan rumah
tangga (lihat misalnya., Schneider, 2000; Estrich, 2001; Manderson, 2003;
Husseini, 2007). Pendekatan lain menganalisis ketimpangan akibat struktur
ekonomi berjenjang, dan khususnya pembedaan antara keluarga dan ekonomi pasar
(lihat misalnya., Olsen, 1983 ; Williams, 2001; Fineman, 2004; McClain, 2006 ).
Perpepektif lain menelaah struktur nilai yang berkait dengan peran tradisional
laki-laki dan perempuan, menurutu pandangan dalam hukum dan dibenarkan menurut
pandangan agama (misalnya., Peach, 2002; Reed, & Pollitt, 2002; Mirza, 2006
). Pendekatan lain juga menelaah penyimpangan gender akibat faktor-faktor lain
dari identitas dan diskriminasi, seperti ras, kesukuan, kelas,
ketidakberdayaan, maupun usia (lihat Crenshaw, 1989; Crenshaw et al., 1996;
Roberts, 2002; Nussbaum, 2006 ). Semua pendekatan ini baik sebagian atau secara
keseluruhan diperlukan. Masing-masing menelaah beberapa aspek kemencengan
patriakri.
Namun tidak lantas ada jaminan bahwa teori-teorifeminisme
mengandung ciri khas yang sama. Untuk menelaah teori-teori feminisme itu khas,
kita tidak membandingkan teori-teorinya satu sama lain, melainkan dengan
pandangan anti-feminis atau non-feminis. Perbedaan-perbedaan ini akan
memperlihatkan dengan jelas hal yang berlaku umum pada semua teori feminisme
sekaligus pula apa yang berlaku khas pada masing-masing teorinya.
Hal ini terlihat jelas dalam debat antara Cahtherine
MacKinnon dan Phyllis Schlafly perihal masalah ERA sebagai contoh perselisihan
pandangan anti-feminis terhadap feminis (lihat MacKinnon, 1989). Apa yang
diperdebatkan? Fokus debarnya adalah seputar perbedaan pandangan perihal apakah
peran tradisional laki-laki dan perempuan harus diubah atau terus dilestarikan.
Bagaimana tradisi pemikiran ini dikemukakan tergantung pada sudut pandang
masing-masing pihak. Penganut paham feminis menjelaskan pengaruh peran
tradisional dan institusi ini sebagai dominasi jenis kelamin. Sebaliknya
anti-feminis menganggapnya sebagai pelestarian nilai-nilai keluarga. Feminis
berpandangan bahwa patriakri mesti berubah dan antifeminis mesti dipertahankan.
Kedua paham setuju bahwa isu ini sungguh penting.
Di sisi lain teori non-feminis memandang bahwa patriarki
tidak dipandang penting. Namun feminis umumnya berpandangan adanya implikasi
dan pengaruh patriarki yang relevan terhadap beberapa aspek dibanding yang
dipahami non-feminis. Sebenarnya, aspek penting dari upaya feminis adalah
memandu non-feminis, atau dengan kata lain, memperjelas pengaruh patriarki yang
umumnya tak terselami. Misalnya, upaya feminis untuk memperjelas bahwa struktur
institusi tertentu – seperti hukum perlindungan yang setara dibentuk terhadap
norma-norma patriarki sebagai standar perbandingan (lihat Allen, 2005 atau
Fineman and Dougherty, 2005), konsep-konsep seperti hukum perceraian dan
tuduhan pemerkosaan (Etrich, 2001), atau kebijakan seperti non-intervensi atas
kekerasan rumah tangga sebagai respek terhadap hak privasi atau keluarga
(Schneider, 2000; Husseini, 2007), atau pemeriksaan yudisial (Minow, 1991) yang
terbiaskan atau bermuatan nilai, yang dikatakan sebagai netral.
Jadi, secara umum, anti-feminis mendukung patriarki.
Non-feminis mengabaikan patrarki. Dan feminis menentang patrarki. Jadi, suatu
gambaran yang mengidentifikasi atau menggolongkan suatu teori sebagai feminis,
adalah perlunya perubahan patriarki sebagai fokus sentralnya. Dengan kata lain
menjadikan yurisprudensi feminisme sebagai khas feminis tanpa memandang variasi
teori-teorinya.
Jadi yurisprudensi feminisme adalah yurisprudensi karena
menganalisis hubungan hukum, konsep dan prinsip hukum yang mendasar.
Yurisprudensi feminis tergolong feminis karena menguji dan menentang patriarki.
Namun mengapa tidak ada upaya besar terhadap yurisprudensi secara menyeluruh
ketimbang sub-kelompok kecil saja? Formulasi pertanyaan ini menyingkapkan
sendiri jawabannya. Feminis mengklaim bahwa patriarki merupakan struktur tak
adil yang tampak nyata dalam semua tatanan sosial, dan tujuan feminis adalah
menata ulang struktur tersebut. Siapa pun yang menyangkal atas upaya ini, ia
ibarat tuan feodal. Sekiranya seseorang memandang klaim ini dalam pemahaman
sempit, hal itu karena ia tidak meyakininya, atau barangkali tidak memahaminya
karena mesti dilakukan secara bertahap dan damai.
Untuk memperjelas pandangan feminis bagi yang belum meyakininya,
maka ada beberapa argumen instrumental yang dapat diberikan. Pertama, menurut
sifatnya, hukum cenderung memelihara status quo. Hukum adalah suatu sistem
tatanan yang bertujuan melestarikan stabilitas. Yakni nilainya; namun dapat
pula sulit untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan, khususnya perubahan
sosial sistematis berskala luas. Kedua, hukum biasanya mewujudkan nilai-nilai,
sikap, harapan, dan anggapan budaya dominan (yang biasanya tergambarkan sebagai
nilai-niai universal dan/atau netralitas atas fakta-fakta kehidupan).
Gambaran
ini menjadikan hukum sulit menyesuaikan diri terhadap keragaman dalam pola yang
benar-benar terbuka dan sederajat. Namun dalam dunia yang diwarnai oleh
perubahan sosia yang cepat, pluralisme dan keragaman global, maka keterbatasan
yang dihadapi hukum tergolong serius. Jika hukum hendak diwujudkan untuk
meningkatkan kesejahteraan umum, hukum mesti mengakomodasi perubahan sosial dan
keragaman budaya yang lebih baik disbanding strukturnya dan tradisinya saat
ini. Budaya dominan – pihak yang terus melestarikan kekuasaan, menjadikan hukum
dan kebijakan pblik serta pengembangan institusi – akan lumpuh dalam memecahkan
masalah ini.
Sekiranya
hukum berdiri demi keadilan, maka hukum mutlak adil bagi semua. Namun faktanya
hukum tergerus dalam menjamin keadilan bagi pihak-pihak di luar budaya dominan.
Masyarakat kulit hitam, penduduk asli Amerika (Indian), dan Cina (untuk
menyebutkan tiga dari banyak contoh) serta kalangan perempuan tidak memperoleh
standar keadilan yang sederajat sebagaimana sebagaimana yang dgaungkan dalam
semboyan “keadilan untuk semua”. Ketimpangan ini belum terkoreksi. Bintik buta
kita masih nyata. Analis feminis adalah salah satu lensa koreksi terbaik yang
ada saat ini karena mereka bersuara dari posisi di pihak luar. Hal ini
memungkinkan mereka menjadi lebih kreatif, kurang terikat oleh tradisi, kurang
dibutakan oleh derajatnya sendiri.
Feminis
dibekali motivasi untuk merumuskan cara-cara mengakomodasi perubahan dan
keragaman dalam hukum, karena program feminis adalah bagian dari perkembangan
baru yang diabaikan, dan karena kalangan feminis adalah pihak yang terpencilkan
secara hukum yang berikhtiar meminta pengakuan. Sebenarnya, beberapa karya
feminis telah menyuguhkan kajian yang berguna perihal apakah norma itu netral
atau menceng, dan bagaimana mekanisme hukum diperbaharui dan dikembangkan guna
meningkatkan daya kelenturan dan kepekaannya.
Berdasarkan
alasan-alasan yang dikemukakan di atas, yurisprudensi feminisme sudah barang
tentu menjadi minat kajian umum. Yurisprudensi feminis adalah satu-satunya
filsafat hukum yang tengah berkonfrontasi dengan patriarki sebagai isu utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar