Search This Blog

Kamis, 06 Agustus 2015

Hukuman Mati dan Keadilan

Hukuman dan kemanusiaan adalah dua keping dari mata uang keadaban yang sama. Manusia adalah satu-satunya makhluk Tuhan yang dikaruniai kehendak bebas. Dengan kehendak sadarnya manusia memilih untuk berbuat jahat. Untuk itu, hukuman hanya ditimpakan pada manusia bukan makhluk lainnya. Perbuatan jahat dan hukumanpun menjalin hubungan kesetimpalan. Salah satu logika keadilan berbunyi “ kejahatan harus dibalas dengan hukuman yang setimpal”. Itulah mengapa kita tersengat mendengar pemerkosa hanya dikenai hukuman percobaan. Atau seorang nenek yang mengambil biji kakao diseret ke pengadilan. Logika keadilan dewasa ini bukan monopoli hakim semata melainkan bagian resmi kesadaran kolektif, seperti memiliki program yang spontan bereaksi acap kali takaran antara hukuman dan kejahatan tidak seimbang[1].
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan, walaupun pro dan kontra mengenai pidana mati sudah lama terjadi di negeri ini. Bahkan keberadaan pidana mati di Indonesia akan terus berlangsung pada waktu yang akan datang karena dalam Rancangan KUHP (Baru), pidana mati masih merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk menghukum pelaku kejahatan.
Perdebatan mengenai pidana mati juga terkait dengan hak hidup yang dalam instrumen hukum internasional maupun dalam UUD 1945 masuk dalam kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights)[2].
Hal itu dalam konteks di Indonesia dikukuhkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting. Pertama, pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh[3].
Hukuman mati adalah bentuk hukuman yang paling ultim. Disebut ultim sebab pelaku tidak sekadar diisolasi sementara dari masyarakat melainkan dilenyapkan secara total keberadaannya. Hukuman mati mengganjar pelaku kejahatan dengan sebuah fakta bernama kekosongan eksistensial. Namun, keultiman hukuman mati menuntut argumentasi yang kuat mengenai legitimasinya. Apakah nyawa seseorang adalah harga yang layak dibayar atas kejahatannya? Pertanyaan ini pasti dijawab dengan jeda waktu yang cukup lama. Menimbang adalah hal yang dilakukan apakah prinsip ketesimpalan disini berarti mengharuskan nyawa diganti dengan nyawa. Pelaku terorisme menghilangkan nyawa ratusan orang dengan bom rakitannya. Apakah satu nyawanya cukup guna menggantikan ratusan nyawa yang hilang.
Persoalannya, bagaimana yang adab dari dalam diri manusia seringkali bertanya apakah pelaku kejahatan sungguh kebal dari penyesalan. Apakah taubat dan kembali ke jalan yang benar tidak ada artinya sama sekali. Dengan hukuman mati, sayangya menutup rapat dimensi kemanusiaan dan menyekap manusia untuk tidak memiliki harapan lagi kembali kejalan yang benar. Kekeliruan ini telah menjadi kebijakan yuridis di berbagai negara seperti indonesia yang telah menghabisi nyawa manusia lewat hukuman mati mulai tahun 1998 sampai tahun 2008 sebanyak 21 orang[4].
Soal pokok yang menghantui hukuman mati adalah soal legitimasi. Sayangya, rule of the game yang berlaku pada sistem hukum indonesia adalah positivisme hukum. Bagi positivisme hukum legiitimasi dan legalitas tidak dapat dipisahkan. Apa yang tertulis pada aturan yang sudah dibuat sesuai prosedur otomatis sah. Hal ini dapat membutakan pada skema nilai tertentu yang bersembunyi di balik sistem hukum kita. Skema nilai tersebut biasanya bertopang pada lempeng kultural, entah itu sekular atau religius. Apapun, skema nilai tersebut tetap mengambang sampai mampu menerobos tembok posotivisme guna melakukan analisa jurisprudensi secara mendalam.
Sebagian agama mempromosikan prinsip kesetimpalan. Hukum duniawi pada prinsipnya mesti mencerminkan hukum ilahi yang abadi. Namun, karena terlalu awam untuk memahami keadilan Ilahi, maka prinsip kesetimpalan pun sudah lebih dari cukup. Kitab perjanjian lama mengajarkan bahwa mata harus diganti mata dan gigi harus diganti gigi. Tidak ada prinsip keadilan lain diluar prinsip kesetimpalan. Filsafat pun merefleksikan hal serupa. Immanuel kant, filsuf jerman mengatakan: “ Even if civil society were to dissolve itself by common agreement of all its member, the last murderer remaining in prison must be executed, so that everyone will duly receive what his actions are worth and so that the bllodguilt there of will not be fixed on the people because they may be ragarded as accomplices in this public violation of legal justice. (Kant, 1965: 99-106)”.
Bagi kant, kesetimpalan adalah jiwa penghukuman. Hukuman pada prinsipnya harus setimpal dengan perbuatan yang dilakukan. Namun, persoalannya perinsip kesetimpalan (retributivisme) Kant tidak mampu menjawab pertanyaan tentang apakah kejahatan layak diganjar dengan hukuman mati. Matematika keadilan dalam kasus hukuman mati tidak semudah yang dibayangkan. Jangankan mencabut nyawa orang lain, dalam ajaran agama pun dijelaskan untuk tidak dibenarkan mencabut nyawa sendiri.
Argumen lain yang biasa dipakai untuk membenarkan hukuman mati adalah utilitarianisme yang beranggapan bahwa hukuman harus memiliki konsekuensi sosial yang menguntungkan bagi masyarakat. Hukuman mati bagi utilitarianisme menghasilkan efek jera yang dapat mencegah kejahatan dapat berulang dikemudian hari. Kejahatan yang menurun tentu saja menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Hukuman mati pun menjadi objek hitung-hitungan ekonomi sosial. Kerugian yang ditimbulkan akibat hilangya nyawa pelaku tidak sebanding dengan keuntungan sosial yang diakibatkannya. Argumen ini memiliki dua persoalan. Pertama, riset membuktikan bahwa dari laju pembunuhan di negara bagian Amerika serikat yang memberlakukan hukuman mati lebih tinggi daripada laju pembunuhan di negara bagian yang menghapuskannya[5]. Artinya, efek jera yang diharapkan dari hukuman mati tidak bekerja seperti yang diharapkan. Kedua, idiologi hak asasi manusia adalah ketakterlanggaran. Hak hidup tak dapat dilanggar atas nama keuntungan sosial. Dia absolut dan wajib dihormati tanpa syarat dan kecuali.
Penjatuhan pidana mati tersebut, tidaklah dijatuhkan kepada sembarangan orang melainkan khusus kepada pelaku kejahatan khusus (extraordinary crime), yang dianggap pelakunya telah memperlihatkan dari perbuatannya bahwa ia adalah individu yang sangat berbahaya bagi masyarakat, dan oleh karena itu harus dibuat tidak berbahaya lagi dengan cara dikeluarkan dari masyarakat atau pergaulan hidup[6]. Salah satu tokoh yang mendukung keberadaan  lembaga pidana mati di negeri ini ialah ialah R. Santoso Poedjosoebroto yang merupakan mantan wakil ketua Mahkamah Agung, berpendapat pidana mati itu adalah merupakan senjata pamungkas atau akhir dalam keadilan[7],  namun dalam penjatuhan pidana mati haruslah diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak si terpidana dan eksekusinya pun dilakukan dengan cara yang patut dan berprikemanusiaan.
Keberadaan pidana mati bukan hanya menjadi sebuah permasalahan yang terjadi di Indonesia namun juga terjadi di banyak Negara lainnya. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Von Henting yang  secara terang-terangan menolak mengenai keberadaan lembaga pidana mati. Beliau berpendapat, ada pengaruh yang kriminogen dari pada pidana mati ini terutama sekali disebabkan karena Negara telah memberikan suatu contoh yang jelek dengan pidana mati tersebut sebenarnya Negaralah yang berkewajiban untuk mempertahankan nyawa manusia, dalam keadaan yang bagaimanapun.
Selain mengenai hilangnya hak untuk hidup seseorang, pidana mati juga menimbulkan permasalahan lain yang tak kalah pelik dan juga memiliki keterkaitan erat dengan ranah hak asasi manusia yaitu mengenai kapan pelaksanaan eksekusi mati dilaksanakan. Peristiwa ini terjadi dikarenakan di Indonesia tidak ada peraturan yang mengatur limit (batas) waktu  pelaksanaan eksekusi terhadap si terpidana. Hai inilah yang mengakibatkan terjadinya suatu “kumulasi pidana”. Secara normatif, kumulasi pidana ini tidak akan pernah didapati dasar hukum dan pengakuan mengenai keberadaannya, namun di dalam prakteknya akan sering kali diketumukan. Maka dapat penulis katakan bahwa penundaan eksekusi yang terlalu lama menyebabkan terjadinya “kumulasi pidana” penjara dan pidana mati terhadap si terpidana.
Sosiologi hukum adalah analisa sosiologis terhadap hukum. Dalam disiplin sosiologi, hukum dijadikan obyek penelitiannya dan diasumsikan sebagai gejala sosial. Sebaliknya, sosiologi dijadikan perspektif di dalam menjelaskan gejala hukum. Keduanya memiliki ciri utama yaitu bersifat teoritis sedangkan yang kedua bersifat aplikatif. Makalah ini mengambil tema efektivitas hukuman mati di Indonesia. Dalam hal ini, penulis berusaha mengkaji perspektif sosiologis dalam hukum. Aplikasinya akan memperlihatkan hukuman mati sebagai suatu gejala hukum dikaitkan dengan efektivitas hukum sebagai obyek kajian sosiologi hukum.
Jika dihubungkan dengan hukuman mati, maka akan diketahui apakah hukum yang mengatur mengenai hukuman mati memiliki konsekuensi sosial, apakah perundang-undangan yang masih menerapkan hukuman mati sudah tepat, apakah tujuan diadakannya hukuman mati dan proses sosial seperti apa yang hendak dicapai dari adanya hukuman mati tersebut.



[1] J.E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 5-6.
[2] P.AF. Lamintang & D. Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek Van Het Nederlanches Strafrecht), Pionir Jaya, Bandung, 1992, hlm. 393.
[3] Djoko Prakoso & Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal 57.
[4]  ibid., hlm. 127.
[5] Data IMPARSIAL
[6]  Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 105.
[7] Djoko Prakoso & Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal 57.

Crime Mapping: Spatial and Temporal Challenges JERRY RATCLIFFE.

Crime opportunities are neither uniformly nor randomly organized in space and time. As
a result, crime mappers can unlock these spatial patterns and strive for a better theoretical
understanding of the role of geography and opportunity, as well as enabling practical crime
prevention solutions that are tailored to specific places. The evolution of crime mapping has
heralded a new era in spatial criminology, and a re-emergence of the importance of place as
one of the cornerstones essential to an understanding of crime and criminality. While early
criminological inquiry in France and Britain had a spatial component, much of mainstream
criminology for the last century has labored to explain criminality from a dispositional perspective,
trying to explain why a particular offender or group has a propensity to commit
crime. This traditional perspective resulted in criminologists focusing on individuals or on
communities where the community extended from the neighborhood to larger aggregations
(Weisburd et al. 2004). Even when the results lacked ambiguity, the findings often lacked
policy relevance. However, crime mapping has revived interest and reshaped many criminologists
appreciation for the importance of local geography as a determinant of crime that may
be as important as criminal motivation. Between the individual and large urban areas (such as
cities and regions) lies a spatial scale where crime varies considerably and does so at a frame
of reference that is often amenable to localized crime prevention techniques. For example,
without the opportunity afforded by enabling environmental weaknesses, such as poorly lit
streets, lack of protective surveillance, or obvious victims (such as overtly wealthy tourists or
unsecured vehicles), many offenders would not be as encouraged to commit crime.
This chapter seeks to make the case for crime mapping as an essential tool in the examination
of criminal activity; it also charges mainstream criminology to re-engage with the
practitioner interest in spatially targeted crime prevention. In the next section, I briefly outline
the theoretical support for a spatial approach to the crime problem and warn of the negative
outcomes that can potentially arise by ignoring the spatial dimensional of crime. After
a basic primer in mapping crime locations, the chapter looks at different ways that crime
hotspots can be identified. It also discusses the benefits of spatio-temporal crime mapping. The final section considers the future of crime mapping, both within the practitioner arena
and the academic sphere, concluding that a closer relationship between academics versed in
environmental criminology and the crime control field provides the best mechanism for mainstream
criminology to regain relevance to practitioners and policy makers. Readers looking
for extensive statistical routines, a “crime mapping for dummies” or a checklist of mapping
requirements will be disappointed as there are few equations and no elaborate discussions of
parameter choices; however, there is a section at the end of the chapter that will serve to point
the reader to these resources. Furthermore, this chapter should be read in conjunction with the
excellent chapter by Bernasco and Elffers in this book.

Perkembangan Politik Indonesia

Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpin politik dan lain-lain.
Secara etimologi kata “politik” masih berhubungan dengan polis, kebijakan. Kata “politis” berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata “politisi” berarti orang-orang yang menekuni hal politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstistuonal. Menurut Mohammad Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijaksanaan) resmi tentang hukum yg akan diberlakukan baik dgn pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara sedangkan menurut Satjipto Rahardjo politik hukum adalah aktivitas memilih dan cara yg hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yg cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar, yaitu 1) tujuan apa yg hendak dicapai melalui sistem yg ada, 2)  cara-cara apa dan yang mana yg dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut, 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah, 4) dapatkah suatu pola yg baku dan mapan dirumuskan utk membantu dlm memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik”.
Perkembangan politik sekarang ini ditandai dengan konfigurasi politik yang demokratis, dimana dalam tataran teorinya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.        Parpol dan Parlemen kuat, menentukan haluan negara
2.        Lembaga eksekutif (pemerintah) netral
3.        Pers bebas, tanpa sensor dan pembredelan
Berdasarkan ciri dari karakter politik yang demokratis maka berimbas pada bentuk produk hukum yang dihasilkan yang memiliki karakter sebagai berikut:
1.        Pembuatannya partisipatif
2.        Muatannya aspiratif
3.        Rincian isinya limitatif
            Adanya institusi-institusi politik di tingkat masyarakat, semisal partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan media massa yang kritis dan aktif, merupakan satu indikator adanya keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik. Dengan dilandasi suatu kesadaran bahwa, aktivitas-aktivitas politik pemerintah dengan serta merta, secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh kelompok kepentingan, partai politik dan yang lainnya dalam infrastruktur politik, merupakan wujud dari keikutsertaan rakyat dalam proses politik dalam suatu sistem politik.
            Dalam tataran praktek atau secara realitas perkembangan politik saat ini ditandai dengan banyaknya problem (masalah) terkait perebutan kekuasaan baik pada tingkat legislatif maupun eksekutif. Banyaknya masalah yang terjadi berimbas pada kinerja dan hubungan emosional masing-masing pihak. Hal ini dibenarkan oleh Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo mengatakan kondisi politik Indonesia saat ini sudah rusak. Era saat ini menjadi titik puncak carut marut tata kelola kenegaraan. "Saya di DPR sudah 25 tahun. Usia saya 50-an. Saat ini carut-marut tata kelola kenegaraan mencapai puncaknya. Saat ini, hubungan pembantu presiden tidak baik, hubungan petinggi negara tidak baik, hubungan fraksi-fraksi di DPR tidak harmonis, hubungan penegak hukum tidak baik juga," kata Tjahjo saat menghadiri rilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) soal hasil survei Capres 2014 di Kementerian Kehutanan[1].
            Hal ini disebabkan masih adanya perbedaan dalam pandangan ketegasan terhadap sistem pemerintahan. Disini terlihat adanya persaingan politik yang terjadi antara pemerintah dan legislatif sebagai pembuat produk Undang-Undang. Kekuasaan presiden tidak mutlak dijalankan secara penuh tapi terpengaruh pada parlemen. Hal ini akhirnya menciptakan situasi politik yang tidak sehat karena presiden terpaku oleh kepentingan lain. Kepentingan itu bisa jadi tidak berpengaruh pada perbaikan kondisi bangsa secara keseluruhan yang berakibat pada kebijakan yang dikeluarkan tidak memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
            Selain karena adanya persaingan dalam ranah internal pemerintah. Carut marut politik juga terjadi menjelang dan setelah pemilihan presiden tahun 2014.  Dimana pemilihan presiden tahun 2014 terdiri dari dua calon yaitu dari pihak Prabowo- Hatta dan Jokowi-Jk. Pertarungan politik sangat nampak terjadi saat salah satu pasangan terpilih atas suara rakyat secara demokratis. Terpilihnya pasangan Jokowi-JK sebagai presiden periode 2014-2019 membuat lawan politiknya yaitu dari pihak Prabowo-Hatta gencar melakukan serangan politik guna menghambat atau bahkan membatalkan pelantikan presiden Jokowi. Terdapat beberapa cara yang dilakukan pihak Prabowo, seperti menggugat hasil rekapitulasi suara oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang dituding telah gagal serta melakukan kecurangan saat pemilu berlangsung. Bentuk dari kecurangan tersebut misalnya adalah banyaknya masyarakat yang tidak terdaftar sebagai pemilih, pemilih yang terdaftar ganda, mutasi hak pilih yang gagal, dan lain sebagainya.
            Kekacauan itu menyebabkan ketidakpuasan dari masyarakat yang kehilangan hak pilihnya dan beberapa partai politik yang merasa dirugikan, sehingga menimbulkan berbagai gelombang protes. Wajar jika akhirnya hasil Pemilu tidak memiliki kekuatan dan legitimasi yang kuat. Bahkan kekecewaan tersebut terus berlanjut dimana telah disinyalir banyak pihak yang menentang dan bermaksud untuk memboikot Pemilihan Presiden. Selain itu Banyak politisi di Negara ini yang terlibat kasus korupsi. Mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi dan lupa akan tugasnya sebagai pejuang rakyat. Bahkan saat ini banyak pejabat dan tokoh yang hanya bisa bercuap-cuap berdiskusi di televisi mencaci maki kinerja pemerintah tanpa mengetahui jalan keluarnya sehingga tidak menghasilkan solusi bagi kebaikan bangsa ini.
            Kubu Prabowo saat ini tengah membentuk sebuah koalisi yang dinamakannya Koalisi Merah Putih yang saat ini telah berhasil menguasai parlemen. Kubu prabowo berhasil memenangi pertarungan dari Koalisi Indonesia Hebat yang mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla. Koalisi Merah Putih merupakan gabungan dari berbagai ketua partai, seperti Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali, Ketua Umum Partai Amanat Nasional Hatta Rajasa, Presiden Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta, dan Ketua Dewan Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional Amien Rais[2]. Keberadaan koalisi merah putih ini disinyalir bertujuan untuk menjaga keseimbangan pemerintahan.
            Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan bahwa ada empat hal yang menjadi tujuan dibentuknya koalisi merah putih, diantaranya menguasai parlemen (melalui Undang-Undang MD3), menguasai pemerintahan daerah (melalui Undang-Undang Pilkada), menguasai atau melemahkan KPK dan menguasai pemerintahan (presiden dan wakil presiden diupayakan dipilih oleh DPR/MPR tidak lagi oleh rakyat). Emerson mengibaratkan, dengan disahkannya Undang-Undang Pilkada dengan politik desa mengepung kota. Menurut kacamatanya, tujuan disahkan Undang-Undang Pilkada bukanlah sekedar pemilihan kepala daerah oleh DPRD[3].
            Sedangkan menurut Ketua Presidium Koalisi Merah Putih Aburizal Bakrie mengatakan bahwa ada empat hal yang menjadi tujuan Koalisi Merah Putih yang diyakini dapat membawa Indonesia maju ke depan, diantaranya: Koalisi Merah Putih akan mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara, ini pokok dan eksplisit. Kedua, kita mempertahankan Bhinneka Tunggal Ika. Koalisi Merah  Putih juga menjamin kebebasan warga negara Indonesia untuk menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing. Terakhir, ada prinsip hak asasi manusia agar negara menjamin warga negara bebas menjalankan apa yang dipikir dia baik[4].
            Semoga kelak program yang direncanakan pemerintahan Jokowi-JK dapat terealisasi secara maksimal atas partisipasi semua golongan masyarakat. Keberadaan koalisi merah putih diparlemen yang merupakan badan legislatif diharapkan berpotensi positif dalam membantu serta memberi nasehat dalam merealisasikan program kerja presiden terpilih bukan malah menghambat, sehingga membuat program pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Solusi:
1.    Diperlukan adanya suatu revolusioner dalam sistem politik di Indonesia ini dimana dengan adanya revolusi ini diharapkan sistem politik di Indonesia dapat sejalan dengan tujuan bangsa dan negara ini. Bila masalah hukum itu melibatkan partai politik dan pemerintah maka akan dengan mudah masuk keranah politik. Hal inilah yang membuat kasus tersebut tidak terselesaikan tetapi justru memperkeruh berbagai masalah di negeri ini. budaya politik yang tidak sehat inilah yang nantinya harus diperbaiki secara revolusioner.
2.    Peningkatan akurasi daftar pemilih terkhusus bagi KPU (Komisi Pemilihan Umum) dimasa mendatang agar tidak ada lagi sengketa yang terjadi akibat kinerja KPU yang kurang maksimal.
3.    Diperlukan adanya negarawan baik di parlemen maupun lembaga politik yang bisa memberikan kontribusi positif bagi kemajuan bangsa indonesia sebab negara indonesia sudah terlalu banyak politisi yang mementingkan golongan atau partainya dibandingkan kepentingan rakyat sehingga peran negarawan sangat diperlukan untuk menjalankan roda pemerintahan.
4.    Diperlukan adanya kerjasama baik dari badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di pemerintahan dalam mensukseskan program kerja yang berdampak pada kesejahteraan rakyat.
5.    Menyadari betapa pentingnya rasa nasionalisme maka penulis menyarankan agar kurikulum pendidikan kita seharusnya memberikan penekanan penting pada nasionalisme, supaya para anak bangsa kita memiliki rasa nasionalisme sejak dini. Penulis prihatin kalau melihat kenyataan bahwa saat ini, frekuensi adanya upacara bendera di sekolah-sekolah sudah jauh berkurang dibandingkan dulu. Lagu-lagu nasionalisme seperti Indonesia Raya, Bangun Pemudi-Pemuda, Indonesia Pusaka, Padamu Negri sama sekali tidak populer di masyarakat; masyarakat justru lebih menyukai lagu-lagu barat atau lagu K-Pop. Dan para pemusik bangsa pun jarang ada yang tergerak untuk membuat atau menyanyikan lagu-lagu kebangsaan yang mendorong rasa nasionalisme.
6.    Perlu adanya aktifitas politik yang bisa mengakomodir semua kepentingan golongan yang ada di indonesia, seperti adanya perwakilan dari setiap golongan masyarakat di lembaga perwakilan rakyat (DPR) sehingga bisa menfasilitasi setiap kepentingan elemen masyarakat di indonesia.
7.    Perlu adanya kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan sektor swasta dalam melakukan usaha sosialisasi dalam rangka pencerdasan masyarakat sehingga masyarakat awam makin paham tentang politik dan memilih wakilnya di pemerintahan.



[1]http://www.merdeka.com/politik/pdip-politik-indonesia-saat-ini-dalam-puncak-karut-marut.html. Diakses pada tanggal 11 oktober 2014 pukul 13.44 WITA.
[2]http://nasional.kompas.com/read/2014/10/10/17055851/Koalisi.Merah.Putih.Kuasai.Parlemen.Ini.Niat.Prabowo.html. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2014 pukul 14.08 WITA
[3] http://www.tribunnews.com/nasional/2014/09/29/icw-sebut-empat-target-besar-koalisi-merah-putih.html. Diakses pada tanggal 13 oktober 2014 pukul 11.25 WITA
[4]http://nasional.kompas.com/read/2014/09/26/18203191/Kata.Aburizal.Tujuan.Koalisi.Merah.Putih.Bukan.untuk.Menangkan.Prabowo-Hatta.html. Diakses pada tanggal 13 oktober 2014 pukul 11.29 WITA

HUKUM DAN EKONOMI (JON HANSON, KATHLEEN HANSON dan MELISSA HART)



            Hukum dan ekonomi, sebagaimana tertuang dalam pernyataan ringkas Judge Richard Posner, salah bidang yang paling, menyatakan pentingnya “penerapan teori-teori dan metode empiris ekonomi dalam institusi penting sistem hukum (1975, hlm. 759). Meskipun generasi pertama cendikiawan yang bertumpu pada kajian efisiensi telah lama menerapkan analisis ekonomi pada beberapa bidang hukum, misalnya hukum anti-monopoli dan perdagangan, generasi kedua hukum dan ekonomi sebagaimana yang dikemukakan oleh Posner memusatkan pada studi prinsip-prinsip ekonomi terhadap setiap masalah hukum, bahkan pada aspek yang kurang begitu relevan seperti hukum kriminil dan hukum keluarga. Posner mengikhtisarkan keberhasilan dan pengaruh hukum ekonomi dalam kutipan pernyataannya di bawah ini:
Analisis hukum ekonomi paling berkembang dan terbanyak dikaji, studi lintas ilmu yang paling menggeliat dalam sejarah hukum Amerika, berpengaruh mencolok dalam penyelenggaraan hukum dan keputusan pengadilan, menumbuhkan jasa konsulltasi hukum yang menguntungkan, menyemarakkan bidang kajian dan buku-buku dalam analisis hukum, mempengaruhi perundang-undangan (analis hukum ekonomi berperan penting dalam perkembangan peraturan deregulasi), mengembangkan studi jurusan hukum strata satu dan dua yang mengkhususkan kajian hukum dan ekonomi di fakultas-fakultas mereka, meningkatkan para praktisinya di lembaga administrasi universitas dan yudikatif federal, dan kini merambah ke kawasan Atlantik dan mulai menggenang begitu cepat di Eropa.” (1995, hlm. 275).

            Gagasan yang serupa dilontarkan oleh Profesor Thomas Ulen yang menyatakan hukum ekonomi merupakan “salah satu inovasi paling berhasil dalam studi akadamik hukum pada akhir abad ini” – suatu bidang ilmu “…. yang banyak mewarnai … pendidikan hukum modern” (1997, hlm. 434).
            Dalan rentang sepuluh tahun terakhir telah terbit banyak artikel hukum ekonomi dan dalam lima tahun terakhir tak satu pun di antara artikel itu yang lebih banyak menumpukan kajian selain hukum ganti rugi … suatu pendekatan baru dalam studi hukum ekonomi … Kecenderungan ini berpeluang besar melanjut pada masa mendatang …Tak ada praktisi hukum, akademisi hukum, hakim pada masa mendatang begitu percaya piawai memahami hukum modern ganti rugi tanpa menelaah secara seksama analisis hukum ganti rugi dalam bidang ekonomi.
            Di antara kebanyakan pandangan ahli, Priest mengukuhkan hal ini: Tak ada cendikiawan yang memperoleh pemahaman yang memadai mengenai hukum ganti rugi tanpa mula-mula memahami betul prinsip-prinsip dasar hukum dan ekonomi. Hubungan antara teori-doktrin sebenarnya agak timbal balik. Karena itu, untuk menyelami analisis ekonomi modern maka diperlukan pemahaman mengenai dampak hukum ganti rugi yang bersumbangsih dalam perkembangan hukum ekonomi modern.
            Untuk memahami hal tersebut, ada dua pendekatan umum yang perlu ditelaah dalam hukum dan ekonomi, yakni: pendekatan positif, yang terdiri dari deskriptif maupun prediktif dan pendekatan normatif, yang terdiri dari preskriptif maupun pertimbangan (judgmental). Para ahli hukum ekonomi mesti mengajukan dua pertanyaan perihal pendekatan positif: Bagaimanakah pengaruh perilaku suatu kebijakan, dan apakah kebijakan tersebut menciptakan efisiensi – yakni, dampaknya terhadap minimalisasi biaya? Kedua, bagaimana hukum itu seharusnya sekiranya efisiensi adalah satu-satunya tujuan, dan apakah hukum, mesti bertumpu pada efisiensi? Pertanyaan kedua ini diajukan kepada para penganut positivisme – pengujian hipotesis bahwa hukum bertumpu pada pertimbangan terstruktur jika memang efisiensi adalah satu-satunya tujuan (lihat misalnya, Landes && Posner, 1987; Easterbrook & Fischel, 1991). Pemastian dan pengujian hipotesa positif tersebut pernah menjadi upaya pokok hukum dan ekonomi dan sebagian besar merupakan tanggung jawab atas apa yang kita sebut sebagai hukum dan ekonomi genarasi kedua. Kalau memang demikian, hipotesa positif pada akhirnya kehilangan sebagian besar, meskipun tentu saja tidak semua, pegangannya. Lagipula, upaya ini hanyalah keberhasilan perdana yang mengesankan dalam meyakinkan beberapa cendikiawan dalam menimbang efisiensi secara serius sebagai suatu tujuan hukum. Sebagian alasannya adalah karena dukungan empiris yang mencolok bagi positivisme yang menegaskan bahwa “logika hukum” sesungguhnya mengandung logika ekonomi” (Posner, 1975, hlm. 764, penekanan dambahan diberikan), karena ahli hukum dan beberapa juri hukum mengesampingkan logika normatif bahwa logika hukum haruslah berlogika ekonomi (Michelman, 1978, hlm 1038-1039). Dan kalau demikian, ada dua pertanyaan yang diajukan perihal pendekatan normatif. Pertama, haruskah efisiensi menjadi tujuan hukum? Dan kedua, jika memang, bagaimana hukum diperbaharui guna menempuh upaya terbaik dalam memenuhi tujuan efisiensi? Pertanyaan pertama menggugah munculnya berbagai pendapat dari para pakar hukum seperti Guido Calabresi, Jules Coleman, Ronald Dworkin, dan Richard Posner yang merupakan salah satu dari banyak perselisihan pandangan yang tajam dan terkenal dalam hukum pada abad kedua puluh (lihat Journal of Legal Studies, edisi 9; Hofstra Law Review, edisi 8). Namun, kini banyak cendikiawan hukum dan ekonom menegaskan tanpa enggan bahwa tujuan hukum mesti berpijak pada efisiensi (Hylton, 2005, hlm.9). Para ahli hukum ekonomi saat ini kebanyakan menelaah pengaruh kebijakan yang berbeda-beda (isu positivisme) dan merekomendasikan perubahan berdasarkan dampaknya (isu normatif). Untuk memahami bagaimana kita memahaminya, adalah berguna untuk menelaah lebih tajam hipotesa hukum positif.
            Dalam salah di antara berbagai karya awal dan paling penting dalam studi positivisme, Richard (1972) meneliti 1.500 keputusan pengadilan banding untuk menguji “teori kelalaian” (theory of negligence) (hlm. 29). Hasil analisis sampel menguatkan hipotesanya bahwa “fungsi dominan sistem kesalahan adalah mengacu kaidah-kaidah tanggung jawab dari akibat tindakan yang ditimbulkan, setidaknya pada level kecelakaan dan keselamatan yang dibenarkan menurut efisiensi biaya” (1972, hlm. 32).
            Posner menyatakan bahwa perbedaan atas perbedaan pandangan antara logika keputusan positif dan normatif berdasarkan argumen ini menunjukkan bahwa satu-satunya tujuan – efisiensi – memua segenap penjelasan hukum kelalaian dari sampel penelitiannya sebanyak 1.500 pendapat responden tersebut. Hal yang mendukung atas hipotesa ini, dari 1.500 sampel opini yang diteliti.
            Hal ini mendukung hipotesis tersebut dimana perselisihan tersebut diselesaikan melaui retorika yang tertuang dalam kaidah hukum ekonomi yang diatur dalam ketentuan Satandar Keputusan Hukum Ekonomi Ekonometrika (Judge Hand)
[in United States v. Carroll Towing Co. , 159 F.2d 169 (2d Cir. 1947) ” (1972 , hlm. 32).
            Meskipun kasus ini di luar data yang dihimpun Posnr, ia merbuapaya merumuskan “upaya dalam membuat standar yang berlaku di pengadilan yang dijelaskan (hlm 32). Karena itu, tingkat keberhasian yang memadai dari upaya positivisme hukum ditelaah dalam kasus tabrakan kapal Caroll Towng.
            Untuk memahami dengan baik persoalan ini bahwa Keputusan Hakim Menurut Perhitungan Aljabar (Judge Hand) berlaku, tinjaulah konteks perkara dimana hukum ekonomi umumnya berlaku. Tergugat, Carroll Towing Co., mengatur posisi jalurnya terhadap jalur kapal-kapal tongkang yang tengah melabuh di Pelabuhan New York. Salah satu kapal tongkang, the Anna C , berupaya menghindar dan menabrak sebuah tanker. Baling-baling tanker tersebut merusak badan kapal tunda Anna C, dan kapal Anna C tenggelam. Penguggat, pemilik Kapal Anna C, menggugat Carroll Towing Co. atas kerugian tersebut.
            Perkara pengadilan banding apakah pemilik kapal tunda, yang dituduh lalai dalam siding perkara, dapat menghindari ganti rugi kerusakan kepada pemilik Kapal Anna C. Tergugat menyatakan bahwa sebagian kecelakaan tersebut diakibatkan oleh pemilik kapal tongkang tersebut karena gagal mempertahankan arah jalur. Teori Aljabar Ganti Rugi (Judge Hand) memutuskan bahwa tergugat dianggap lalai, dan penggugat juga berkontribusi terhadap kelalaian, dengan mempertimbangkan biaya sisi penghindaran suatu kecelakaan dikurangi biaya yang diharapkan kecelakaan. Menurut rumus aljabar yang ringkas dan tajam ini, kewajiban suatu pihak dinyatakan dalam fungsi tiga variabel: peluang terjadinya kecelakaan, (P);  tingkat keparahan kerugian yang ditimbulkan jika kecelakaan terjadi, (L); dan tanggung jawab tindakan pencegahan yang memadai untuk menghindari kecelakaan. (B).
            Dengan menerapkan rumus tersebut, maka keputusan hukum menyatakan bahwa pemilik kapal tongkang berkontribusi terhadap kelalaian karena itu biaya ganti rugi juga ditanggung pada pemilik kapal tongkang (B) yang kurang daripada peluang kerugian (P) dikali tingkat keparahan kerugian (L).
            Menurut Posner, logika Ganti Rugi Ekonometirka ini secara tersirat (implist) menunjukkan pengertian kelalaian secara ekonomi (1972, hlm. 32). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Posner, “Rumus Logika Ekonomi ini” mengacu pada tujuan efisiensi yakni minimalisasi total biaya kecelakaan, termasuk biaya penghindaran kecelakan jika B < PL, sehingga memperhitungkan nilai marjinal dalam penghindaran kecelakaan (B) yang menghasilkan nilai positif bersih ditinjau dari reduksi marjinal biaya kecelakaan yang diharapkan (PL). Jadi efisiensi tersebut mengharuskan adanya pertimbangan minimalisasi. Dengan menetapkan setiap pihak yang bertanggung jawab berdasarkan ketentian B < PL, hukum ganti rugi mengharuskan adanya pertimbangan efinsiensi menurut penghindaran kecelakaan. Dalam bahasa hukum ekonomi, hukum ganti rugi pihak-pihak “menginternalisasi biaya eksternal mereka”, yakni (biaya eskternalitas adalah biaya dimana tindakan suatu pihak berlaku dengan mempertimbangkan tindakan pihak lain dalam suatu perkara dimana masing-masing meniadakan pertimbangan dari sudut pandangnya sendiri berdasarkan perhitungan nilai efisiensi. Berdasarkan pendapat kalangan hukum ekonomi, banyak hukum ganti rugi dipahami sebagai upaya utuk mengharuskan individu-individu mempertimbangkan internalisasi biaya-biaya atas pertimbangan tindaka individu-individu lain yang berperkara.
Model Ekonomi Kasus Kapal Carroll Towing

Perhitungan Awal Asumsi
            Untuk mengetahui dengan jelas dan di bawah kondisi apa Rumus Ekonometrika ini berlaku menurut sudut pandang efisiensi, kita sekarang meninjau model sederhana  kasus Caroll Towing. Sebagaimana fakta-fakta yang terjadi dalam kasus Carrol Towing, premis kita didasarkan pada sekumpulan asumsi, yang banyak di ataranya tidak realisitis, sehingga kita barangkali yang kurang paham analisis ekonomi mengetahui dengan asumsi yang digunakan menurut model ini. Dengan menerapkan asumsi ekonomtrika ini melalui penyederhanaan, maka akan memberikan kita gambaran beberapa kesahihan suatu model abstrak ekonometrika dan kemudian mengevaluasi pengaruhnya berdasarkan asumsi-asumsi dasar, sehingga kita dapat mengilustrasikan ciri penalaran ekonomi dan potensi manfaatnua ditilik dari aspek keuntungan dan biaya. Disamping itu, kita dapat menyuguhkan metodologi analitis yang sebagian besar digunakan oleh analis hukum ekonomi yang disebut sebagai aturan main keputusan perkara (game theory).
            Asumsi model kita adalah sebagai berikut:
1)      Ekonom Robert Cooter dan Thomas Ulen menyatakan bahwa “salah satu asumsi pokok dalam teori ekonomi adalah pengambil keputusan bertindak atas dasar kepentingan diri yang rasional, “yang berarti bahwa mereka memiliki pilihan-pilihan yang stabil dan sistematis, yang menunjukkan bahwa ... mereka memperhitungkan biaya dan manfaat dari pilihan-pilihan alternatif yang tersedia bagi mereka dan mereka dapat memilih pilihan-pilihan alternatif tersebut yang dapat menawarkan keuntungan atau maslahat yang sebesar-besarnya” (hlm. 350-351). Asumsi pertama ini memandang bahwa pemilik kapal tongkang dan pemilik kapal tunda adalah individu yang rasional.
2)      Semua biaya dan keuntungan dapat diukur menurut perhitungan nilai mata uang tunggal: dollar.
3)      Pemilik kapal tongkang dan pemilik kapal tunda memiliki dan memberikan informasi yang rinci meskipun tidak sempurna (yakni, mereka tahu bahwa pertimbangan pihak-pihak lain menurut pertimbangan untung-rugi; dan mereka masing-masing tahu bahwa masing-masing pihak memperoleh informasi yang baik, namun tidak mengetahui sebelumnya berapa besar tindakan yang akan diambil oleh pihak lain).
4)      Biaya transaksi (lebih spesifik disebut biaya ex ante (sebelum kecelakaan) bagi pemilik kapal tongkang dan kapal tunda yakni alokasi tangung jawab atau tingkat kehati-hatian atau kewaspadaan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam kontrak).
5)      Biaya keagenan (termasuk biaya mempekerjakan dan memonitor agen, serta biaya residu atas kemangkiran agen) antara pemilik kapal tongkang dan pekerjanya adalah nol.
6)      Level aktivitas pihak-pihak yang berperakara, fruekuensi dan jangka waktu tindakan mereka tidaklah relevan karena tidak mempengaruhi total biaya kecelakaan. Yang hanya dipandang relevan adalah level kehatian-hatian ketika mereka bertindak.
7)      Standar pengurusan biaya liabilitas tidak ditanggung biaya.
8)      Kedua pihak yang berperkara netral resiko – yakni individu yang berhati-hati mengenai nilai pilihan mereka. Nilai yang diharapkan dari suatu pilihan yang beresiko adalah nilai absolute mereka, sekiranya terjadi, dikali peluang yang akan terjadi. Sebaliknya nilai terbalik resiko, yang dimaksud adalah kehati-hatian yang  tidak hanya menyangkut biaya yang diharapkan, melainkan pula mengenai nilai absolut resiko. Misalnya, seseorang diberikan peluang 50% memenangkan $1.000 atau jaminan menang $500. Kedua pihak memiliki nilai haapan yang sama, $500. Karena itu, bersifat netral resiko Karen masing-masing pihak tidak dibedakan antara dua pilihan yang tersedia. Karena itu, jika terjadi kebalikan dari resiko, ia dengan yakin lebih memilih $500.
9)      Tak ada pengaruh dari  pihak eksternal ketiga. Pemilik kapal tunda dan kapal tongkang hanyalah pihak-pihak yang dipengaruhi berdasarkan interaksi dan melalui pilihan kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
10)  Kedua pihak tahu kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
11)  Pengadilan dengan akurat menghitung biaya dan manfaat dari perilaku dan tindakan masing-masing pihak yang berperkara dan mereka juga tahun angka-angka yang tertuang pada Tabel 19-1 dan benar-benar menerapkan dan meneriman standar kewajiban masing-masing pihak yang berperkara.


Model Dasar

            Tinjaulah sekarang ketentuan-ketentuan spesifik dalam contoh kasus yang kita ketengahkan, sebagaimana yang terlihat di Tabel 19-1, yang menampilkan sebuah contoh yang dirumuskan oleh Profesor Polinsky dalam karyanya pada bidang masalah ini (2003, hlm. 48). Seperti yang terlihat pada Tabel 1, pemilik kapal tunda dapat berada pada level kehati-hatian yang berbeda-beda menurut jalur pergerakan kapalnya berdasarkan salah satu dari tiga kecepatan laju kapal (speed). Kolom 2 menampilkan pertimbangan keuntungan bagi pemilik kapal tunda untuk memaksimalkan jumlah upayanya dengan sebarang cara. Menambatkan kapal lebih lambat mengharuskan pemilik kapal tunda memperoleh tambahan ganti rugi. Ekonomi mennyatakan tipe keuntungan ini disebut sebagai biaya peluang (opportunity cost) dan umumnya menganggap biaya ini dijadikan pertimbangan atas tindakan pihak lain yang berperkara. Kolom 3 menampilkan kedua pihak yang dapat mempengaruhi biaya kecelakaan yang diharapkan terhadap pemilik kapal tongkang. Sebagaimana yang terlihat pada kolom 3 dan 4, kita mengasumsikan bahwa pemilik kapal tongkang dapat berada pada salah satu dari dual eve; kehati-hatian, ia dapat memmbiarkan pemilik kapal tongkang tetap berada di posisi jalurnya atau memungkinkan pemilik kapal tongkang menyingkir dari jalurnya. Meskipun tidak dinyatakan pada tabel, kita dapat mengasumsikan bahwa biaya terhadap kapal tunda yang tetap berada di jalur geraknya bernilai posiif, namun sangat kecil ($1). Kolom 4 menampilkan total keuntungan yang diharapkan yang kurang daripada total biaya yang diharapkan – perolehan biaya sosial bersih – dari tindakan pihak lain menurut level kehati-hatian yang berbeda-beda.
            Efisiensi yang diperoleh – yakni, dampak yang meminimlakna baya kecelakaan dan memaksimalkan keuntungan sosial bersih – yang berlaku menurut kehati-hatian kedua belah pihak. Pemilik kapal tunda harus melaju pada kecepatan sedang, dan pemilik kapal tongkang harus memberi amaran bahwa kapal tunda tetap berada di jalur pergerakan kapalnya. Meskipun kolom 4 menunjukkan hasil yang efisien, kolom ini menampilkan perhitungan mengapa begitu hasil perhitungan efisiensinya, yang berguna dalam melakukan analisis perhitungan marjinal yang menjadi dasar penalaran ekonomi. Pergerakan laju kapal tunda yang cepat menghasilkan keuntungan terbesar yang diharapkan oleh pemilik kapal tunda ($150). Namun ditinjau dari nilai guna sosial, pergerakan kapal tunda yang berada pada laju sedang lebih dipilih karena biaya marjina; pemilik kapal tunda berada pada nilai sedang (B) yakni hanya $50 dari peluang biaya ($150-$100), sedangkan keuntungan marjinalnya jika ditinjau dari biaya kecelakaan yang diharapkan (PL) sebesar $75 (tergantung level kehati-hatian pemilik kapal tongkang, $125-$50-$75). Karena biaya penghindaran kurang daripada biaya kecelakaan yang diharapkan (B < PL), maka ditilik dari segi efisiensi, pemilik kapal tunda tidak segera melambat dengan cepat. Terlihat bahwa efisiensi juga mengharuskan pemilik kapal tunda tidak bergerak melambat karena biaya marjinalnya juga sebesar $50, sedangkan keuntungan marjinalnya hanya $30 (B>PL). Jadi, kriteria efisiensi menetapkan pemilik kapal tunda bergerak melambat pada kecepatan sedang. Demikian pula, pemilik kapal tongkang harus berada pada jalur pergerakan karena biaya marjinalnya selalu kurang dari keuntungan marjinal ($1<$20). Setelah menghitung dampak efisiensi, kita selanjutnya menetapkan sekumpulan standar kewajiban dalam memenuhi standar tersebut.
           
            Ditilik dari fungsi uamanya dalam melegitimasi hipotesa hukum positif, sekiranya terdapat terdapat suatu perkara yang memang memenuhi hipotesanya, maka hipotesa ini disebut hipotesa kasus Caroll Towing. Namun, ironisnya, para analis hukum ekonomi kebanyakan mengabaikan pertimbangan apakah Rumus Ekonometrika (Hand Formula) sebagaimana yang diterapkan pada kasus Kapal Caroll Towing benar-benar efisien., yang hanya menapilkan pertimbangan dan perhitungan secara abstra, karena perhitungan efisiensinya kemungkinan tidak berlaku jika berhadapa dengan kasus spesifik. Berdasarkan pertimbangan hipotesa positivisme,  kita akan menguji hipotesa ini sebagai suati peluang untuk menguji ulang hipotesa dengan menempatkan Rumus Ekonometrika dalam konteks yang sebenarnya.
            Untuk menentukan apakaha standar hukum United States Caroll Towung efisien, maka kita harus mula-mula mengajukan pertanyaan, apa yang dibandingkan dalam suatu perkara menurut efisiensi? Kaidah 1-6 sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 19-1 menampilkan standar enam kewajiban yang mungkin diberlakukan. Pertanyaan yang mesti dijawab dari kedua pihak adalah apakah kedua pihak berada pada level efisiensi jika ditilik dari tingkat kehati-hatian. Keputusan untuk memutuska ganti rugi didasarkan atas kewajiban masing-masing pihak yang berperkara (yakni, maisng-masing menanggung kewajiban, berdasarkan pertimbangan kehati-hatian ditinjau dari aspek efisiensi) dan apakah hasilnya efisien. Masing-masing kaidah tersebut didasarkan pada jumlah (kuantitas) waktu yang diperlukan dan dihitung menurut Rumur Ekonometrika.
            Penting untuk mengetahui bahwa kedua kapal sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 19-1 merupakan gambaran dari tindakan masing-masing tindakan pihak yang berperkara yang umumnya menganut kaidah kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak menurut Hukum Ekonometrika. Kaidah 3 adalah standar yang mengatur kelalaian, yakni tergugat berkewajiban menagugng biaya atas kelalaiannya apakah ia tidak memenuhi kehati-hatian ditinjau menurut efisiensi, namun pihak penggugat juga dikenakan kewajiban. Kaidah 4 mengatur standar “terbalik” (kewajiban yang ketat dimana pihak tergugat melakukan kelalaian). Kewajiban penggugat terjadi jika ia tidak memenuhi prinsip kehati-hatian atas kelalaian, tetapi sebalknya tergugat juga dibebani kewajiban. Di bawah standar Hhukum Ekonometrika Ekonomi yakni kaidah 2, tergugat dibebani kewajiban jika dan hanya jika penggugat melakukan  kehati-hatian ditinjau menurut efisiensi. Tetapi pihak tergugat tidak. (Standar ini, yang merupakan standarisasi hukum ganti rugi dasar, dan versi yang diberlakukan dala perkara tabrakan kapal Carrol Towing yang disebut sebagai “kelalaian atas tergugat atas kelalaian yang dilakukan pihak lain”). Sedangkan kaidah 5 menyatakan penggugat memenuhi kewajiban jika dan hanya jka tergugat berhati-hati tetapi penggugat tidak. (Ini disebut kaidah terbalik dua pihak yang mesti dipertibangkan dalam keputusan pengadilan).

Efisiensi Sebagai Norma

            Jika sebagaimana yang kita pahami dari uraian subbab seleumnya standar kewaijiban yang ditetapkan pada Rumut Ekonometrika Hukum dalam kasusu Caroll Towing tidaklah berdasarkan pada nilai paling maksimal efisinesi, jika ada alasan untuk mempercayai bahwa yuri (hakim) yang berhasil mempertimbangkan segi efisiensi pada kasus ganti rugi- atau setidaknya mereka cukup taat asas dalam membenarkan secara absah tuntutan dimana umumnya hukum cenderung mengarah pada pertimbangan efisiensi. Bahkan sekiranya suatu kasus dipertimbangka menurut efisiensi dianggak tidak memenuhi standar efisiensi, maka kecil alasan logis untuk yakin bahwa pengadilan mempertimbangkan aspek ekonomi yang akan mencapai keputusan yang memenuhi kriteria efisiensi. Lagipula, pengadilan dan yuri membuktikan bahwa sedikti atau tanpa memuat masud yang meminta berbagai sumber informasi yang tidak berkait sama sekali atauamat kecil kaitannya dengan pertimbangan efisiensi; mereka lebih mengacu pada persoalan-persoalan yang memfokuskan pada kasus atas beban tanggung jawab atau pemutusan kesalahan atas pertimbangan efisiensi (Feigenson, 2000).
           
            Meskipun analisis  sebeluknya mengajukan beberapa keraguan terhadap gagasan dan kaidah hukum yang dianut oleh positivisme hukum dan ekonomi, analisis menurut kaidah hukum positivisme juga memperhitungkan pertimbangan bahwa hukum dan eonomi menjadi pertimbangan analisis hukum. Meskipun penganut positivisme kini mengancu dan mempertimbangkan aspek perkara menurut positivisme, maka aspek normatif juga juga mesti dipertimbangkan dalam mencapai tuuan efisiensi sebagai tujuan relevam hukum dan menerapkan piranti hukum dan ekonomi guna memahami yang dapat memenuhi tujuan.
            Menurut kemaslahatan sejati dalam bidang hukum dan ekonomi berdasarkan kaidah normatif, yang digunakan dalam menelaah dan memutuskan dengan jelas perkara bagi pihak hakm maka pembaharuan kaidah-kaidah hukum yang tidak mesti harus efisiensi sebagaimana yang dikehendaki. Menurut standar pertimbangan kemaslahatan, ahli hukum ekonomi telah menerapkan kaidah-kaidah yang diatur dalam pasal-pasal yang mengatur tentang efisiensi, khususnya mengenai kaidah-kaidah hukum ganti rugi atau keputudan hukum ganti rugi. Dan ada beberapa karya hukum yang baik mengenai kaidah-kaidah utama pengetahuan hukum ekonomi (misalnya karya Landes & Posner, 1987 ; Shavell, 1987 ; Polinsky, 2003 , pp. 43 – 78; Posner, 2007 , pp. 167 – 213), yang menawarkan cara bagaimana seharusnya pengadilan beruapa memutuskan kasus-kasus yang berdasarkan pada pencapaian tujuan efisiensi menurut kasus-kasus ganti rugi yang terjadi. Pada sub uraian iat kita telah memperoleh pemahaman melalui kajian kita mengenai kasus Kapal Caroll Towing dalam mengembangakan daftar persoalan kasus secara menyeluruh dan parsial yang ditinjau menurut efisiensi – pengadilan dalam mengajukan pertanyaan ketika berhadapan dengan tuntutan ganti rugi. Karena pertimbangan ini, kita mesti mengembangkan pedoman umum yang berguna ditinjau dalam lingkup menyeluruh kasus. Namun demikian, upaya ini harus setidaknya mempertimbangkan segala sisis yang berguna sebagai cara untuk mempertimbankan beberapa uraian di sub-uraian selanjutnya.

            Misalkan efisiensi yang dianut menurut pertimbangan hukum yang dianut hakim ketika berhadapan dengan kasus ganti rugi. Maka halim harus memutuskan mula-mula bagaimana menetapkan ketentan hukun dan selanjutnya menetapkan tipeperlindungan hukum menurut kaidah-kaidah yang sudah berlaku dalam hukum. Jika biaya transaksi antara pihak-pihak yang berperkara rendah – dan khususnya jika ukuran atau pertimbangan objektif pengadilan atas kerusakan yang terkadi menyimpanga secara nyata dari pihak-pihak yang berperkara harus menetapkan keputuan bersama yang saling menguntungkan kedua pihak berdasarka pertimbangan kaidah-kaidah hukum perlindungan yag berlaku sebagaimana yang diatur dalam kaidah hukum kepemilikan (Posner, 1986, hm.49-50).
            Namun jika biaya transaksi dianggap tinggi untuk dapat dihindari, maka portensi kaidah kewajiban dijamin, sehingga pendahilan mesti mempertimbangkan dala keputusannya dengan mengacu pada standar-standar kewajiban yang paling efisiensi menurut kaidah-kaidah hukum ekonomi. Mula-mula pengadilan harus memfokuskan semata-mata pada level kepedualian masing-masing pihak yang berperkara, dengan menetapkan keputusan a[akah salah satu pihak ata kedua pihak dapat memberikan level kewajiban yang harus dipenuhi menurut level kehati-hatian yang akan mengurangi atau mereduksi tota biaya kecelakaan. Persoala dibagi atas dua pertimbangan, salah satu pertimbangan dikaji secara mendalam oleh akar hukum ekonomi dan pertimbangan lain apakah masing-masing pihak dapat melakukan penyesuaan ditinjau dari level kehatian-hatian masing-masing dalam menghindari kecelakaan dari kasus hukum. Jika level kehati-hatian kedua pihak dianggap relevan atau berhubungan, kecelakaan tersebut mempetimbangkan kedua pihak; jika hanya satu pihak dapat mempengaruhi biaya suati kecelakaan  dengan melakukan penyesuaian yang hanya mempertimbangkan salah satu level pertimbangan dari satu pihak saja, maka hubungan keputusan digolongkan dalam keputusan sepihak dan saalah satu pihak tidak dapat melakkukan penyesuaian level kehati-hatian dalam mengurangi biaya suatu kecelakaan, yang digolongkan sebagai hubungan kasus “tak lateral”.
            Pertanyaan selanjutnya yang dipertimbangkan adalah kemampuan membela diti akan menurut fakta memiliki pengaruh menguntungkan terhadap perilaku pihak yang berperkara dengan mengajukan apakah kewajiban ganti rugi sebenarnya memberi pengaruh yang menguntungkan pihak lain. Pertama, setiap pihak mempetimbangkan faktor eksternalitas bakan ketika ada resiko kewajiban gantu rugi. Misalnya, salah satu pihak tidak dapat mengurangi resiko yang dibebankan kepadanya, atau memperoleh jaminan yang secara substansial meniadalan dampak kaidah-kaidah keputusan hukum ganti rugi (Hanson dan Logue, 1990). Kedua, kewajibam ganti rugi sifatna berubah-ubah berdasarkan insentid yang memadai menurut tingkat kehati-hatian yang ditentukan dari ketentuan-ketentuan selain dairpada hukum ganti rugi (Shavell, 2007). Sejumlah sumberm misalnya regulasi pemerintah dan faktor-faktor ekonomi pasar, antara lain pasar asuransi yang berfungsi baik-yang dapat member asuransi atau insentif. Demikian pula ciri kerusakan atas resiko tertentu dapat menetapkan kewajiban satu pihak secara relatif memperoleh insentif yang kuat untuk mengindari beban kewajiban atas kecelakaan tanpa memandang apakah hukum ganti rugi pada tempo selanjutnya memutuskan kewajiban (Landes & Posner, 1987, hlm. 65; Croley & Hanson, 1995, hlm. 1913). Jika hukum ganti rugi dapat mempertimbangkan aspek lain atau memberikan cara untuk membela diri secara tidak efektif atas tuntutan salah satu pihak, funsginya tidak didapat dijadikan dasar pembenar sebagai piranti dalam mencegah kecelakaan pada masa selanjutnya.
            Memaksakan kewajiban ganti rugi pada salah satu pihak  akan menghasilkan pemenuhan level ganti rugi ditilik dari segi efisiensi yang dapat dihindari oleh pihak lain (B < PL).
            Jika salah satu dari persyaratan ini tidak dioenuhi, maka kewajiban tidak akan memberi pengaruh yang menguntungkan menurut level kehatian-hatian salah satu pihak yang berperkara. Kerana itu, jika hakim berhadapan dengan konteks hubungan non-lateral, ia aan memilih keputusan menurut standar kewajiban dengan menggunakan dan berpatokan pada kriteria selain dari kriteria penghindaran ata pembelaaan diri. Jika konteks kecelakaan tergolong sepihak (unilateral), maka tidak aa kewajiban mutlak, tergantung pada perilaku pihak yang berkaitan dengan perilaku pihak lain. Terkahir, jia konteks kecelakaan tergolong hubungan biletral maka pertimbangan dan keputusan hakim menurut efisiensi harus memilih beberapa satndar kewajiban yang tersedia atau ditetapkan. Selanjutnya, hakim dapat mengajukan pertanyaan lanjut apakah salah satu pihak dapat memastikan level kehatian-hatan pihak lain sebelum memutuskan apakah masing-masing memang berhati-hati. Jika tergugat dapat mengetahui level kehati-hatian penggugat, maka pengadilan dapat memilih standar yang menetapkan kewajiban tergugat ketika kedua pihak dianggap lalai (kaidah 3 atau kaidah 5). Jika di palin pihak, penggugat dapat mengetahui dan memastikan level kehati-hatian tergugat maka pengadilan dapat mengadopsi kaidah hukum 2 atau 4. Tentu saja, jika kehati-hatian tidak teramati terhadap tindakan kedua pihak, maka tak ada kaidah yang terpenuhi dari empat kaidah tersebut yang dapat digunakan sebagai dasar keputusan efisiensi, sehingga digunakan kriteria lain untuk memutuskan pilihan.
            Pengadilan dapat berkonfrontasi dengan bukt-bukti dalam suatu perkara ganti rugi, tentu saja, mencapai dan menarik kesimpulan dimana pihak penggugat atau pihak terggat tidak melakukan upaya penghindaran terhadap biaya ganti rugi kecelakaan maka tidak dapat dijadikan dasar kebenaran keputusan. Dalam konteks tersebut, pilihan standar kewajiban menghendaki pertimbangan mengenai pihak ang harus menanggung resiko biaya kecelakan yang tak tergolong kelalalain. Kaidah hukum 2 menetapkan tanggungan biaya bagi penggugat, sedangkan kaidah 4 dan 5 menetapkan tanggungan biaya bagi tergugat.Dari penjelasan di atas terlihat jelas bahwa ada dua kemungkina kesimpulan yang dapat diperoleh dari pemeriksaan pengadilan apakah penggugta atau terggat tidak dapat menghindari biaya kecelakaan yang memiliki dasar kebenaran hukum. Pertama, pengadilan dapat dipandang salah memutuskan perkara.Hal ini bisa terjadi setidaknya karena dua alasan, yang berpangkal dari kekeliruan informasi yang dterima: (1) pengadilan tidak dapat menetapkan level kehati-hatian kedua pihak berperkara untuk dapat dijadikan pertimbangan keputusan; (2) pengadilan tidak dapat menetapkan besar ganti rugimenurt level kehati-hatian. Akibatna, jika terdapat banyak potensi biaya yang tidak dapat di verifikasi, maka masing-masing pihak menanggung kewajiban bahkan sekiranya tidak ada bukti kelalaian. Disamping itu, pengadilan harus peka erhaap daya pembelaan diri, dan tidak hanya mempertimbangkan daya hindar terhadap kecelakaan yang terjadi. Kesimpulan kedua yang mungkin dapat diambil adalah hasil-hasil pemeriksaan pengadilan yang tidak menunjukan adanya kelalaian dimana memang pemeriksaan pengadilan membuktikan hal tersebut. Ketika kecelaaan terjadi tanpa perilaku kelalaian, maka biaya kecelakaan ditentukan pada pihak mana yang paling mampu menanggung biaya gantu rugi tersebut. Dengan kata lain, pengadilan harus memilih keputusan yang terbaik dalam memenuhi tujuan asuransi-yakni, keputusan dalam menetapkan resiko atas kecelakaan yang tak dapat dihindari terhadap pihak yang paling kecil menanggung biaya resiko kecelakaan. Jika penggugat dianggap mengalami resiko tanggungan biaya yang leboh besar, pengadilan harus menerapkan salah satu kewajiban lain atas tergugat. Jika tergugat dianggap tergolong  berada dalam resiko yang lebih besar yang memang terbukti tidak benar, maka penggugat harus bertangung jawab menanggung biaya kecelakaan tanpa kelalaian. Masalah akhir bagi penetapan keputuan yang berpatokan pada efisiensi barangkali mempertimbangkan biaya adminsitarasi. Pada konteks kecelakaan non-lateral, jika tidak ada kritera yang terbukti membantu dalam menunjang kritera penentuan level kehati-hatian, maka pengadilan menetapan keputusan tanpa standar kewajiban. Jika konteks kecelakaan ditilik dari hubunga bilateral, makan pengailan kemungkinan tidak mengetahui suatu kaidah hukum tertentu, melainkan memutuskan pertimbangan yang fleksibe menurut kaidah 3 dan 4, dimana rumus ekonometrika hukum hanya diterapkan.
            Meskipun daftar kaidah hukum ini tidak berarti berlaku terus-menerus, namun timbul persoalan atau pertanyaan dari kalangan hukum ekonomi mengenai apakah pengadilan melaksanakan keputusan hukum menurut hsil efisien sesuai dengan kriteria efisiensi dalam hukum ekonomi. Akan tetapi pembaca akan melihat dengan jelas persoalan ini. Meskipun pertimbangan efisiensi mengarah pada pertimbangan kewajiban yang sama sesuai standar yang ditetapkan dalam konteks kecelakaan tertentu, ada kemungkinan yang lebihbesar pertimbangan efisiensi yang berbeda akan menimbulkan implikasi yang bertentangan atas pilihan yang diputuskan diantara standar-standar kewajiban yang ada. Hakim atau ahli hukum ekonomi,harus beronfrontasi dengan tugas bagaimana menetapkan pilihan di antara faktor-faktor efisiensi yang menjadi pertimbangan satu sama lain.


Beberapa Keterbatasan Hukum dan Ekonomi
            Berbagai aliran pemikrian hukum dan  ekonomi sebenarnya amat tidak swa-kritis. Dtinjau dari pengaruh teori efisinesi, kita mengangap kewajiban khusus dengan merumuskan beberapa aspek yang menyangkut keterbatasam hukum dan ekonomi.
            Kekeliruang yang sebagia besar dikritik dari  aspek hukum dan ekonomi apakah kasus dapat diangkat dengan memeriksa kembali pertimbangan efisiensi sebagaimana yang dijelaskan di sub uraian sebelumnya. Mskipun ada kemungkinan pertimbangan efisiensi lain yang dapat digunakan, pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak dapat menjawab dengan tuntas persoalan-persoalan yang berkait dengan bagaimana pengadilan harus mengukr setiap pertimbangan atau keadilan antara satu pihak dengan pihak lain. Misanya, bgaimana pengadilan melakukan tindakan bertolak belakang menurut pertimbangan pembelaan diri atas level kehati-hatian? Atau misalnya bahwa semua pertimbangan pembelaaan menunjukkan arah yang sama, bagaiamana pengadilan menyanggah pertimbangan-pertimbangan jaminan gantu rugi yang saling berseberangan satu sama lain? Bagaimana biaya administrasinya atau ganti ruginya? Apakah kaidah-kaidah yang lebih ketat  selain kaidah 1  dapat menciptakan keuntungan yang melebihi biaya administratif atau ganti rugi? Dan bagaimana pengadilan menetapkan pilihan ganti rugi jika informasi yang diterima tidk sesuai danbiaya administrasi atau gati rugi yang dihasilkan melebihi apa yang ditentukan daam Rumus Ekonometika tersebut? Meskipun berbaga pertanyaan ini dapat dijawan apada level teori, namun sebenarnya tidak dapat secara nyata pada level praktek yang nyata. Persoalan yang dihadapi oleh para ahli hukum ekonomi adalah efisiensi menolak aturan normatif, yang secara sgnifikan efisiensi mempengaruhi kaidah alternatif yang harus ditempuh. Namun ekonom, sebagaimana halnya hakim, sangat dibatasi oleh biaya informasi dan karena tu, acapkali tidak dapat secara akurat memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan efisiensi yang saling bertolak belakang.
            Ahli hukum ekonmi mengalami keterbatasan atas persoalan ini sehingga harus menempuh salah satu dari dua cara – pertama pertimbangan empiris, kedua pertimbangan teoritis. Pertimbangan pertama adlah pertimbangan yang berdasarka pada aspek normatif, yang menghendak pemeriksaan empirs guna menimbang pertimbangan-pertimbangan efisiensi. Pilihan ini jarang ditempuh, dan jika memang ditempuh, maka resiko atas tanggungan akan melebihi keuntungan yang diraih. Sebaliknya menurut kaidah normatif diperoleh dari pertimbangan dan analisis yang bukan hana sekedar memperthitungkan aspek efisiensi, namun juga mendasarkan kesimpulan pada sesuatu yang berciri etika. Akan tetapi analisis normatif akan kehilangan daya normatifnya jika mengabaikan pertimbangan potensi efisiensi yang dapat terjadi. Dengan demikian, pendekatan ini harus tidak berpijak pada kekakuan ilmiah.
            Sebagaimana yang dikemukakan oleh Amartya Sem (1985) yang menyatakan bahwa tuntutan atau kebutuhan yang dapat dijajaki dapat berkonflik dengan analisis empiris dan barangkali merupakan hal yang paling lazim dan mengandung kritik yang potensial terhadap hukum dan ekonomi sebagaimana sesuatu yang tidak realitis dan tidak ilmiah.yang senantisa mempertimbangkan perilaku agen dalam masyarakat dan ekonomi (Jolls, Sunstein, & Thaler, 1998 , p. 1487). Ditinjau secara analis prediksi, kritik terhada[ pertimbangan yang lebih realitis mengenai manusia tidak dapat menggapai sesuatu yang riil dari kenyataan situasi yang dhadapi oleh manusia untuk bisa ditiru secara nyata dengan dibuat dalam pemodelan ekonomi (Jolls, Sunstein, & Thaler, 1998 , p. 1487) dan gagal menyuguhkan model perilaku manusia dalam menentukan pengambilan keputusa yang normatif perihal wilayah hukum yang dipandang berlaku optimal (Arlen, 1998 , p. 1788).
            Belum lama para ahli hukum melakukan kajian yang mendalam periha pertentangan antara pilihan rasional. Faktor-faktor di luar mnusia kadang jauh lebih memberikan pengaruh terhadap perilaku dibanding pendekatan ilmiah yang digunakan oleh ilmuwan daripada berdasarkan pada abstraksi (teoritis). Sebenarnya, banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kendali manusia dalam mempertimbangkan keputusan (misalnya struktur pengetahuan dan hubungan yang tidak jelas) dan faktor-faktor di luar kita yang jauh lebih berpengaruh atas perilaku ita sendiri. Para ahli yang menerapkan pendekatan uni disebut berpaham situasional atas realitas perilaku yang mengangap pemahaman yang tidak realitas yang digunakan dalam kerangka rasionalitas hukum dan bahkan merugikan (Hanson & Yosifon, 2004 ; Hart, 2005 ; Kang & Banaji, 2006 ).
            Sekali lagi dapat dinyatakan bahwa hukum dan ekonomi berada di antara pertentangan antara gagasan yang dianut oleh Amarthya Sen, yakni penyederhanaan dan relevasi masalah dalam memutuskan distribusi atau keadilan ekonomi. Ketika menganalisis efisiensi, salah satu ahli ekonomi hukum yang memberikan kontribusi yang berjalan saat yang dijadikan pertimbangan hukum yang cenderung mempertimbangkan aspek kemakmuran dan dampaknya buruk sebagai sesuatu yang dianggap tidak relevan (Cooter & Ulen, 2003 , pp. 7 – 10; Polinsky, 2003 , pp. 7 – 11, 147 – 56). Misanya, dengan meninjau ulang enam kaidah hukum sebagaimana yan dikemukakan yang berbeda (lhat Gamba 19-2) , terbukti bahwa ketik orang mengikuti kaidah 1 sampai 6, konsekuensi dostrbusi diperhitungkan secara setara berdasarkan hal yang menguntungkan pemilik kapal tongkang.
            Para ahli hukum ekonomi cendurung mengabaikan pengaruh ketika mempertimbangkan aspek efiisnesi menurut kaidah-kaidah  hukum yang berbeda untuk dapat diperbandingkan satu sama lain, dimana banyak orang kurang memperhitungkan total nilai guna sosial (atau utilitas) dibandingkan distribusi. Para ekonomi memberi pendapat dengan mengamati bahwa persoalan distribusi yang dipertimbangkan di  luar jangkauan pengetahuan ekonomi dan menyatakan bahwa institusi-institusi lain lebih baik dibekali dalam mencapai penyesusian tujuan distribus yang atas pengaruh hukum. Dengan demikian, realitas dan penyederhanaan masalah adaah dua hal yang berbeda.



Kesimpulan
            Sebagaimana kritik yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa hukum dan ekonomi ini bukan tanpa resiko (biaya). Pilihan untung-rugi antara memihak pada mazhab realisme dan memihak pada pengetahuan murni merupakan hal yang lumrah, hal inilah yang menjadi pertimbangan di kalangan ahli hukum ekonomi akan terus bertentangan. Namun demikian, dengan menyelami beberapa kelemahan dalam bidang hukum dan ekonmi tidak lantas memiliki dasar pembenar untuk mengabaikannya. Apapun resikonya (biaya gantu rugi dalam pengadilan), pertimbangan keputusan menurut hukum ekonomi juga meraih kelebihan Namun bagaimanapun, selagi tuntutan mempertimbangkan aspek efisiensi berperan sebagai tujuan huku, maka tidak akan banyak memberi banyak dukungan selama ada keyakinan yang berlangsung terus bahwa efisiensi harus menjadi tujuan sistem hukum.
            Asumsi-asumsi yang relevan atas mode berdsat lentur, sehingga hukum ekonomi dapat memberi sumbangsih bagi cara-cara yang penting dalam memahami pengaruh hukum, bagaimana seharusnya hukum diperbaharui guna memberi pencapaian tujuan efsiensi yang lebih baik atau mempertimbangkan biaya efisiensi dengan menetapkan tujuan yang berbeda-beda yang hendak dicapai.


 Hukum dan Ekonomi

JON HANSON, KATHLEEN HANSON dan  MELISSA HART


            Hukum dan ekonomi, sebagaimana tertuang dalam pernyataan ringkas Judge Richard Posner, salah bidang yang paling, menyatakan pentingnya “penerapan teori-teori dan metode empiris ekonomi dalam institusi penting sistem hukum (1975, hlm. 759). Meskipun generasi pertama cendikiawan yang bertumpu pada kajian efisiensi telah lama menerapkan analisis ekonomi pada beberapa bidang hukum, misalnya hukum anti-monopoli dan perdagangan, generasi kedua hukum dan ekonomi sebagaimana yang dikemukakan oleh Posner memusatkan pada studi prinsip-prinsip ekonomi terhadap setiap masalah hukum, bahkan pada aspek yang kurang begitu relevan seperti hukum kriminil dan hukum keluarga. Posner mengikhtisarkan keberhasilan dan pengaruh hukum ekonomi dalam kutipan pernyataannya di bawah ini:
Analisis hukum ekonomi paling berkembang dan terbanyak dikaji, studi lintas ilmu yang paling menggeliat dalam sejarah hukum Amerika, berpengaruh mencolok dalam penyelenggaraan hukum dan keputusan pengadilan, menumbuhkan jasa konsulltasi hukum yang menguntungkan, menyemarakkan bidang kajian dan buku-buku dalam analisis hukum, mempengaruhi perundang-undangan (analis hukum ekonomi berperan penting dalam perkembangan peraturan deregulasi), mengembangkan studi jurusan hukum strata satu dan dua yang mengkhususkan kajian hukum dan ekonomi di fakultas-fakultas mereka, meningkatkan para praktisinya di lembaga administrasi universitas dan yudikatif federal, dan kini merambah ke kawasan Atlantik dan mulai menggenang begitu cepat di Eropa.” (1995, hlm. 275).

            Gagasan yang serupa dilontarkan oleh Profesor Thomas Ulen yang menyatakan hukum ekonomi merupakan “salah satu inovasi paling berhasil dalam studi akadamik hukum pada akhir abad ini” – suatu bidang ilmu “…. yang banyak mewarnai … pendidikan hukum modern” (1997, hlm. 434).
            Dalan rentang sepuluh tahun terakhir telah terbit banyak artikel hukum ekonomi dan dalam lima tahun terakhir tak satu pun di antara artikel itu yang lebih banyak menumpukan kajian selain hukum ganti rugi … suatu pendekatan baru dalam studi hukum ekonomi … Kecenderungan ini berpeluang besar melanjut pada masa mendatang …Tak ada praktisi hukum, akademisi hukum, hakim pada masa mendatang begitu percaya piawai memahami hukum modern ganti rugi tanpa menelaah secara seksama analisis hukum ganti rugi dalam bidang ekonomi.
            Di antara kebanyakan pandangan ahli, Priest mengukuhkan hal ini: Tak ada cendikiawan yang memperoleh pemahaman yang memadai mengenai hukum ganti rugi tanpa mula-mula memahami betul prinsip-prinsip dasar hukum dan ekonomi. Hubungan antara teori-doktrin sebenarnya agak timbal balik. Karena itu, untuk menyelami analisis ekonomi modern maka diperlukan pemahaman mengenai dampak hukum ganti rugi yang bersumbangsih dalam perkembangan hukum ekonomi modern.
            Untuk memahami hal tersebut, ada dua pendekatan umum yang perlu ditelaah dalam hukum dan ekonomi, yakni: pendekatan positif, yang terdiri dari deskriptif maupun prediktif dan pendekatan normatif, yang terdiri dari preskriptif maupun pertimbangan (judgmental). Para ahli hukum ekonomi mesti mengajukan dua pertanyaan perihal pendekatan positif: Bagaimanakah pengaruh perilaku suatu kebijakan, dan apakah kebijakan tersebut menciptakan efisiensi – yakni, dampaknya terhadap minimalisasi biaya? Kedua, bagaimana hukum itu seharusnya sekiranya efisiensi adalah satu-satunya tujuan, dan apakah hukum, mesti bertumpu pada efisiensi? Pertanyaan kedua ini diajukan kepada para penganut positivisme – pengujian hipotesis bahwa hukum bertumpu pada pertimbangan terstruktur jika memang efisiensi adalah satu-satunya tujuan (lihat misalnya, Landes && Posner, 1987; Easterbrook & Fischel, 1991). Pemastian dan pengujian hipotesa positif tersebut pernah menjadi upaya pokok hukum dan ekonomi dan sebagian besar merupakan tanggung jawab atas apa yang kita sebut sebagai hukum dan ekonomi genarasi kedua. Kalau memang demikian, hipotesa positif pada akhirnya kehilangan sebagian besar, meskipun tentu saja tidak semua, pegangannya. Lagipula, upaya ini hanyalah keberhasilan perdana yang mengesankan dalam meyakinkan beberapa cendikiawan dalam menimbang efisiensi secara serius sebagai suatu tujuan hukum. Sebagian alasannya adalah karena dukungan empiris yang mencolok bagi positivisme yang menegaskan bahwa “logika hukum” sesungguhnya mengandung logika ekonomi” (Posner, 1975, hlm. 764, penekanan dambahan diberikan), karena ahli hukum dan beberapa juri hukum mengesampingkan logika normatif bahwa logika hukum haruslah berlogika ekonomi (Michelman, 1978, hlm 1038-1039). Dan kalau demikian, ada dua pertanyaan yang diajukan perihal pendekatan normatif. Pertama, haruskah efisiensi menjadi tujuan hukum? Dan kedua, jika memang, bagaimana hukum diperbaharui guna menempuh upaya terbaik dalam memenuhi tujuan efisiensi? Pertanyaan pertama menggugah munculnya berbagai pendapat dari para pakar hukum seperti Guido Calabresi, Jules Coleman, Ronald Dworkin, dan Richard Posner yang merupakan salah satu dari banyak perselisihan pandangan yang tajam dan terkenal dalam hukum pada abad kedua puluh (lihat Journal of Legal Studies, edisi 9; Hofstra Law Review, edisi 8). Namun, kini banyak cendikiawan hukum dan ekonom menegaskan tanpa enggan bahwa tujuan hukum mesti berpijak pada efisiensi (Hylton, 2005, hlm.9). Para ahli hukum ekonomi saat ini kebanyakan menelaah pengaruh kebijakan yang berbeda-beda (isu positivisme) dan merekomendasikan perubahan berdasarkan dampaknya (isu normatif). Untuk memahami bagaimana kita memahaminya, adalah berguna untuk menelaah lebih tajam hipotesa hukum positif.
            Dalam salah di antara berbagai karya awal dan paling penting dalam studi positivisme, Richard (1972) meneliti 1.500 keputusan pengadilan banding untuk menguji “teori kelalaian” (theory of negligence) (hlm. 29). Hasil analisis sampel menguatkan hipotesanya bahwa “fungsi dominan sistem kesalahan adalah mengacu kaidah-kaidah tanggung jawab dari akibat tindakan yang ditimbulkan, setidaknya pada level kecelakaan dan keselamatan yang dibenarkan menurut efisiensi biaya” (1972, hlm. 32).
            Posner menyatakan bahwa perbedaan atas perbedaan pandangan antara logika keputusan positif dan normatif berdasarkan argumen ini menunjukkan bahwa satu-satunya tujuan – efisiensi – memua segenap penjelasan hukum kelalaian dari sampel penelitiannya sebanyak 1.500 pendapat responden tersebut. Hal yang mendukung atas hipotesa ini, dari 1.500 sampel opini yang diteliti.
            Hal ini mendukung hipotesis tersebut dimana perselisihan tersebut diselesaikan melaui retorika yang tertuang dalam kaidah hukum ekonomi yang diatur dalam ketentuan Satandar Keputusan Hukum Ekonomi Ekonometrika (Judge Hand)
[in United States v. Carroll Towing Co. , 159 F.2d 169 (2d Cir. 1947) ” (1972 , hlm. 32).
            Meskipun kasus ini di luar data yang dihimpun Posnr, ia merbuapaya merumuskan “upaya dalam membuat standar yang berlaku di pengadilan yang dijelaskan (hlm 32). Karena itu, tingkat keberhasian yang memadai dari upaya positivisme hukum ditelaah dalam kasus tabrakan kapal Caroll Towng.
            Untuk memahami dengan baik persoalan ini bahwa Keputusan Hakim Menurut Perhitungan Aljabar (Judge Hand) berlaku, tinjaulah konteks perkara dimana hukum ekonomi umumnya berlaku. Tergugat, Carroll Towing Co., mengatur posisi jalurnya terhadap jalur kapal-kapal tongkang yang tengah melabuh di Pelabuhan New York. Salah satu kapal tongkang, the Anna C , berupaya menghindar dan menabrak sebuah tanker. Baling-baling tanker tersebut merusak badan kapal tunda Anna C, dan kapal Anna C tenggelam. Penguggat, pemilik Kapal Anna C, menggugat Carroll Towing Co. atas kerugian tersebut.
            Perkara pengadilan banding apakah pemilik kapal tunda, yang dituduh lalai dalam siding perkara, dapat menghindari ganti rugi kerusakan kepada pemilik Kapal Anna C. Tergugat menyatakan bahwa sebagian kecelakaan tersebut diakibatkan oleh pemilik kapal tongkang tersebut karena gagal mempertahankan arah jalur. Teori Aljabar Ganti Rugi (Judge Hand) memutuskan bahwa tergugat dianggap lalai, dan penggugat juga berkontribusi terhadap kelalaian, dengan mempertimbangkan biaya sisi penghindaran suatu kecelakaan dikurangi biaya yang diharapkan kecelakaan. Menurut rumus aljabar yang ringkas dan tajam ini, kewajiban suatu pihak dinyatakan dalam fungsi tiga variabel: peluang terjadinya kecelakaan, (P);  tingkat keparahan kerugian yang ditimbulkan jika kecelakaan terjadi, (L); dan tanggung jawab tindakan pencegahan yang memadai untuk menghindari kecelakaan. (B).
            Dengan menerapkan rumus tersebut, maka keputusan hukum menyatakan bahwa pemilik kapal tongkang berkontribusi terhadap kelalaian karena itu biaya ganti rugi juga ditanggung pada pemilik kapal tongkang (B) yang kurang daripada peluang kerugian (P) dikali tingkat keparahan kerugian (L).
            Menurut Posner, logika Ganti Rugi Ekonometirka ini secara tersirat (implist) menunjukkan pengertian kelalaian secara ekonomi (1972, hlm. 32). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Posner, “Rumus Logika Ekonomi ini” mengacu pada tujuan efisiensi yakni minimalisasi total biaya kecelakaan, termasuk biaya penghindaran kecelakan jika B < PL, sehingga memperhitungkan nilai marjinal dalam penghindaran kecelakaan (B) yang menghasilkan nilai positif bersih ditinjau dari reduksi marjinal biaya kecelakaan yang diharapkan (PL). Jadi efisiensi tersebut mengharuskan adanya pertimbangan minimalisasi. Dengan menetapkan setiap pihak yang bertanggung jawab berdasarkan ketentian B < PL, hukum ganti rugi mengharuskan adanya pertimbangan efinsiensi menurut penghindaran kecelakaan. Dalam bahasa hukum ekonomi, hukum ganti rugi pihak-pihak “menginternalisasi biaya eksternal mereka”, yakni (biaya eskternalitas adalah biaya dimana tindakan suatu pihak berlaku dengan mempertimbangkan tindakan pihak lain dalam suatu perkara dimana masing-masing meniadakan pertimbangan dari sudut pandangnya sendiri berdasarkan perhitungan nilai efisiensi. Berdasarkan pendapat kalangan hukum ekonomi, banyak hukum ganti rugi dipahami sebagai upaya utuk mengharuskan individu-individu mempertimbangkan internalisasi biaya-biaya atas pertimbangan tindaka individu-individu lain yang berperkara.
Model Ekonomi Kasus Kapal Carroll Towing

Perhitungan Awal Asumsi
            Untuk mengetahui dengan jelas dan di bawah kondisi apa Rumus Ekonometrika ini berlaku menurut sudut pandang efisiensi, kita sekarang meninjau model sederhana  kasus Caroll Towing. Sebagaimana fakta-fakta yang terjadi dalam kasus Carrol Towing, premis kita didasarkan pada sekumpulan asumsi, yang banyak di ataranya tidak realisitis, sehingga kita barangkali yang kurang paham analisis ekonomi mengetahui dengan asumsi yang digunakan menurut model ini. Dengan menerapkan asumsi ekonomtrika ini melalui penyederhanaan, maka akan memberikan kita gambaran beberapa kesahihan suatu model abstrak ekonometrika dan kemudian mengevaluasi pengaruhnya berdasarkan asumsi-asumsi dasar, sehingga kita dapat mengilustrasikan ciri penalaran ekonomi dan potensi manfaatnua ditilik dari aspek keuntungan dan biaya. Disamping itu, kita dapat menyuguhkan metodologi analitis yang sebagian besar digunakan oleh analis hukum ekonomi yang disebut sebagai aturan main keputusan perkara (game theory).
            Asumsi model kita adalah sebagai berikut:
1)      Ekonom Robert Cooter dan Thomas Ulen menyatakan bahwa “salah satu asumsi pokok dalam teori ekonomi adalah pengambil keputusan bertindak atas dasar kepentingan diri yang rasional, “yang berarti bahwa mereka memiliki pilihan-pilihan yang stabil dan sistematis, yang menunjukkan bahwa ... mereka memperhitungkan biaya dan manfaat dari pilihan-pilihan alternatif yang tersedia bagi mereka dan mereka dapat memilih pilihan-pilihan alternatif tersebut yang dapat menawarkan keuntungan atau maslahat yang sebesar-besarnya” (hlm. 350-351). Asumsi pertama ini memandang bahwa pemilik kapal tongkang dan pemilik kapal tunda adalah individu yang rasional.
2)      Semua biaya dan keuntungan dapat diukur menurut perhitungan nilai mata uang tunggal: dollar.
3)      Pemilik kapal tongkang dan pemilik kapal tunda memiliki dan memberikan informasi yang rinci meskipun tidak sempurna (yakni, mereka tahu bahwa pertimbangan pihak-pihak lain menurut pertimbangan untung-rugi; dan mereka masing-masing tahu bahwa masing-masing pihak memperoleh informasi yang baik, namun tidak mengetahui sebelumnya berapa besar tindakan yang akan diambil oleh pihak lain).
4)      Biaya transaksi (lebih spesifik disebut biaya ex ante (sebelum kecelakaan) bagi pemilik kapal tongkang dan kapal tunda yakni alokasi tangung jawab atau tingkat kehati-hatian atau kewaspadaan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam kontrak).
5)      Biaya keagenan (termasuk biaya mempekerjakan dan memonitor agen, serta biaya residu atas kemangkiran agen) antara pemilik kapal tongkang dan pekerjanya adalah nol.
6)      Level aktivitas pihak-pihak yang berperakara, fruekuensi dan jangka waktu tindakan mereka tidaklah relevan karena tidak mempengaruhi total biaya kecelakaan. Yang hanya dipandang relevan adalah level kehatian-hatian ketika mereka bertindak.
7)      Standar pengurusan biaya liabilitas tidak ditanggung biaya.
8)      Kedua pihak yang berperkara netral resiko – yakni individu yang berhati-hati mengenai nilai pilihan mereka. Nilai yang diharapkan dari suatu pilihan yang beresiko adalah nilai absolute mereka, sekiranya terjadi, dikali peluang yang akan terjadi. Sebaliknya nilai terbalik resiko, yang dimaksud adalah kehati-hatian yang  tidak hanya menyangkut biaya yang diharapkan, melainkan pula mengenai nilai absolut resiko. Misalnya, seseorang diberikan peluang 50% memenangkan $1.000 atau jaminan menang $500. Kedua pihak memiliki nilai haapan yang sama, $500. Karena itu, bersifat netral resiko Karen masing-masing pihak tidak dibedakan antara dua pilihan yang tersedia. Karena itu, jika terjadi kebalikan dari resiko, ia dengan yakin lebih memilih $500.
9)      Tak ada pengaruh dari  pihak eksternal ketiga. Pemilik kapal tunda dan kapal tongkang hanyalah pihak-pihak yang dipengaruhi berdasarkan interaksi dan melalui pilihan kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
10)  Kedua pihak tahu kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
11)  Pengadilan dengan akurat menghitung biaya dan manfaat dari perilaku dan tindakan masing-masing pihak yang berperkara dan mereka juga tahun angka-angka yang tertuang pada Tabel 19-1 dan benar-benar menerapkan dan meneriman standar kewajiban masing-masing pihak yang berperkara.


Model Dasar

            Tinjaulah sekarang ketentuan-ketentuan spesifik dalam contoh kasus yang kita ketengahkan, sebagaimana yang terlihat di Tabel 19-1, yang menampilkan sebuah contoh yang dirumuskan oleh Profesor Polinsky dalam karyanya pada bidang masalah ini (2003, hlm. 48). Seperti yang terlihat pada Tabel 1, pemilik kapal tunda dapat berada pada level kehati-hatian yang berbeda-beda menurut jalur pergerakan kapalnya berdasarkan salah satu dari tiga kecepatan laju kapal (speed). Kolom 2 menampilkan pertimbangan keuntungan bagi pemilik kapal tunda untuk memaksimalkan jumlah upayanya dengan sebarang cara. Menambatkan kapal lebih lambat mengharuskan pemilik kapal tunda memperoleh tambahan ganti rugi. Ekonomi mennyatakan tipe keuntungan ini disebut sebagai biaya peluang (opportunity cost) dan umumnya menganggap biaya ini dijadikan pertimbangan atas tindakan pihak lain yang berperkara. Kolom 3 menampilkan kedua pihak yang dapat mempengaruhi biaya kecelakaan yang diharapkan terhadap pemilik kapal tongkang. Sebagaimana yang terlihat pada kolom 3 dan 4, kita mengasumsikan bahwa pemilik kapal tongkang dapat berada pada salah satu dari dual eve; kehati-hatian, ia dapat memmbiarkan pemilik kapal tongkang tetap berada di posisi jalurnya atau memungkinkan pemilik kapal tongkang menyingkir dari jalurnya. Meskipun tidak dinyatakan pada tabel, kita dapat mengasumsikan bahwa biaya terhadap kapal tunda yang tetap berada di jalur geraknya bernilai posiif, namun sangat kecil ($1). Kolom 4 menampilkan total keuntungan yang diharapkan yang kurang daripada total biaya yang diharapkan – perolehan biaya sosial bersih – dari tindakan pihak lain menurut level kehati-hatian yang berbeda-beda.
            Efisiensi yang diperoleh – yakni, dampak yang meminimlakna baya kecelakaan dan memaksimalkan keuntungan sosial bersih – yang berlaku menurut kehati-hatian kedua belah pihak. Pemilik kapal tunda harus melaju pada kecepatan sedang, dan pemilik kapal tongkang harus memberi amaran bahwa kapal tunda tetap berada di jalur pergerakan kapalnya. Meskipun kolom 4 menunjukkan hasil yang efisien, kolom ini menampilkan perhitungan mengapa begitu hasil perhitungan efisiensinya, yang berguna dalam melakukan analisis perhitungan marjinal yang menjadi dasar penalaran ekonomi. Pergerakan laju kapal tunda yang cepat menghasilkan keuntungan terbesar yang diharapkan oleh pemilik kapal tunda ($150). Namun ditinjau dari nilai guna sosial, pergerakan kapal tunda yang berada pada laju sedang lebih dipilih karena biaya marjina; pemilik kapal tunda berada pada nilai sedang (B) yakni hanya $50 dari peluang biaya ($150-$100), sedangkan keuntungan marjinalnya jika ditinjau dari biaya kecelakaan yang diharapkan (PL) sebesar $75 (tergantung level kehati-hatian pemilik kapal tongkang, $125-$50-$75). Karena biaya penghindaran kurang daripada biaya kecelakaan yang diharapkan (B < PL), maka ditilik dari segi efisiensi, pemilik kapal tunda tidak segera melambat dengan cepat. Terlihat bahwa efisiensi juga mengharuskan pemilik kapal tunda tidak bergerak melambat karena biaya marjinalnya juga sebesar $50, sedangkan keuntungan marjinalnya hanya $30 (B>PL). Jadi, kriteria efisiensi menetapkan pemilik kapal tunda bergerak melambat pada kecepatan sedang. Demikian pula, pemilik kapal tongkang harus berada pada jalur pergerakan karena biaya marjinalnya selalu kurang dari keuntungan marjinal ($1<$20). Setelah menghitung dampak efisiensi, kita selanjutnya menetapkan sekumpulan standar kewajiban dalam memenuhi standar tersebut.
           





            Ditilik dari fungsi uamanya dalam melegitimasi hipotesa hukum positif, sekiranya terdapat terdapat suatu perkara yang memang memenuhi hipotesanya, maka hipotesa ini disebut hipotesa kasus Caroll Towing. Namun, ironisnya, para analis hukum ekonomi kebanyakan mengabaikan pertimbangan apakah Rumus Ekonometrika (Hand Formula) sebagaimana yang diterapkan pada kasus Kapal Caroll Towing benar-benar efisien., yang hanya menapilkan pertimbangan dan perhitungan secara abstra, karena perhitungan efisiensinya kemungkinan tidak berlaku jika berhadapa dengan kasus spesifik. Berdasarkan pertimbangan hipotesa positivisme,  kita akan menguji hipotesa ini sebagai suati peluang untuk menguji ulang hipotesa dengan menempatkan Rumus Ekonometrika dalam konteks yang sebenarnya.
            Untuk menentukan apakaha standar hukum United States Caroll Towung efisien, maka kita harus mula-mula mengajukan pertanyaan, apa yang dibandingkan dalam suatu perkara menurut efisiensi? Kaidah 1-6 sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 19-1 menampilkan standar enam kewajiban yang mungkin diberlakukan. Pertanyaan yang mesti dijawab dari kedua pihak adalah apakah kedua pihak berada pada level efisiensi jika ditilik dari tingkat kehati-hatian. Keputusan untuk memutuska ganti rugi didasarkan atas kewajiban masing-masing pihak yang berperkara (yakni, maisng-masing menanggung kewajiban, berdasarkan pertimbangan kehati-hatian ditinjau dari aspek efisiensi) dan apakah hasilnya efisien. Masing-masing kaidah tersebut didasarkan pada jumlah (kuantitas) waktu yang diperlukan dan dihitung menurut Rumur Ekonometrika.
            Penting untuk mengetahui bahwa kedua kapal sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 19-1 merupakan gambaran dari tindakan masing-masing tindakan pihak yang berperkara yang umumnya menganut kaidah kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak menurut Hukum Ekonometrika. Kaidah 3 adalah standar yang mengatur kelalaian, yakni tergugat berkewajiban menagugng biaya atas kelalaiannya apakah ia tidak memenuhi kehati-hatian ditinjau menurut efisiensi, namun pihak penggugat juga dikenakan kewajiban. Kaidah 4 mengatur standar “terbalik” (kewajiban yang ketat dimana pihak tergugat melakukan kelalaian). Kewajiban penggugat terjadi jika ia tidak memenuhi prinsip kehati-hatian atas kelalaian, tetapi sebalknya tergugat juga dibebani kewajiban. Di bawah standar Hhukum Ekonometrika Ekonomi yakni kaidah 2, tergugat dibebani kewajiban jika dan hanya jika penggugat melakukan  kehati-hatian ditinjau menurut efisiensi. Tetapi pihak tergugat tidak. (Standar ini, yang merupakan standarisasi hukum ganti rugi dasar, dan versi yang diberlakukan dala perkara tabrakan kapal Carrol Towing yang disebut sebagai “kelalaian atas tergugat atas kelalaian yang dilakukan pihak lain”). Sedangkan kaidah 5 menyatakan penggugat memenuhi kewajiban jika dan hanya jka tergugat berhati-hati tetapi penggugat tidak. (Ini disebut kaidah terbalik dua pihak yang mesti dipertibangkan dalam keputusan pengadilan).

Efisiensi Sebagai Norma

            Jika sebagaimana yang kita pahami dari uraian subbab seleumnya standar kewaijiban yang ditetapkan pada Rumut Ekonometrika Hukum dalam kasusu Caroll Towing tidaklah berdasarkan pada nilai paling maksimal efisinesi, jika ada alasan untuk mempercayai bahwa yuri (hakim) yang berhasil mempertimbangkan segi efisiensi pada kasus ganti rugi- atau setidaknya mereka cukup taat asas dalam membenarkan secara absah tuntutan dimana umumnya hukum cenderung mengarah pada pertimbangan efisiensi. Bahkan sekiranya suatu kasus dipertimbangka menurut efisiensi dianggak tidak memenuhi standar efisiensi, maka kecil alasan logis untuk yakin bahwa pengadilan mempertimbangkan aspek ekonomi yang akan mencapai keputusan yang memenuhi kriteria efisiensi. Lagipula, pengadilan dan yuri membuktikan bahwa sedikti atau tanpa memuat masud yang meminta berbagai sumber informasi yang tidak berkait sama sekali atauamat kecil kaitannya dengan pertimbangan efisiensi; mereka lebih mengacu pada persoalan-persoalan yang memfokuskan pada kasus atas beban tanggung jawab atau pemutusan kesalahan atas pertimbangan efisiensi (Feigenson, 2000).
           

            Meskipun analisis  sebeluknya mengajukan beberapa keraguan terhadap gagasan dan kaidah hukum yang dianut oleh positivisme hukum dan ekonomi, analisis menurut kaidah hukum positivisme juga memperhitungkan pertimbangan bahwa hukum dan eonomi menjadi pertimbangan analisis hukum. Meskipun penganut positivisme kini mengancu dan mempertimbangkan aspek perkara menurut positivisme, maka aspek normatif juga juga mesti dipertimbangkan dalam mencapai tuuan efisiensi sebagai tujuan relevam hukum dan menerapkan piranti hukum dan ekonomi guna memahami yang dapat memenuhi tujuan.
            Menurut kemaslahatan sejati dalam bidang hukum dan ekonomi berdasarkan kaidah normatif, yang digunakan dalam menelaah dan memutuskan dengan jelas perkara bagi pihak hakm maka pembaharuan kaidah-kaidah hukum yang tidak mesti harus efisiensi sebagaimana yang dikehendaki. Menurut standar pertimbangan kemaslahatan, ahli hukum ekonomi telah menerapkan kaidah-kaidah yang diatur dalam pasal-pasal yang mengatur tentang efisiensi, khususnya mengenai kaidah-kaidah hukum ganti rugi atau keputudan hukum ganti rugi. Dan ada beberapa karya hukum yang baik mengenai kaidah-kaidah utama pengetahuan hukum ekonomi (misalnya karya Landes & Posner, 1987 ; Shavell, 1987 ; Polinsky, 2003 , pp. 43 – 78; Posner, 2007 , pp. 167 – 213), yang menawarkan cara bagaimana seharusnya pengadilan beruapa memutuskan kasus-kasus yang berdasarkan pada pencapaian tujuan efisiensi menurut kasus-kasus ganti rugi yang terjadi. Pada sub uraian iat kita telah memperoleh pemahaman melalui kajian kita mengenai kasus Kapal Caroll Towing dalam mengembangakan daftar persoalan kasus secara menyeluruh dan parsial yang ditinjau menurut efisiensi – pengadilan dalam mengajukan pertanyaan ketika berhadapan dengan tuntutan ganti rugi. Karena pertimbangan ini, kita mesti mengembangkan pedoman umum yang berguna ditinjau dalam lingkup menyeluruh kasus. Namun demikian, upaya ini harus setidaknya mempertimbangkan segala sisis yang berguna sebagai cara untuk mempertimbankan beberapa uraian di sub-uraian selanjutnya.

            Misalkan efisiensi yang dianut menurut pertimbangan hukum yang dianut hakim ketika berhadapan dengan kasus ganti rugi. Maka halim harus memutuskan mula-mula bagaimana menetapkan ketentan hukun dan selanjutnya menetapkan tipeperlindungan hukum menurut kaidah-kaidah yang sudah berlaku dalam hukum. Jika biaya transaksi antara pihak-pihak yang berperkara rendah – dan khususnya jika ukuran atau pertimbangan objektif pengadilan atas kerusakan yang terkadi menyimpanga secara nyata dari pihak-pihak yang berperkara harus menetapkan keputuan bersama yang saling menguntungkan kedua pihak berdasarka pertimbangan kaidah-kaidah hukum perlindungan yag berlaku sebagaimana yang diatur dalam kaidah hukum kepemilikan (Posner, 1986, hm.49-50).
            Namun jika biaya transaksi dianggap tinggi untuk dapat dihindari, maka portensi kaidah kewajiban dijamin, sehingga pendahilan mesti mempertimbangkan dala keputusannya dengan mengacu pada standar-standar kewajiban yang paling efisiensi menurut kaidah-kaidah hukum ekonomi. Mula-mula pengadilan harus memfokuskan semata-mata pada level kepedualian masing-masing pihak yang berperkara, dengan menetapkan keputusan a[akah salah satu pihak ata kedua pihak dapat memberikan level kewajiban yang harus dipenuhi menurut level kehati-hatian yang akan mengurangi atau mereduksi tota biaya kecelakaan. Persoala dibagi atas dua pertimbangan, salah satu pertimbangan dikaji secara mendalam oleh akar hukum ekonomi dan pertimbangan lain apakah masing-masing pihak dapat melakukan penyesuaan ditinjau dari level kehatian-hatian masing-masing dalam menghindari kecelakaan dari kasus hukum. Jika level kehati-hatian kedua pihak dianggap relevan atau berhubungan, kecelakaan tersebut mempetimbangkan kedua pihak; jika hanya satu pihak dapat mempengaruhi biaya suati kecelakaan  dengan melakukan penyesuaian yang hanya mempertimbangkan salah satu level pertimbangan dari satu pihak saja, maka hubungan keputusan digolongkan dalam keputusan sepihak dan saalah satu pihak tidak dapat melakkukan penyesuaian level kehati-hatian dalam mengurangi biaya suatu kecelakaan, yang digolongkan sebagai hubungan kasus “tak lateral”.
            Pertanyaan selanjutnya yang dipertimbangkan adalah kemampuan membela diti akan menurut fakta memiliki pengaruh menguntungkan terhadap perilaku pihak yang berperkara dengan mengajukan apakah kewajiban ganti rugi sebenarnya memberi pengaruh yang menguntungkan pihak lain. Pertama, setiap pihak mempetimbangkan faktor eksternalitas bakan ketika ada resiko kewajiban gantu rugi. Misalnya, salah satu pihak tidak dapat mengurangi resiko yang dibebankan kepadanya, atau memperoleh jaminan yang secara substansial meniadalan dampak kaidah-kaidah keputusan hukum ganti rugi (Hanson dan Logue, 1990). Kedua, kewajibam ganti rugi sifatna berubah-ubah berdasarkan insentid yang memadai menurut tingkat kehati-hatian yang ditentukan dari ketentuan-ketentuan selain dairpada hukum ganti rugi (Shavell, 2007). Sejumlah sumberm misalnya regulasi pemerintah dan faktor-faktor ekonomi pasar, antara lain pasar asuransi yang berfungsi baik-yang dapat member asuransi atau insentif. Demikian pula ciri kerusakan atas resiko tertentu dapat menetapkan kewajiban satu pihak secara relatif memperoleh insentif yang kuat untuk mengindari beban kewajiban atas kecelakaan tanpa memandang apakah hukum ganti rugi pada tempo selanjutnya memutuskan kewajiban (Landes & Posner, 1987, hlm. 65; Croley & Hanson, 1995, hlm. 1913). Jika hukum ganti rugi dapat mempertimbangkan aspek lain atau memberikan cara untuk membela diri secara tidak efektif atas tuntutan salah satu pihak, funsginya tidak didapat dijadikan dasar pembenar sebagai piranti dalam mencegah kecelakaan pada masa selanjutnya.
            Memaksakan kewajiban ganti rugi pada salah satu pihak  akan menghasilkan pemenuhan level ganti rugi ditilik dari segi efisiensi yang dapat dihindari oleh pihak lain (B < PL).
            Jika salah satu dari persyaratan ini tidak dioenuhi, maka kewajiban tidak akan memberi pengaruh yang menguntungkan menurut level kehatian-hatian salah satu pihak yang berperkara. Kerana itu, jika hakim berhadapan dengan konteks hubungan non-lateral, ia aan memilih keputusan menurut standar kewajiban dengan menggunakan dan berpatokan pada kriteria selain dari kriteria penghindaran ata pembelaaan diri. Jika konteks kecelakaan tergolong sepihak (unilateral), maka tidak aa kewajiban mutlak, tergantung pada perilaku pihak yang berkaitan dengan perilaku pihak lain. Terkahir, jia konteks kecelakaan tergolong hubungan biletral maka pertimbangan dan keputusan hakim menurut efisiensi harus memilih beberapa satndar kewajiban yang tersedia atau ditetapkan. Selanjutnya, hakim dapat mengajukan pertanyaan lanjut apakah salah satu pihak dapat memastikan level kehatian-hatan pihak lain sebelum memutuskan apakah masing-masing memang berhati-hati. Jika tergugat dapat mengetahui level kehati-hatian penggugat, maka pengadilan dapat memilih standar yang menetapkan kewajiban tergugat ketika kedua pihak dianggap lalai (kaidah 3 atau kaidah 5). Jika di palin pihak, penggugat dapat mengetahui dan memastikan level kehati-hatian tergugat maka pengadilan dapat mengadopsi kaidah hukum 2 atau 4. Tentu saja, jika kehati-hatian tidak teramati terhadap tindakan kedua pihak, maka tak ada kaidah yang terpenuhi dari empat kaidah tersebut yang dapat digunakan sebagai dasar keputusan efisiensi, sehingga digunakan kriteria lain untuk memutuskan pilihan.
            Pengadilan dapat berkonfrontasi dengan bukt-bukti dalam suatu perkara ganti rugi, tentu saja, mencapai dan menarik kesimpulan dimana pihak penggugat atau pihak terggat tidak melakukan upaya penghindaran terhadap biaya ganti rugi kecelakaan maka tidak dapat dijadikan dasar kebenaran keputusan. Dalam konteks tersebut, pilihan standar kewajiban menghendaki pertimbangan mengenai pihak ang harus menanggung resiko biaya kecelakan yang tak tergolong kelalalain. Kaidah hukum 2 menetapkan tanggungan biaya bagi penggugat, sedangkan kaidah 4 dan 5 menetapkan tanggungan biaya bagi tergugat.Dari penjelasan di atas terlihat jelas bahwa ada dua kemungkina kesimpulan yang dapat diperoleh dari pemeriksaan pengadilan apakah penggugta atau terggat tidak dapat menghindari biaya kecelakaan yang memiliki dasar kebenaran hukum. Pertama, pengadilan dapat dipandang salah memutuskan perkara.Hal ini bisa terjadi setidaknya karena dua alasan, yang berpangkal dari kekeliruan informasi yang dterima: (1) pengadilan tidak dapat menetapkan level kehati-hatian kedua pihak berperkara untuk dapat dijadikan pertimbangan keputusan; (2) pengadilan tidak dapat menetapkan besar ganti rugimenurt level kehati-hatian. Akibatna, jika terdapat banyak potensi biaya yang tidak dapat di verifikasi, maka masing-masing pihak menanggung kewajiban bahkan sekiranya tidak ada bukti kelalaian. Disamping itu, pengadilan harus peka erhaap daya pembelaan diri, dan tidak hanya mempertimbangkan daya hindar terhadap kecelakaan yang terjadi. Kesimpulan kedua yang mungkin dapat diambil adalah hasil-hasil pemeriksaan pengadilan yang tidak menunjukan adanya kelalaian dimana memang pemeriksaan pengadilan membuktikan hal tersebut. Ketika kecelaaan terjadi tanpa perilaku kelalaian, maka biaya kecelakaan ditentukan pada pihak mana yang paling mampu menanggung biaya gantu rugi tersebut. Dengan kata lain, pengadilan harus memilih keputusan yang terbaik dalam memenuhi tujuan asuransi-yakni, keputusan dalam menetapkan resiko atas kecelakaan yang tak dapat dihindari terhadap pihak yang paling kecil menanggung biaya resiko kecelakaan. Jika penggugat dianggap mengalami resiko tanggungan biaya yang leboh besar, pengadilan harus menerapkan salah satu kewajiban lain atas tergugat. Jika tergugat dianggap tergolong  berada dalam resiko yang lebih besar yang memang terbukti tidak benar, maka penggugat harus bertangung jawab menanggung biaya kecelakaan tanpa kelalaian. Masalah akhir bagi penetapan keputuan yang berpatokan pada efisiensi barangkali mempertimbangkan biaya adminsitarasi. Pada konteks kecelakaan non-lateral, jika tidak ada kritera yang terbukti membantu dalam menunjang kritera penentuan level kehati-hatian, maka pengadilan menetapan keputusan tanpa standar kewajiban. Jika konteks kecelakaan ditilik dari hubunga bilateral, makan pengailan kemungkinan tidak mengetahui suatu kaidah hukum tertentu, melainkan memutuskan pertimbangan yang fleksibe menurut kaidah 3 dan 4, dimana rumus ekonometrika hukum hanya diterapkan.
            Meskipun daftar kaidah hukum ini tidak berarti berlaku terus-menerus, namun timbul persoalan atau pertanyaan dari kalangan hukum ekonomi mengenai apakah pengadilan melaksanakan keputusan hukum menurut hsil efisien sesuai dengan kriteria efisiensi dalam hukum ekonomi. Akan tetapi pembaca akan melihat dengan jelas persoalan ini. Meskipun pertimbangan efisiensi mengarah pada pertimbangan kewajiban yang sama sesuai standar yang ditetapkan dalam konteks kecelakaan tertentu, ada kemungkinan yang lebihbesar pertimbangan efisiensi yang berbeda akan menimbulkan implikasi yang bertentangan atas pilihan yang diputuskan diantara standar-standar kewajiban yang ada. Hakim atau ahli hukum ekonomi,harus beronfrontasi dengan tugas bagaimana menetapkan pilihan di antara faktor-faktor efisiensi yang menjadi pertimbangan satu sama lain.


Beberapa Keterbatasan Hukum dan Ekonomi
            Berbagai aliran pemikrian hukum dan  ekonomi sebenarnya amat tidak swa-kritis. Dtinjau dari pengaruh teori efisinesi, kita mengangap kewajiban khusus dengan merumuskan beberapa aspek yang menyangkut keterbatasam hukum dan ekonomi.
            Kekeliruang yang sebagia besar dikritik dari  aspek hukum dan ekonomi apakah kasus dapat diangkat dengan memeriksa kembali pertimbangan efisiensi sebagaimana yang dijelaskan di sub uraian sebelumnya. Mskipun ada kemungkinan pertimbangan efisiensi lain yang dapat digunakan, pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak dapat menjawab dengan tuntas persoalan-persoalan yang berkait dengan bagaimana pengadilan harus mengukr setiap pertimbangan atau keadilan antara satu pihak dengan pihak lain. Misanya, bgaimana pengadilan melakukan tindakan bertolak belakang menurut pertimbangan pembelaan diri atas level kehati-hatian? Atau misalnya bahwa semua pertimbangan pembelaaan menunjukkan arah yang sama, bagaiamana pengadilan menyanggah pertimbangan-pertimbangan jaminan gantu rugi yang saling berseberangan satu sama lain? Bagaimana biaya administrasinya atau ganti ruginya? Apakah kaidah-kaidah yang lebih ketat  selain kaidah 1  dapat menciptakan keuntungan yang melebihi biaya administratif atau ganti rugi? Dan bagaimana pengadilan menetapkan pilihan ganti rugi jika informasi yang diterima tidk sesuai danbiaya administrasi atau gati rugi yang dihasilkan melebihi apa yang ditentukan daam Rumus Ekonometika tersebut? Meskipun berbaga pertanyaan ini dapat dijawan apada level teori, namun sebenarnya tidak dapat secara nyata pada level praktek yang nyata. Persoalan yang dihadapi oleh para ahli hukum ekonomi adalah efisiensi menolak aturan normatif, yang secara sgnifikan efisiensi mempengaruhi kaidah alternatif yang harus ditempuh. Namun ekonom, sebagaimana halnya hakim, sangat dibatasi oleh biaya informasi dan karena tu, acapkali tidak dapat secara akurat memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan efisiensi yang saling bertolak belakang.
            Ahli hukum ekonmi mengalami keterbatasan atas persoalan ini sehingga harus menempuh salah satu dari dua cara – pertama pertimbangan empiris, kedua pertimbangan teoritis. Pertimbangan pertama adlah pertimbangan yang berdasarka pada aspek normatif, yang menghendak pemeriksaan empirs guna menimbang pertimbangan-pertimbangan efisiensi. Pilihan ini jarang ditempuh, dan jika memang ditempuh, maka resiko atas tanggungan akan melebihi keuntungan yang diraih. Sebaliknya menurut kaidah normatif diperoleh dari pertimbangan dan analisis yang bukan hana sekedar memperthitungkan aspek efisiensi, namun juga mendasarkan kesimpulan pada sesuatu yang berciri etika. Akan tetapi analisis normatif akan kehilangan daya normatifnya jika mengabaikan pertimbangan potensi efisiensi yang dapat terjadi. Dengan demikian, pendekatan ini harus tidak berpijak pada kekakuan ilmiah.
            Sebagaimana yang dikemukakan oleh Amartya Sem (1985) yang menyatakan bahwa tuntutan atau kebutuhan yang dapat dijajaki dapat berkonflik dengan analisis empiris dan barangkali merupakan hal yang paling lazim dan mengandung kritik yang potensial terhadap hukum dan ekonomi sebagaimana sesuatu yang tidak realitis dan tidak ilmiah.yang senantisa mempertimbangkan perilaku agen dalam masyarakat dan ekonomi (Jolls, Sunstein, & Thaler, 1998 , p. 1487). Ditinjau secara analis prediksi, kritik terhada[ pertimbangan yang lebih realitis mengenai manusia tidak dapat menggapai sesuatu yang riil dari kenyataan situasi yang dhadapi oleh manusia untuk bisa ditiru secara nyata dengan dibuat dalam pemodelan ekonomi (Jolls, Sunstein, & Thaler, 1998 , p. 1487) dan gagal menyuguhkan model perilaku manusia dalam menentukan pengambilan keputusa yang normatif perihal wilayah hukum yang dipandang berlaku optimal (Arlen, 1998 , p. 1788).
            Belum lama para ahli hukum melakukan kajian yang mendalam periha pertentangan antara pilihan rasional. Faktor-faktor di luar mnusia kadang jauh lebih memberikan pengaruh terhadap perilaku dibanding pendekatan ilmiah yang digunakan oleh ilmuwan daripada berdasarkan pada abstraksi (teoritis). Sebenarnya, banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kendali manusia dalam mempertimbangkan keputusan (misalnya struktur pengetahuan dan hubungan yang tidak jelas) dan faktor-faktor di luar kita yang jauh lebih berpengaruh atas perilaku ita sendiri. Para ahli yang menerapkan pendekatan uni disebut berpaham situasional atas realitas perilaku yang mengangap pemahaman yang tidak realitas yang digunakan dalam kerangka rasionalitas hukum dan bahkan merugikan (Hanson & Yosifon, 2004 ; Hart, 2005 ; Kang & Banaji, 2006 ).
            Sekali lagi dapat dinyatakan bahwa hukum dan ekonomi berada di antara pertentangan antara gagasan yang dianut oleh Amarthya Sen, yakni penyederhanaan dan relevasi masalah dalam memutuskan distribusi atau keadilan ekonomi. Ketika menganalisis efisiensi, salah satu ahli ekonomi hukum yang memberikan kontribusi yang berjalan saat yang dijadikan pertimbangan hukum yang cenderung mempertimbangkan aspek kemakmuran dan dampaknya buruk sebagai sesuatu yang dianggap tidak relevan (Cooter & Ulen, 2003 , pp. 7 – 10; Polinsky, 2003 , pp. 7 – 11, 147 – 56). Misanya, dengan meninjau ulang enam kaidah hukum sebagaimana yan dikemukakan yang berbeda (lhat Gamba 19-2) , terbukti bahwa ketik orang mengikuti kaidah 1 sampai 6, konsekuensi dostrbusi diperhitungkan secara setara berdasarkan hal yang menguntungkan pemilik kapal tongkang.
            Para ahli hukum ekonomi cendurung mengabaikan pengaruh ketika mempertimbangkan aspek efiisnesi menurut kaidah-kaidah  hukum yang berbeda untuk dapat diperbandingkan satu sama lain, dimana banyak orang kurang memperhitungkan total nilai guna sosial (atau utilitas) dibandingkan distribusi. Para ekonomi memberi pendapat dengan mengamati bahwa persoalan distribusi yang dipertimbangkan di  luar jangkauan pengetahuan ekonomi dan menyatakan bahwa institusi-institusi lain lebih baik dibekali dalam mencapai penyesusian tujuan distribus yang atas pengaruh hukum. Dengan demikian, realitas dan penyederhanaan masalah adaah dua hal yang berbeda.


Kesimpulan
            Sebagaimana kritik yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa hukum dan ekonomi ini bukan tanpa resiko (biaya). Pilihan untung-rugi antara memihak pada mazhab realisme dan memihak pada pengetahuan murni merupakan hal yang lumrah, hal inilah yang menjadi pertimbangan di kalangan ahli hukum ekonomi akan terus bertentangan. Namun demikian, dengan menyelami beberapa kelemahan dalam bidang hukum dan ekonmi tidak lantas memiliki dasar pembenar untuk mengabaikannya. Apapun resikonya (biaya gantu rugi dalam pengadilan), pertimbangan keputusan menurut hukum ekonomi juga meraih kelebihan Namun bagaimanapun, selagi tuntutan mempertimbangkan aspek efisiensi berperan sebagai tujuan huku, maka tidak akan banyak memberi banyak dukungan selama ada keyakinan yang berlangsung terus bahwa efisiensi harus menjadi tujuan sistem hukum.
            Asumsi-asumsi yang relevan atas mode berdsat lentur, sehingga hukum ekonomi dapat memberi sumbangsih bagi cara-cara yang penting dalam memahami pengaruh hukum, bagaimana seharusnya hukum diperbaharui guna memberi pencapaian tujuan efsiensi yang lebih baik atau mempertimbangkan biaya efisiensi dengan menetapkan tujuan yang berbeda-beda yang hendak dicapai.


< >