Hukuman
dan kemanusiaan adalah dua keping dari mata uang keadaban yang sama. Manusia
adalah satu-satunya makhluk Tuhan yang dikaruniai kehendak bebas. Dengan
kehendak sadarnya manusia memilih untuk berbuat jahat. Untuk itu, hukuman hanya
ditimpakan pada manusia bukan makhluk lainnya. Perbuatan jahat dan hukumanpun
menjalin hubungan kesetimpalan. Salah satu logika keadilan berbunyi “ kejahatan
harus dibalas dengan hukuman yang setimpal”. Itulah mengapa kita tersengat
mendengar pemerkosa hanya dikenai hukuman percobaan. Atau seorang nenek yang
mengambil biji kakao diseret ke pengadilan. Logika keadilan dewasa ini bukan
monopoli hakim semata melainkan bagian resmi kesadaran kolektif, seperti
memiliki program yang spontan bereaksi acap kali takaran antara hukuman dan
kejahatan tidak seimbang[1].
Indonesia
merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas
pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan,
walaupun pro dan kontra mengenai pidana mati sudah lama terjadi di negeri ini.
Bahkan keberadaan pidana mati di Indonesia akan terus berlangsung pada waktu
yang akan datang karena dalam Rancangan KUHP (Baru), pidana mati masih
merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk menghukum pelaku
kejahatan.
Perdebatan
mengenai pidana mati juga terkait dengan hak hidup yang dalam instrumen hukum
internasional maupun dalam UUD 1945 masuk dalam kategori hak yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun (non
derogable rights)[2].
Hal
itu dalam konteks di Indonesia dikukuhkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
23/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan,
penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal
penting. Pertama, pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan
sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Kedua, pidana mati dapat
dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana
berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama
20 tahun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang
belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan
seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut
melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh[3].
Hukuman
mati adalah bentuk hukuman yang paling ultim. Disebut ultim sebab pelaku tidak
sekadar diisolasi sementara dari masyarakat melainkan dilenyapkan secara total
keberadaannya. Hukuman mati mengganjar pelaku kejahatan dengan sebuah fakta
bernama kekosongan eksistensial. Namun, keultiman hukuman mati menuntut
argumentasi yang kuat mengenai legitimasinya. Apakah nyawa seseorang adalah
harga yang layak dibayar atas kejahatannya? Pertanyaan ini pasti dijawab dengan
jeda waktu yang cukup lama. Menimbang adalah hal yang dilakukan apakah prinsip
ketesimpalan disini berarti mengharuskan nyawa diganti dengan nyawa. Pelaku
terorisme menghilangkan nyawa ratusan orang dengan bom rakitannya. Apakah satu
nyawanya cukup guna menggantikan ratusan nyawa yang hilang.
Persoalannya,
bagaimana yang adab dari dalam diri manusia seringkali bertanya apakah pelaku
kejahatan sungguh kebal dari penyesalan. Apakah taubat dan kembali ke jalan
yang benar tidak ada artinya sama sekali. Dengan hukuman mati, sayangya menutup
rapat dimensi kemanusiaan dan menyekap manusia untuk tidak memiliki harapan
lagi kembali kejalan yang benar. Kekeliruan ini telah menjadi kebijakan yuridis
di berbagai negara seperti indonesia yang telah menghabisi nyawa manusia lewat
hukuman mati mulai tahun 1998 sampai tahun 2008 sebanyak 21 orang[4].
Soal
pokok yang menghantui hukuman mati adalah soal legitimasi. Sayangya, rule of the game yang berlaku pada
sistem hukum indonesia adalah positivisme hukum. Bagi positivisme hukum
legiitimasi dan legalitas tidak dapat dipisahkan. Apa yang tertulis pada aturan
yang sudah dibuat sesuai prosedur otomatis sah. Hal ini dapat membutakan pada
skema nilai tertentu yang bersembunyi di balik sistem hukum kita. Skema nilai
tersebut biasanya bertopang pada lempeng kultural, entah itu sekular atau
religius. Apapun, skema nilai tersebut tetap mengambang sampai mampu menerobos
tembok posotivisme guna melakukan analisa jurisprudensi secara mendalam.
Sebagian
agama mempromosikan prinsip kesetimpalan. Hukum duniawi pada prinsipnya mesti
mencerminkan hukum ilahi yang abadi. Namun, karena terlalu awam untuk memahami
keadilan Ilahi, maka prinsip kesetimpalan pun sudah lebih dari cukup. Kitab
perjanjian lama mengajarkan bahwa mata harus diganti mata dan gigi harus
diganti gigi. Tidak ada prinsip keadilan lain diluar prinsip kesetimpalan.
Filsafat pun merefleksikan hal serupa. Immanuel kant, filsuf jerman mengatakan:
“ Even if civil society were to dissolve
itself by common agreement of all its member, the last murderer remaining in
prison must be executed, so that everyone will duly receive what his actions
are worth and so that the bllodguilt there of will not be fixed on the people
because they may be ragarded as accomplices in this public violation of legal
justice. (Kant, 1965: 99-106)”.
Bagi
kant, kesetimpalan adalah jiwa penghukuman. Hukuman pada prinsipnya harus
setimpal dengan perbuatan yang dilakukan. Namun, persoalannya perinsip
kesetimpalan (retributivisme) Kant
tidak mampu menjawab pertanyaan tentang apakah kejahatan layak diganjar dengan
hukuman mati. Matematika keadilan dalam kasus hukuman mati tidak semudah yang
dibayangkan. Jangankan mencabut nyawa orang lain, dalam ajaran agama pun
dijelaskan untuk tidak dibenarkan mencabut nyawa sendiri.
Argumen
lain yang biasa dipakai untuk membenarkan hukuman mati adalah utilitarianisme
yang beranggapan bahwa hukuman harus memiliki konsekuensi sosial yang
menguntungkan bagi masyarakat. Hukuman mati bagi utilitarianisme menghasilkan
efek jera yang dapat mencegah kejahatan dapat berulang dikemudian hari.
Kejahatan yang menurun tentu saja menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.
Hukuman mati pun menjadi objek hitung-hitungan ekonomi sosial. Kerugian yang
ditimbulkan akibat hilangya nyawa pelaku tidak sebanding dengan keuntungan
sosial yang diakibatkannya. Argumen ini memiliki dua persoalan. Pertama, riset
membuktikan bahwa dari laju pembunuhan di negara bagian Amerika serikat yang
memberlakukan hukuman mati lebih tinggi daripada laju pembunuhan di negara
bagian yang menghapuskannya[5].
Artinya, efek jera yang diharapkan dari hukuman mati tidak bekerja seperti yang
diharapkan. Kedua, idiologi hak asasi manusia adalah ketakterlanggaran. Hak
hidup tak dapat dilanggar atas nama keuntungan sosial. Dia absolut dan wajib
dihormati tanpa syarat dan kecuali.
Penjatuhan
pidana mati tersebut, tidaklah dijatuhkan kepada sembarangan orang melainkan
khusus kepada pelaku kejahatan khusus (extraordinary
crime), yang dianggap pelakunya telah memperlihatkan dari perbuatannya
bahwa ia adalah individu yang sangat berbahaya bagi masyarakat, dan oleh karena
itu harus dibuat tidak berbahaya lagi dengan cara dikeluarkan dari masyarakat
atau pergaulan hidup[6].
Salah satu tokoh yang mendukung keberadaan
lembaga pidana mati di negeri ini ialah ialah R. Santoso Poedjosoebroto
yang merupakan mantan wakil ketua Mahkamah Agung, berpendapat pidana mati itu
adalah merupakan senjata pamungkas atau akhir dalam keadilan[7], namun dalam penjatuhan pidana mati haruslah
diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak si terpidana dan eksekusinya
pun dilakukan dengan cara yang patut dan berprikemanusiaan.
Keberadaan
pidana mati bukan hanya menjadi sebuah permasalahan yang terjadi di Indonesia
namun juga terjadi di banyak Negara lainnya. Hal ini dapat dilihat dari
pendapat Von Henting yang secara
terang-terangan menolak mengenai keberadaan lembaga pidana mati. Beliau
berpendapat, ada pengaruh yang kriminogen dari pada pidana mati ini terutama
sekali disebabkan karena Negara telah memberikan suatu contoh yang jelek dengan
pidana mati tersebut sebenarnya Negaralah yang berkewajiban untuk
mempertahankan nyawa manusia, dalam keadaan yang bagaimanapun.
Selain
mengenai hilangnya hak untuk hidup seseorang, pidana mati juga menimbulkan
permasalahan lain yang tak kalah pelik dan juga memiliki keterkaitan erat
dengan ranah hak asasi manusia yaitu mengenai kapan pelaksanaan eksekusi mati
dilaksanakan. Peristiwa ini terjadi dikarenakan di Indonesia tidak ada
peraturan yang mengatur limit (batas) waktu
pelaksanaan eksekusi terhadap si terpidana. Hai inilah yang
mengakibatkan terjadinya suatu “kumulasi pidana”. Secara normatif, kumulasi
pidana ini tidak akan pernah didapati dasar hukum dan pengakuan mengenai
keberadaannya, namun di dalam prakteknya akan sering kali diketumukan. Maka
dapat penulis katakan bahwa penundaan eksekusi yang terlalu lama menyebabkan
terjadinya “kumulasi pidana” penjara dan pidana mati terhadap si terpidana.
Sosiologi
hukum adalah analisa sosiologis terhadap hukum. Dalam disiplin sosiologi, hukum
dijadikan obyek penelitiannya dan diasumsikan sebagai gejala sosial.
Sebaliknya, sosiologi dijadikan perspektif di dalam menjelaskan gejala hukum.
Keduanya memiliki ciri utama yaitu bersifat teoritis sedangkan yang kedua
bersifat aplikatif. Makalah ini mengambil tema efektivitas hukuman mati di
Indonesia. Dalam hal ini, penulis berusaha mengkaji perspektif sosiologis dalam
hukum. Aplikasinya akan memperlihatkan hukuman mati sebagai suatu gejala hukum
dikaitkan dengan efektivitas hukum sebagai obyek kajian sosiologi hukum.
Jika
dihubungkan dengan hukuman mati, maka akan diketahui apakah hukum yang mengatur
mengenai hukuman mati memiliki konsekuensi sosial, apakah perundang-undangan
yang masih menerapkan hukuman mati sudah tepat, apakah tujuan diadakannya
hukuman mati dan proses sosial seperti apa yang hendak dicapai dari adanya
hukuman mati tersebut.
[1] J.E.
Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2007, hlm. 5-6.
[2]
P.AF. Lamintang & D. Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek Van Het
Nederlanches Strafrecht), Pionir Jaya, Bandung, 1992, hlm. 393.
[3]
Djoko Prakoso & Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas
Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal 57.
[4] ibid., hlm. 127.
[5] Data
IMPARSIAL
[7]
Djoko Prakoso & Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai
Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1984, hal 57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar