1. Masyarakat Internasional Sebagai Landasan Sosiologis Hukum Internasional
Landasan sosiologis hukum adalah masyarakat. Artinya, hukum itu ada dan berlaku jika ada masyarakat. Demikian pula halnya hukum internasional. Oleh karena itu, untuk membuktikan ada dan berlakunya hukum internasional maka terlebih dahulu harus dibuktikan adanya masyarakat internasional. Dengan kata lain, masyarkat internasional adalah landasan sosiologis bagi berlakunya hukum internasional.
Untuk dapat dikatakan ada masyarakat internasional, ada sejumlah syarat atau unsur tertentu yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut mencakup baik syarat materiil maupun non-materiil.
Syarat materiil dari adanya hukum internasional adalah berupa fakta-fakta eksitensi fisik yaitu:
(a) Adanya negara-negara yang merdeka dan berdaulat.
Pada saat ini terdapat ratusan negara merdeka dan berdaulat. Dengan demikian, syarat adanya negara-negara merdeka dan berdaulat sudah menjadi fakta yang tidak mungkin dibantah.
(b) Adanya hubungan yang tetap dan berkelanjutan antar negara-negara yang merdeka dan berdaulat tersebut.
Syarat ini pun sudah merupakan fakta yang tidak dapat dibantah. Dalam kehidupan dunia saat ini, tak ada satu pun negara yang mengisolasi dirinya dari pergaulan internasional. Sebab, suka atau tidak, negara-negara itu harus mengadakan hubungan satu dengan yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, mereka saling bergantung satu dengan yang lain dalam memenuhi kebutuhannya.
(c) Adanya hukum yang mengatur hubungan tetap antar negara-negara merdeka dan berdaulat itu.
Hubungan yang tetap dan berkelanjutan antara negara-negara hanya mungkin berlangsung tertib apabila ada hukum yang mengaturnya. Artinya, hukum dibutuhkan untuk menjamin kepastian kelangsungan hubungan itu. Ini pun sudah merupakan fakta yang tak dapat dibantah. Sebab tidaklah mungkin suatu negara berhubungan dengan negara lain tanpa landasan dan ikatan kaidah hukum, betapa pun sederhana dan tidak formalnya hubungan itu. Hukum itu baik yang berupa kaidah hukum tertulis yang lahir dari perjanjian maupun berupa kaidah hukum kebiasaan.
Sementara itu, syarat non-materiil dari masyarakat internasional adalah adanya kesamaan asas-asas hukum. Bagaimanapun berbedanya corak hukum positif yang berlaku di masing-masing negara yang ada di dunia saat ini, mereka pasti mengakui dan terikat oleh adanya kesamaan asas-asas atau prinsip-prinsip hukum. Inilah yang dinamakan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (general principles of law recognized by civilized nations – akan dibahas lebih jauh dalam pembahasan tentang sumber-sumber hukum internasional). Adanya kesamaan asas-asas hukum ini dapat dikembalikan kepada rasio dan naluri mempertahankan diri yang ada pada manusia. Masyarakat bangsa-bangsa, yang terdiri atas sekumpulan manusia, pun tunduk kepada rasio dan naluri demikian.
2. Hakikat Kedaulatan dan Fungsinya dalam Perkembangan Hukum Internasional
Sebagaimana diketahui, kedaulatan (souvereignty) berarti kekuasaan tertinggi (dari istilah Latin “superanus” yang berarti “yang tertinggi” atau “yang teratas”). Dengan kata lain, suatu negara berdaulat tidak mengakui adanya kekuasaan lain yang lebih tinggi darinya. Pengertian inilah yang kemudian menimbulkan persoalan dalam hubungannya dengan hukum internasional karena seolah-olah kedaulatan itu menghambat perkembangan hukum internasional atau bahkan bertentangan dengan hukum internasional. Bagaimana mungkin sesuatu yang menganggap dirinya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi akan tunduk pada kekuasaan lain? Dengan kata lain, tidak mungkin hukum internasional itu mengikat negara-negara jika negara-negara itu merupakan kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui adanya kekuasaan lain yang lebih tinggi (yaitu, dalam hal ini, hukum internasional).
Pandangan demikian, meskipun sepintas tampak masuk akal, sesungguhnya tidak benar. Pandangan demikian lahir karena didasari oleh pemahaman yang keliru mengenai dua hal. Pertama, pandangan demikian keliru dalam memahami masyarakat internasional (dan sifat hakikat hukum internasional). Kedua, pandangan demikian juga keliru dalam memahami hakikat kedaulatan.
Tentang kekeliruan yang pertama: kekeliruan dalam memahami masyarakat internasional (dan sifat hakikat hukum internasional). Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, struktur masyarakat internasional bukanlah struktur masyarakat atau negara dunia melainkan suatu masyarakat yang terdiri atas negara-negara yang masing-masing merdeka yang tidak memiliki suatu pemerintahan dunia (world government). Sementara itu tertib hukum yang mengaturnya, yaitu hukum internasional, bukanlah tertib hukum yang bersifat subordinatif melainkan tertib hukum koordinatif. Jadi, pandangan yang menyatakan bahwa kedaulatan menghambat perkembangan hukum internasional baru menjadi benar apabila masyarakat internasional itu adalah masyarakat atau negara dunia dan tertib hukum yang mengaturnya adalah tertib hukum dunia yang merupakan tertib hukum yang bersifat subordinatif.
Tentang kekeliruan yang kedua: kekeliruan dalam memahami hakikat kedaulatan. Benar bahwa kedaulatan berarti kekuasaan yang tertinggi. Benar pula bahwa suatu negara berdaulat tidak mengakui adanya kekuasaan lain yang lebih tinggi di luar dirinya. Namun, kekuasaan yang tertinggi bukanlah berarti kekuasaan yang tidak terbatas.
Kedaulatan, sebagai kekuasaan tertinggi, ada batas-batasnya. Negara berdaulat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pun ada batas-batasnya sampai di mana kekuasaan itu dapat atau boleh dilaksanakan. Pembatasan pertama dari kedaulatan suatu negara adalah kedaulatan yang dimiliki oleh negara lain. Di sini terkandung dua pengertian, yaitu: pertama, kedaulatan atau kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara hanya berlaku dalam batas-batas wilayah negara yang bersangkutan; kedua, kedaulatan atau kekuasaan tertinggi suatu negara itu berakhir di mana kedaulatan negara lain dimulai. Jadi, sesungguhnya dalam sifat hakikat kedaulatan suatu negara itu sendiri telah dengan sendirinya terkandung pembatasan.
Pembatasan yang kedua terhadap kedaulatan negara adalah hukum internasional. Artinya, jika pada tahap pertama pembatasan terhadap kedaulatan negara itu terletak pada kedaulatan negara lain maka pembatasan terhadap kedaulatan seluruh negara terletak pada hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar negara-negara yang berdaulat itu. Sebab, tidak mungkin akan tercipta hubungan antarnegara (hubungan internasional) yang tertib dan teratur tanpa adanya penerimaan akan pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antarnegara atau hubungan internasional itu.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa selama masyarakat internasional masih tetap berupa masyarakat yang anggotanya terdiri atas negara-negara yang masing-masing merdeka dan berdaulat, bukan masyarakat yang merupakan negara dunia, maka kedaulatan negara bukanlah penghambat perkembangan hukum internasional dan sekaligus tidak bertentangan dengan hukum internasional. Pandangan yang menyatakan bahwa kedaulatan bertentangan dengan hukum internasional dan sekaligus menghambat perkembangan hukum internasional baru menjadi benar hanya jika masyarakat internasional itu telah menjadi masyarakat atau negara dunia dan hukum internasional itu sudah merupakan hukum dunia.