Search This Blog

Kamis, 06 Agustus 2015

HUKUM DAN EKONOMI (JON HANSON, KATHLEEN HANSON dan MELISSA HART)



            Hukum dan ekonomi, sebagaimana tertuang dalam pernyataan ringkas Judge Richard Posner, salah bidang yang paling, menyatakan pentingnya “penerapan teori-teori dan metode empiris ekonomi dalam institusi penting sistem hukum (1975, hlm. 759). Meskipun generasi pertama cendikiawan yang bertumpu pada kajian efisiensi telah lama menerapkan analisis ekonomi pada beberapa bidang hukum, misalnya hukum anti-monopoli dan perdagangan, generasi kedua hukum dan ekonomi sebagaimana yang dikemukakan oleh Posner memusatkan pada studi prinsip-prinsip ekonomi terhadap setiap masalah hukum, bahkan pada aspek yang kurang begitu relevan seperti hukum kriminil dan hukum keluarga. Posner mengikhtisarkan keberhasilan dan pengaruh hukum ekonomi dalam kutipan pernyataannya di bawah ini:
Analisis hukum ekonomi paling berkembang dan terbanyak dikaji, studi lintas ilmu yang paling menggeliat dalam sejarah hukum Amerika, berpengaruh mencolok dalam penyelenggaraan hukum dan keputusan pengadilan, menumbuhkan jasa konsulltasi hukum yang menguntungkan, menyemarakkan bidang kajian dan buku-buku dalam analisis hukum, mempengaruhi perundang-undangan (analis hukum ekonomi berperan penting dalam perkembangan peraturan deregulasi), mengembangkan studi jurusan hukum strata satu dan dua yang mengkhususkan kajian hukum dan ekonomi di fakultas-fakultas mereka, meningkatkan para praktisinya di lembaga administrasi universitas dan yudikatif federal, dan kini merambah ke kawasan Atlantik dan mulai menggenang begitu cepat di Eropa.” (1995, hlm. 275).

            Gagasan yang serupa dilontarkan oleh Profesor Thomas Ulen yang menyatakan hukum ekonomi merupakan “salah satu inovasi paling berhasil dalam studi akadamik hukum pada akhir abad ini” – suatu bidang ilmu “…. yang banyak mewarnai … pendidikan hukum modern” (1997, hlm. 434).
            Dalan rentang sepuluh tahun terakhir telah terbit banyak artikel hukum ekonomi dan dalam lima tahun terakhir tak satu pun di antara artikel itu yang lebih banyak menumpukan kajian selain hukum ganti rugi … suatu pendekatan baru dalam studi hukum ekonomi … Kecenderungan ini berpeluang besar melanjut pada masa mendatang …Tak ada praktisi hukum, akademisi hukum, hakim pada masa mendatang begitu percaya piawai memahami hukum modern ganti rugi tanpa menelaah secara seksama analisis hukum ganti rugi dalam bidang ekonomi.
            Di antara kebanyakan pandangan ahli, Priest mengukuhkan hal ini: Tak ada cendikiawan yang memperoleh pemahaman yang memadai mengenai hukum ganti rugi tanpa mula-mula memahami betul prinsip-prinsip dasar hukum dan ekonomi. Hubungan antara teori-doktrin sebenarnya agak timbal balik. Karena itu, untuk menyelami analisis ekonomi modern maka diperlukan pemahaman mengenai dampak hukum ganti rugi yang bersumbangsih dalam perkembangan hukum ekonomi modern.
            Untuk memahami hal tersebut, ada dua pendekatan umum yang perlu ditelaah dalam hukum dan ekonomi, yakni: pendekatan positif, yang terdiri dari deskriptif maupun prediktif dan pendekatan normatif, yang terdiri dari preskriptif maupun pertimbangan (judgmental). Para ahli hukum ekonomi mesti mengajukan dua pertanyaan perihal pendekatan positif: Bagaimanakah pengaruh perilaku suatu kebijakan, dan apakah kebijakan tersebut menciptakan efisiensi – yakni, dampaknya terhadap minimalisasi biaya? Kedua, bagaimana hukum itu seharusnya sekiranya efisiensi adalah satu-satunya tujuan, dan apakah hukum, mesti bertumpu pada efisiensi? Pertanyaan kedua ini diajukan kepada para penganut positivisme – pengujian hipotesis bahwa hukum bertumpu pada pertimbangan terstruktur jika memang efisiensi adalah satu-satunya tujuan (lihat misalnya, Landes && Posner, 1987; Easterbrook & Fischel, 1991). Pemastian dan pengujian hipotesa positif tersebut pernah menjadi upaya pokok hukum dan ekonomi dan sebagian besar merupakan tanggung jawab atas apa yang kita sebut sebagai hukum dan ekonomi genarasi kedua. Kalau memang demikian, hipotesa positif pada akhirnya kehilangan sebagian besar, meskipun tentu saja tidak semua, pegangannya. Lagipula, upaya ini hanyalah keberhasilan perdana yang mengesankan dalam meyakinkan beberapa cendikiawan dalam menimbang efisiensi secara serius sebagai suatu tujuan hukum. Sebagian alasannya adalah karena dukungan empiris yang mencolok bagi positivisme yang menegaskan bahwa “logika hukum” sesungguhnya mengandung logika ekonomi” (Posner, 1975, hlm. 764, penekanan dambahan diberikan), karena ahli hukum dan beberapa juri hukum mengesampingkan logika normatif bahwa logika hukum haruslah berlogika ekonomi (Michelman, 1978, hlm 1038-1039). Dan kalau demikian, ada dua pertanyaan yang diajukan perihal pendekatan normatif. Pertama, haruskah efisiensi menjadi tujuan hukum? Dan kedua, jika memang, bagaimana hukum diperbaharui guna menempuh upaya terbaik dalam memenuhi tujuan efisiensi? Pertanyaan pertama menggugah munculnya berbagai pendapat dari para pakar hukum seperti Guido Calabresi, Jules Coleman, Ronald Dworkin, dan Richard Posner yang merupakan salah satu dari banyak perselisihan pandangan yang tajam dan terkenal dalam hukum pada abad kedua puluh (lihat Journal of Legal Studies, edisi 9; Hofstra Law Review, edisi 8). Namun, kini banyak cendikiawan hukum dan ekonom menegaskan tanpa enggan bahwa tujuan hukum mesti berpijak pada efisiensi (Hylton, 2005, hlm.9). Para ahli hukum ekonomi saat ini kebanyakan menelaah pengaruh kebijakan yang berbeda-beda (isu positivisme) dan merekomendasikan perubahan berdasarkan dampaknya (isu normatif). Untuk memahami bagaimana kita memahaminya, adalah berguna untuk menelaah lebih tajam hipotesa hukum positif.
            Dalam salah di antara berbagai karya awal dan paling penting dalam studi positivisme, Richard (1972) meneliti 1.500 keputusan pengadilan banding untuk menguji “teori kelalaian” (theory of negligence) (hlm. 29). Hasil analisis sampel menguatkan hipotesanya bahwa “fungsi dominan sistem kesalahan adalah mengacu kaidah-kaidah tanggung jawab dari akibat tindakan yang ditimbulkan, setidaknya pada level kecelakaan dan keselamatan yang dibenarkan menurut efisiensi biaya” (1972, hlm. 32).
            Posner menyatakan bahwa perbedaan atas perbedaan pandangan antara logika keputusan positif dan normatif berdasarkan argumen ini menunjukkan bahwa satu-satunya tujuan – efisiensi – memua segenap penjelasan hukum kelalaian dari sampel penelitiannya sebanyak 1.500 pendapat responden tersebut. Hal yang mendukung atas hipotesa ini, dari 1.500 sampel opini yang diteliti.
            Hal ini mendukung hipotesis tersebut dimana perselisihan tersebut diselesaikan melaui retorika yang tertuang dalam kaidah hukum ekonomi yang diatur dalam ketentuan Satandar Keputusan Hukum Ekonomi Ekonometrika (Judge Hand)
[in United States v. Carroll Towing Co. , 159 F.2d 169 (2d Cir. 1947) ” (1972 , hlm. 32).
            Meskipun kasus ini di luar data yang dihimpun Posnr, ia merbuapaya merumuskan “upaya dalam membuat standar yang berlaku di pengadilan yang dijelaskan (hlm 32). Karena itu, tingkat keberhasian yang memadai dari upaya positivisme hukum ditelaah dalam kasus tabrakan kapal Caroll Towng.
            Untuk memahami dengan baik persoalan ini bahwa Keputusan Hakim Menurut Perhitungan Aljabar (Judge Hand) berlaku, tinjaulah konteks perkara dimana hukum ekonomi umumnya berlaku. Tergugat, Carroll Towing Co., mengatur posisi jalurnya terhadap jalur kapal-kapal tongkang yang tengah melabuh di Pelabuhan New York. Salah satu kapal tongkang, the Anna C , berupaya menghindar dan menabrak sebuah tanker. Baling-baling tanker tersebut merusak badan kapal tunda Anna C, dan kapal Anna C tenggelam. Penguggat, pemilik Kapal Anna C, menggugat Carroll Towing Co. atas kerugian tersebut.
            Perkara pengadilan banding apakah pemilik kapal tunda, yang dituduh lalai dalam siding perkara, dapat menghindari ganti rugi kerusakan kepada pemilik Kapal Anna C. Tergugat menyatakan bahwa sebagian kecelakaan tersebut diakibatkan oleh pemilik kapal tongkang tersebut karena gagal mempertahankan arah jalur. Teori Aljabar Ganti Rugi (Judge Hand) memutuskan bahwa tergugat dianggap lalai, dan penggugat juga berkontribusi terhadap kelalaian, dengan mempertimbangkan biaya sisi penghindaran suatu kecelakaan dikurangi biaya yang diharapkan kecelakaan. Menurut rumus aljabar yang ringkas dan tajam ini, kewajiban suatu pihak dinyatakan dalam fungsi tiga variabel: peluang terjadinya kecelakaan, (P);  tingkat keparahan kerugian yang ditimbulkan jika kecelakaan terjadi, (L); dan tanggung jawab tindakan pencegahan yang memadai untuk menghindari kecelakaan. (B).
            Dengan menerapkan rumus tersebut, maka keputusan hukum menyatakan bahwa pemilik kapal tongkang berkontribusi terhadap kelalaian karena itu biaya ganti rugi juga ditanggung pada pemilik kapal tongkang (B) yang kurang daripada peluang kerugian (P) dikali tingkat keparahan kerugian (L).
            Menurut Posner, logika Ganti Rugi Ekonometirka ini secara tersirat (implist) menunjukkan pengertian kelalaian secara ekonomi (1972, hlm. 32). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Posner, “Rumus Logika Ekonomi ini” mengacu pada tujuan efisiensi yakni minimalisasi total biaya kecelakaan, termasuk biaya penghindaran kecelakan jika B < PL, sehingga memperhitungkan nilai marjinal dalam penghindaran kecelakaan (B) yang menghasilkan nilai positif bersih ditinjau dari reduksi marjinal biaya kecelakaan yang diharapkan (PL). Jadi efisiensi tersebut mengharuskan adanya pertimbangan minimalisasi. Dengan menetapkan setiap pihak yang bertanggung jawab berdasarkan ketentian B < PL, hukum ganti rugi mengharuskan adanya pertimbangan efinsiensi menurut penghindaran kecelakaan. Dalam bahasa hukum ekonomi, hukum ganti rugi pihak-pihak “menginternalisasi biaya eksternal mereka”, yakni (biaya eskternalitas adalah biaya dimana tindakan suatu pihak berlaku dengan mempertimbangkan tindakan pihak lain dalam suatu perkara dimana masing-masing meniadakan pertimbangan dari sudut pandangnya sendiri berdasarkan perhitungan nilai efisiensi. Berdasarkan pendapat kalangan hukum ekonomi, banyak hukum ganti rugi dipahami sebagai upaya utuk mengharuskan individu-individu mempertimbangkan internalisasi biaya-biaya atas pertimbangan tindaka individu-individu lain yang berperkara.
Model Ekonomi Kasus Kapal Carroll Towing

Perhitungan Awal Asumsi
            Untuk mengetahui dengan jelas dan di bawah kondisi apa Rumus Ekonometrika ini berlaku menurut sudut pandang efisiensi, kita sekarang meninjau model sederhana  kasus Caroll Towing. Sebagaimana fakta-fakta yang terjadi dalam kasus Carrol Towing, premis kita didasarkan pada sekumpulan asumsi, yang banyak di ataranya tidak realisitis, sehingga kita barangkali yang kurang paham analisis ekonomi mengetahui dengan asumsi yang digunakan menurut model ini. Dengan menerapkan asumsi ekonomtrika ini melalui penyederhanaan, maka akan memberikan kita gambaran beberapa kesahihan suatu model abstrak ekonometrika dan kemudian mengevaluasi pengaruhnya berdasarkan asumsi-asumsi dasar, sehingga kita dapat mengilustrasikan ciri penalaran ekonomi dan potensi manfaatnua ditilik dari aspek keuntungan dan biaya. Disamping itu, kita dapat menyuguhkan metodologi analitis yang sebagian besar digunakan oleh analis hukum ekonomi yang disebut sebagai aturan main keputusan perkara (game theory).
            Asumsi model kita adalah sebagai berikut:
1)      Ekonom Robert Cooter dan Thomas Ulen menyatakan bahwa “salah satu asumsi pokok dalam teori ekonomi adalah pengambil keputusan bertindak atas dasar kepentingan diri yang rasional, “yang berarti bahwa mereka memiliki pilihan-pilihan yang stabil dan sistematis, yang menunjukkan bahwa ... mereka memperhitungkan biaya dan manfaat dari pilihan-pilihan alternatif yang tersedia bagi mereka dan mereka dapat memilih pilihan-pilihan alternatif tersebut yang dapat menawarkan keuntungan atau maslahat yang sebesar-besarnya” (hlm. 350-351). Asumsi pertama ini memandang bahwa pemilik kapal tongkang dan pemilik kapal tunda adalah individu yang rasional.
2)      Semua biaya dan keuntungan dapat diukur menurut perhitungan nilai mata uang tunggal: dollar.
3)      Pemilik kapal tongkang dan pemilik kapal tunda memiliki dan memberikan informasi yang rinci meskipun tidak sempurna (yakni, mereka tahu bahwa pertimbangan pihak-pihak lain menurut pertimbangan untung-rugi; dan mereka masing-masing tahu bahwa masing-masing pihak memperoleh informasi yang baik, namun tidak mengetahui sebelumnya berapa besar tindakan yang akan diambil oleh pihak lain).
4)      Biaya transaksi (lebih spesifik disebut biaya ex ante (sebelum kecelakaan) bagi pemilik kapal tongkang dan kapal tunda yakni alokasi tangung jawab atau tingkat kehati-hatian atau kewaspadaan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam kontrak).
5)      Biaya keagenan (termasuk biaya mempekerjakan dan memonitor agen, serta biaya residu atas kemangkiran agen) antara pemilik kapal tongkang dan pekerjanya adalah nol.
6)      Level aktivitas pihak-pihak yang berperakara, fruekuensi dan jangka waktu tindakan mereka tidaklah relevan karena tidak mempengaruhi total biaya kecelakaan. Yang hanya dipandang relevan adalah level kehatian-hatian ketika mereka bertindak.
7)      Standar pengurusan biaya liabilitas tidak ditanggung biaya.
8)      Kedua pihak yang berperkara netral resiko – yakni individu yang berhati-hati mengenai nilai pilihan mereka. Nilai yang diharapkan dari suatu pilihan yang beresiko adalah nilai absolute mereka, sekiranya terjadi, dikali peluang yang akan terjadi. Sebaliknya nilai terbalik resiko, yang dimaksud adalah kehati-hatian yang  tidak hanya menyangkut biaya yang diharapkan, melainkan pula mengenai nilai absolut resiko. Misalnya, seseorang diberikan peluang 50% memenangkan $1.000 atau jaminan menang $500. Kedua pihak memiliki nilai haapan yang sama, $500. Karena itu, bersifat netral resiko Karen masing-masing pihak tidak dibedakan antara dua pilihan yang tersedia. Karena itu, jika terjadi kebalikan dari resiko, ia dengan yakin lebih memilih $500.
9)      Tak ada pengaruh dari  pihak eksternal ketiga. Pemilik kapal tunda dan kapal tongkang hanyalah pihak-pihak yang dipengaruhi berdasarkan interaksi dan melalui pilihan kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
10)  Kedua pihak tahu kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
11)  Pengadilan dengan akurat menghitung biaya dan manfaat dari perilaku dan tindakan masing-masing pihak yang berperkara dan mereka juga tahun angka-angka yang tertuang pada Tabel 19-1 dan benar-benar menerapkan dan meneriman standar kewajiban masing-masing pihak yang berperkara.


Model Dasar

            Tinjaulah sekarang ketentuan-ketentuan spesifik dalam contoh kasus yang kita ketengahkan, sebagaimana yang terlihat di Tabel 19-1, yang menampilkan sebuah contoh yang dirumuskan oleh Profesor Polinsky dalam karyanya pada bidang masalah ini (2003, hlm. 48). Seperti yang terlihat pada Tabel 1, pemilik kapal tunda dapat berada pada level kehati-hatian yang berbeda-beda menurut jalur pergerakan kapalnya berdasarkan salah satu dari tiga kecepatan laju kapal (speed). Kolom 2 menampilkan pertimbangan keuntungan bagi pemilik kapal tunda untuk memaksimalkan jumlah upayanya dengan sebarang cara. Menambatkan kapal lebih lambat mengharuskan pemilik kapal tunda memperoleh tambahan ganti rugi. Ekonomi mennyatakan tipe keuntungan ini disebut sebagai biaya peluang (opportunity cost) dan umumnya menganggap biaya ini dijadikan pertimbangan atas tindakan pihak lain yang berperkara. Kolom 3 menampilkan kedua pihak yang dapat mempengaruhi biaya kecelakaan yang diharapkan terhadap pemilik kapal tongkang. Sebagaimana yang terlihat pada kolom 3 dan 4, kita mengasumsikan bahwa pemilik kapal tongkang dapat berada pada salah satu dari dual eve; kehati-hatian, ia dapat memmbiarkan pemilik kapal tongkang tetap berada di posisi jalurnya atau memungkinkan pemilik kapal tongkang menyingkir dari jalurnya. Meskipun tidak dinyatakan pada tabel, kita dapat mengasumsikan bahwa biaya terhadap kapal tunda yang tetap berada di jalur geraknya bernilai posiif, namun sangat kecil ($1). Kolom 4 menampilkan total keuntungan yang diharapkan yang kurang daripada total biaya yang diharapkan – perolehan biaya sosial bersih – dari tindakan pihak lain menurut level kehati-hatian yang berbeda-beda.
            Efisiensi yang diperoleh – yakni, dampak yang meminimlakna baya kecelakaan dan memaksimalkan keuntungan sosial bersih – yang berlaku menurut kehati-hatian kedua belah pihak. Pemilik kapal tunda harus melaju pada kecepatan sedang, dan pemilik kapal tongkang harus memberi amaran bahwa kapal tunda tetap berada di jalur pergerakan kapalnya. Meskipun kolom 4 menunjukkan hasil yang efisien, kolom ini menampilkan perhitungan mengapa begitu hasil perhitungan efisiensinya, yang berguna dalam melakukan analisis perhitungan marjinal yang menjadi dasar penalaran ekonomi. Pergerakan laju kapal tunda yang cepat menghasilkan keuntungan terbesar yang diharapkan oleh pemilik kapal tunda ($150). Namun ditinjau dari nilai guna sosial, pergerakan kapal tunda yang berada pada laju sedang lebih dipilih karena biaya marjina; pemilik kapal tunda berada pada nilai sedang (B) yakni hanya $50 dari peluang biaya ($150-$100), sedangkan keuntungan marjinalnya jika ditinjau dari biaya kecelakaan yang diharapkan (PL) sebesar $75 (tergantung level kehati-hatian pemilik kapal tongkang, $125-$50-$75). Karena biaya penghindaran kurang daripada biaya kecelakaan yang diharapkan (B < PL), maka ditilik dari segi efisiensi, pemilik kapal tunda tidak segera melambat dengan cepat. Terlihat bahwa efisiensi juga mengharuskan pemilik kapal tunda tidak bergerak melambat karena biaya marjinalnya juga sebesar $50, sedangkan keuntungan marjinalnya hanya $30 (B>PL). Jadi, kriteria efisiensi menetapkan pemilik kapal tunda bergerak melambat pada kecepatan sedang. Demikian pula, pemilik kapal tongkang harus berada pada jalur pergerakan karena biaya marjinalnya selalu kurang dari keuntungan marjinal ($1<$20). Setelah menghitung dampak efisiensi, kita selanjutnya menetapkan sekumpulan standar kewajiban dalam memenuhi standar tersebut.
           
            Ditilik dari fungsi uamanya dalam melegitimasi hipotesa hukum positif, sekiranya terdapat terdapat suatu perkara yang memang memenuhi hipotesanya, maka hipotesa ini disebut hipotesa kasus Caroll Towing. Namun, ironisnya, para analis hukum ekonomi kebanyakan mengabaikan pertimbangan apakah Rumus Ekonometrika (Hand Formula) sebagaimana yang diterapkan pada kasus Kapal Caroll Towing benar-benar efisien., yang hanya menapilkan pertimbangan dan perhitungan secara abstra, karena perhitungan efisiensinya kemungkinan tidak berlaku jika berhadapa dengan kasus spesifik. Berdasarkan pertimbangan hipotesa positivisme,  kita akan menguji hipotesa ini sebagai suati peluang untuk menguji ulang hipotesa dengan menempatkan Rumus Ekonometrika dalam konteks yang sebenarnya.
            Untuk menentukan apakaha standar hukum United States Caroll Towung efisien, maka kita harus mula-mula mengajukan pertanyaan, apa yang dibandingkan dalam suatu perkara menurut efisiensi? Kaidah 1-6 sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 19-1 menampilkan standar enam kewajiban yang mungkin diberlakukan. Pertanyaan yang mesti dijawab dari kedua pihak adalah apakah kedua pihak berada pada level efisiensi jika ditilik dari tingkat kehati-hatian. Keputusan untuk memutuska ganti rugi didasarkan atas kewajiban masing-masing pihak yang berperkara (yakni, maisng-masing menanggung kewajiban, berdasarkan pertimbangan kehati-hatian ditinjau dari aspek efisiensi) dan apakah hasilnya efisien. Masing-masing kaidah tersebut didasarkan pada jumlah (kuantitas) waktu yang diperlukan dan dihitung menurut Rumur Ekonometrika.
            Penting untuk mengetahui bahwa kedua kapal sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 19-1 merupakan gambaran dari tindakan masing-masing tindakan pihak yang berperkara yang umumnya menganut kaidah kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak menurut Hukum Ekonometrika. Kaidah 3 adalah standar yang mengatur kelalaian, yakni tergugat berkewajiban menagugng biaya atas kelalaiannya apakah ia tidak memenuhi kehati-hatian ditinjau menurut efisiensi, namun pihak penggugat juga dikenakan kewajiban. Kaidah 4 mengatur standar “terbalik” (kewajiban yang ketat dimana pihak tergugat melakukan kelalaian). Kewajiban penggugat terjadi jika ia tidak memenuhi prinsip kehati-hatian atas kelalaian, tetapi sebalknya tergugat juga dibebani kewajiban. Di bawah standar Hhukum Ekonometrika Ekonomi yakni kaidah 2, tergugat dibebani kewajiban jika dan hanya jika penggugat melakukan  kehati-hatian ditinjau menurut efisiensi. Tetapi pihak tergugat tidak. (Standar ini, yang merupakan standarisasi hukum ganti rugi dasar, dan versi yang diberlakukan dala perkara tabrakan kapal Carrol Towing yang disebut sebagai “kelalaian atas tergugat atas kelalaian yang dilakukan pihak lain”). Sedangkan kaidah 5 menyatakan penggugat memenuhi kewajiban jika dan hanya jka tergugat berhati-hati tetapi penggugat tidak. (Ini disebut kaidah terbalik dua pihak yang mesti dipertibangkan dalam keputusan pengadilan).

Efisiensi Sebagai Norma

            Jika sebagaimana yang kita pahami dari uraian subbab seleumnya standar kewaijiban yang ditetapkan pada Rumut Ekonometrika Hukum dalam kasusu Caroll Towing tidaklah berdasarkan pada nilai paling maksimal efisinesi, jika ada alasan untuk mempercayai bahwa yuri (hakim) yang berhasil mempertimbangkan segi efisiensi pada kasus ganti rugi- atau setidaknya mereka cukup taat asas dalam membenarkan secara absah tuntutan dimana umumnya hukum cenderung mengarah pada pertimbangan efisiensi. Bahkan sekiranya suatu kasus dipertimbangka menurut efisiensi dianggak tidak memenuhi standar efisiensi, maka kecil alasan logis untuk yakin bahwa pengadilan mempertimbangkan aspek ekonomi yang akan mencapai keputusan yang memenuhi kriteria efisiensi. Lagipula, pengadilan dan yuri membuktikan bahwa sedikti atau tanpa memuat masud yang meminta berbagai sumber informasi yang tidak berkait sama sekali atauamat kecil kaitannya dengan pertimbangan efisiensi; mereka lebih mengacu pada persoalan-persoalan yang memfokuskan pada kasus atas beban tanggung jawab atau pemutusan kesalahan atas pertimbangan efisiensi (Feigenson, 2000).
           
            Meskipun analisis  sebeluknya mengajukan beberapa keraguan terhadap gagasan dan kaidah hukum yang dianut oleh positivisme hukum dan ekonomi, analisis menurut kaidah hukum positivisme juga memperhitungkan pertimbangan bahwa hukum dan eonomi menjadi pertimbangan analisis hukum. Meskipun penganut positivisme kini mengancu dan mempertimbangkan aspek perkara menurut positivisme, maka aspek normatif juga juga mesti dipertimbangkan dalam mencapai tuuan efisiensi sebagai tujuan relevam hukum dan menerapkan piranti hukum dan ekonomi guna memahami yang dapat memenuhi tujuan.
            Menurut kemaslahatan sejati dalam bidang hukum dan ekonomi berdasarkan kaidah normatif, yang digunakan dalam menelaah dan memutuskan dengan jelas perkara bagi pihak hakm maka pembaharuan kaidah-kaidah hukum yang tidak mesti harus efisiensi sebagaimana yang dikehendaki. Menurut standar pertimbangan kemaslahatan, ahli hukum ekonomi telah menerapkan kaidah-kaidah yang diatur dalam pasal-pasal yang mengatur tentang efisiensi, khususnya mengenai kaidah-kaidah hukum ganti rugi atau keputudan hukum ganti rugi. Dan ada beberapa karya hukum yang baik mengenai kaidah-kaidah utama pengetahuan hukum ekonomi (misalnya karya Landes & Posner, 1987 ; Shavell, 1987 ; Polinsky, 2003 , pp. 43 – 78; Posner, 2007 , pp. 167 – 213), yang menawarkan cara bagaimana seharusnya pengadilan beruapa memutuskan kasus-kasus yang berdasarkan pada pencapaian tujuan efisiensi menurut kasus-kasus ganti rugi yang terjadi. Pada sub uraian iat kita telah memperoleh pemahaman melalui kajian kita mengenai kasus Kapal Caroll Towing dalam mengembangakan daftar persoalan kasus secara menyeluruh dan parsial yang ditinjau menurut efisiensi – pengadilan dalam mengajukan pertanyaan ketika berhadapan dengan tuntutan ganti rugi. Karena pertimbangan ini, kita mesti mengembangkan pedoman umum yang berguna ditinjau dalam lingkup menyeluruh kasus. Namun demikian, upaya ini harus setidaknya mempertimbangkan segala sisis yang berguna sebagai cara untuk mempertimbankan beberapa uraian di sub-uraian selanjutnya.

            Misalkan efisiensi yang dianut menurut pertimbangan hukum yang dianut hakim ketika berhadapan dengan kasus ganti rugi. Maka halim harus memutuskan mula-mula bagaimana menetapkan ketentan hukun dan selanjutnya menetapkan tipeperlindungan hukum menurut kaidah-kaidah yang sudah berlaku dalam hukum. Jika biaya transaksi antara pihak-pihak yang berperkara rendah – dan khususnya jika ukuran atau pertimbangan objektif pengadilan atas kerusakan yang terkadi menyimpanga secara nyata dari pihak-pihak yang berperkara harus menetapkan keputuan bersama yang saling menguntungkan kedua pihak berdasarka pertimbangan kaidah-kaidah hukum perlindungan yag berlaku sebagaimana yang diatur dalam kaidah hukum kepemilikan (Posner, 1986, hm.49-50).
            Namun jika biaya transaksi dianggap tinggi untuk dapat dihindari, maka portensi kaidah kewajiban dijamin, sehingga pendahilan mesti mempertimbangkan dala keputusannya dengan mengacu pada standar-standar kewajiban yang paling efisiensi menurut kaidah-kaidah hukum ekonomi. Mula-mula pengadilan harus memfokuskan semata-mata pada level kepedualian masing-masing pihak yang berperkara, dengan menetapkan keputusan a[akah salah satu pihak ata kedua pihak dapat memberikan level kewajiban yang harus dipenuhi menurut level kehati-hatian yang akan mengurangi atau mereduksi tota biaya kecelakaan. Persoala dibagi atas dua pertimbangan, salah satu pertimbangan dikaji secara mendalam oleh akar hukum ekonomi dan pertimbangan lain apakah masing-masing pihak dapat melakukan penyesuaan ditinjau dari level kehatian-hatian masing-masing dalam menghindari kecelakaan dari kasus hukum. Jika level kehati-hatian kedua pihak dianggap relevan atau berhubungan, kecelakaan tersebut mempetimbangkan kedua pihak; jika hanya satu pihak dapat mempengaruhi biaya suati kecelakaan  dengan melakukan penyesuaian yang hanya mempertimbangkan salah satu level pertimbangan dari satu pihak saja, maka hubungan keputusan digolongkan dalam keputusan sepihak dan saalah satu pihak tidak dapat melakkukan penyesuaian level kehati-hatian dalam mengurangi biaya suatu kecelakaan, yang digolongkan sebagai hubungan kasus “tak lateral”.
            Pertanyaan selanjutnya yang dipertimbangkan adalah kemampuan membela diti akan menurut fakta memiliki pengaruh menguntungkan terhadap perilaku pihak yang berperkara dengan mengajukan apakah kewajiban ganti rugi sebenarnya memberi pengaruh yang menguntungkan pihak lain. Pertama, setiap pihak mempetimbangkan faktor eksternalitas bakan ketika ada resiko kewajiban gantu rugi. Misalnya, salah satu pihak tidak dapat mengurangi resiko yang dibebankan kepadanya, atau memperoleh jaminan yang secara substansial meniadalan dampak kaidah-kaidah keputusan hukum ganti rugi (Hanson dan Logue, 1990). Kedua, kewajibam ganti rugi sifatna berubah-ubah berdasarkan insentid yang memadai menurut tingkat kehati-hatian yang ditentukan dari ketentuan-ketentuan selain dairpada hukum ganti rugi (Shavell, 2007). Sejumlah sumberm misalnya regulasi pemerintah dan faktor-faktor ekonomi pasar, antara lain pasar asuransi yang berfungsi baik-yang dapat member asuransi atau insentif. Demikian pula ciri kerusakan atas resiko tertentu dapat menetapkan kewajiban satu pihak secara relatif memperoleh insentif yang kuat untuk mengindari beban kewajiban atas kecelakaan tanpa memandang apakah hukum ganti rugi pada tempo selanjutnya memutuskan kewajiban (Landes & Posner, 1987, hlm. 65; Croley & Hanson, 1995, hlm. 1913). Jika hukum ganti rugi dapat mempertimbangkan aspek lain atau memberikan cara untuk membela diri secara tidak efektif atas tuntutan salah satu pihak, funsginya tidak didapat dijadikan dasar pembenar sebagai piranti dalam mencegah kecelakaan pada masa selanjutnya.
            Memaksakan kewajiban ganti rugi pada salah satu pihak  akan menghasilkan pemenuhan level ganti rugi ditilik dari segi efisiensi yang dapat dihindari oleh pihak lain (B < PL).
            Jika salah satu dari persyaratan ini tidak dioenuhi, maka kewajiban tidak akan memberi pengaruh yang menguntungkan menurut level kehatian-hatian salah satu pihak yang berperkara. Kerana itu, jika hakim berhadapan dengan konteks hubungan non-lateral, ia aan memilih keputusan menurut standar kewajiban dengan menggunakan dan berpatokan pada kriteria selain dari kriteria penghindaran ata pembelaaan diri. Jika konteks kecelakaan tergolong sepihak (unilateral), maka tidak aa kewajiban mutlak, tergantung pada perilaku pihak yang berkaitan dengan perilaku pihak lain. Terkahir, jia konteks kecelakaan tergolong hubungan biletral maka pertimbangan dan keputusan hakim menurut efisiensi harus memilih beberapa satndar kewajiban yang tersedia atau ditetapkan. Selanjutnya, hakim dapat mengajukan pertanyaan lanjut apakah salah satu pihak dapat memastikan level kehatian-hatan pihak lain sebelum memutuskan apakah masing-masing memang berhati-hati. Jika tergugat dapat mengetahui level kehati-hatian penggugat, maka pengadilan dapat memilih standar yang menetapkan kewajiban tergugat ketika kedua pihak dianggap lalai (kaidah 3 atau kaidah 5). Jika di palin pihak, penggugat dapat mengetahui dan memastikan level kehati-hatian tergugat maka pengadilan dapat mengadopsi kaidah hukum 2 atau 4. Tentu saja, jika kehati-hatian tidak teramati terhadap tindakan kedua pihak, maka tak ada kaidah yang terpenuhi dari empat kaidah tersebut yang dapat digunakan sebagai dasar keputusan efisiensi, sehingga digunakan kriteria lain untuk memutuskan pilihan.
            Pengadilan dapat berkonfrontasi dengan bukt-bukti dalam suatu perkara ganti rugi, tentu saja, mencapai dan menarik kesimpulan dimana pihak penggugat atau pihak terggat tidak melakukan upaya penghindaran terhadap biaya ganti rugi kecelakaan maka tidak dapat dijadikan dasar kebenaran keputusan. Dalam konteks tersebut, pilihan standar kewajiban menghendaki pertimbangan mengenai pihak ang harus menanggung resiko biaya kecelakan yang tak tergolong kelalalain. Kaidah hukum 2 menetapkan tanggungan biaya bagi penggugat, sedangkan kaidah 4 dan 5 menetapkan tanggungan biaya bagi tergugat.Dari penjelasan di atas terlihat jelas bahwa ada dua kemungkina kesimpulan yang dapat diperoleh dari pemeriksaan pengadilan apakah penggugta atau terggat tidak dapat menghindari biaya kecelakaan yang memiliki dasar kebenaran hukum. Pertama, pengadilan dapat dipandang salah memutuskan perkara.Hal ini bisa terjadi setidaknya karena dua alasan, yang berpangkal dari kekeliruan informasi yang dterima: (1) pengadilan tidak dapat menetapkan level kehati-hatian kedua pihak berperkara untuk dapat dijadikan pertimbangan keputusan; (2) pengadilan tidak dapat menetapkan besar ganti rugimenurt level kehati-hatian. Akibatna, jika terdapat banyak potensi biaya yang tidak dapat di verifikasi, maka masing-masing pihak menanggung kewajiban bahkan sekiranya tidak ada bukti kelalaian. Disamping itu, pengadilan harus peka erhaap daya pembelaan diri, dan tidak hanya mempertimbangkan daya hindar terhadap kecelakaan yang terjadi. Kesimpulan kedua yang mungkin dapat diambil adalah hasil-hasil pemeriksaan pengadilan yang tidak menunjukan adanya kelalaian dimana memang pemeriksaan pengadilan membuktikan hal tersebut. Ketika kecelaaan terjadi tanpa perilaku kelalaian, maka biaya kecelakaan ditentukan pada pihak mana yang paling mampu menanggung biaya gantu rugi tersebut. Dengan kata lain, pengadilan harus memilih keputusan yang terbaik dalam memenuhi tujuan asuransi-yakni, keputusan dalam menetapkan resiko atas kecelakaan yang tak dapat dihindari terhadap pihak yang paling kecil menanggung biaya resiko kecelakaan. Jika penggugat dianggap mengalami resiko tanggungan biaya yang leboh besar, pengadilan harus menerapkan salah satu kewajiban lain atas tergugat. Jika tergugat dianggap tergolong  berada dalam resiko yang lebih besar yang memang terbukti tidak benar, maka penggugat harus bertangung jawab menanggung biaya kecelakaan tanpa kelalaian. Masalah akhir bagi penetapan keputuan yang berpatokan pada efisiensi barangkali mempertimbangkan biaya adminsitarasi. Pada konteks kecelakaan non-lateral, jika tidak ada kritera yang terbukti membantu dalam menunjang kritera penentuan level kehati-hatian, maka pengadilan menetapan keputusan tanpa standar kewajiban. Jika konteks kecelakaan ditilik dari hubunga bilateral, makan pengailan kemungkinan tidak mengetahui suatu kaidah hukum tertentu, melainkan memutuskan pertimbangan yang fleksibe menurut kaidah 3 dan 4, dimana rumus ekonometrika hukum hanya diterapkan.
            Meskipun daftar kaidah hukum ini tidak berarti berlaku terus-menerus, namun timbul persoalan atau pertanyaan dari kalangan hukum ekonomi mengenai apakah pengadilan melaksanakan keputusan hukum menurut hsil efisien sesuai dengan kriteria efisiensi dalam hukum ekonomi. Akan tetapi pembaca akan melihat dengan jelas persoalan ini. Meskipun pertimbangan efisiensi mengarah pada pertimbangan kewajiban yang sama sesuai standar yang ditetapkan dalam konteks kecelakaan tertentu, ada kemungkinan yang lebihbesar pertimbangan efisiensi yang berbeda akan menimbulkan implikasi yang bertentangan atas pilihan yang diputuskan diantara standar-standar kewajiban yang ada. Hakim atau ahli hukum ekonomi,harus beronfrontasi dengan tugas bagaimana menetapkan pilihan di antara faktor-faktor efisiensi yang menjadi pertimbangan satu sama lain.


Beberapa Keterbatasan Hukum dan Ekonomi
            Berbagai aliran pemikrian hukum dan  ekonomi sebenarnya amat tidak swa-kritis. Dtinjau dari pengaruh teori efisinesi, kita mengangap kewajiban khusus dengan merumuskan beberapa aspek yang menyangkut keterbatasam hukum dan ekonomi.
            Kekeliruang yang sebagia besar dikritik dari  aspek hukum dan ekonomi apakah kasus dapat diangkat dengan memeriksa kembali pertimbangan efisiensi sebagaimana yang dijelaskan di sub uraian sebelumnya. Mskipun ada kemungkinan pertimbangan efisiensi lain yang dapat digunakan, pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak dapat menjawab dengan tuntas persoalan-persoalan yang berkait dengan bagaimana pengadilan harus mengukr setiap pertimbangan atau keadilan antara satu pihak dengan pihak lain. Misanya, bgaimana pengadilan melakukan tindakan bertolak belakang menurut pertimbangan pembelaan diri atas level kehati-hatian? Atau misalnya bahwa semua pertimbangan pembelaaan menunjukkan arah yang sama, bagaiamana pengadilan menyanggah pertimbangan-pertimbangan jaminan gantu rugi yang saling berseberangan satu sama lain? Bagaimana biaya administrasinya atau ganti ruginya? Apakah kaidah-kaidah yang lebih ketat  selain kaidah 1  dapat menciptakan keuntungan yang melebihi biaya administratif atau ganti rugi? Dan bagaimana pengadilan menetapkan pilihan ganti rugi jika informasi yang diterima tidk sesuai danbiaya administrasi atau gati rugi yang dihasilkan melebihi apa yang ditentukan daam Rumus Ekonometika tersebut? Meskipun berbaga pertanyaan ini dapat dijawan apada level teori, namun sebenarnya tidak dapat secara nyata pada level praktek yang nyata. Persoalan yang dihadapi oleh para ahli hukum ekonomi adalah efisiensi menolak aturan normatif, yang secara sgnifikan efisiensi mempengaruhi kaidah alternatif yang harus ditempuh. Namun ekonom, sebagaimana halnya hakim, sangat dibatasi oleh biaya informasi dan karena tu, acapkali tidak dapat secara akurat memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan efisiensi yang saling bertolak belakang.
            Ahli hukum ekonmi mengalami keterbatasan atas persoalan ini sehingga harus menempuh salah satu dari dua cara – pertama pertimbangan empiris, kedua pertimbangan teoritis. Pertimbangan pertama adlah pertimbangan yang berdasarka pada aspek normatif, yang menghendak pemeriksaan empirs guna menimbang pertimbangan-pertimbangan efisiensi. Pilihan ini jarang ditempuh, dan jika memang ditempuh, maka resiko atas tanggungan akan melebihi keuntungan yang diraih. Sebaliknya menurut kaidah normatif diperoleh dari pertimbangan dan analisis yang bukan hana sekedar memperthitungkan aspek efisiensi, namun juga mendasarkan kesimpulan pada sesuatu yang berciri etika. Akan tetapi analisis normatif akan kehilangan daya normatifnya jika mengabaikan pertimbangan potensi efisiensi yang dapat terjadi. Dengan demikian, pendekatan ini harus tidak berpijak pada kekakuan ilmiah.
            Sebagaimana yang dikemukakan oleh Amartya Sem (1985) yang menyatakan bahwa tuntutan atau kebutuhan yang dapat dijajaki dapat berkonflik dengan analisis empiris dan barangkali merupakan hal yang paling lazim dan mengandung kritik yang potensial terhadap hukum dan ekonomi sebagaimana sesuatu yang tidak realitis dan tidak ilmiah.yang senantisa mempertimbangkan perilaku agen dalam masyarakat dan ekonomi (Jolls, Sunstein, & Thaler, 1998 , p. 1487). Ditinjau secara analis prediksi, kritik terhada[ pertimbangan yang lebih realitis mengenai manusia tidak dapat menggapai sesuatu yang riil dari kenyataan situasi yang dhadapi oleh manusia untuk bisa ditiru secara nyata dengan dibuat dalam pemodelan ekonomi (Jolls, Sunstein, & Thaler, 1998 , p. 1487) dan gagal menyuguhkan model perilaku manusia dalam menentukan pengambilan keputusa yang normatif perihal wilayah hukum yang dipandang berlaku optimal (Arlen, 1998 , p. 1788).
            Belum lama para ahli hukum melakukan kajian yang mendalam periha pertentangan antara pilihan rasional. Faktor-faktor di luar mnusia kadang jauh lebih memberikan pengaruh terhadap perilaku dibanding pendekatan ilmiah yang digunakan oleh ilmuwan daripada berdasarkan pada abstraksi (teoritis). Sebenarnya, banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kendali manusia dalam mempertimbangkan keputusan (misalnya struktur pengetahuan dan hubungan yang tidak jelas) dan faktor-faktor di luar kita yang jauh lebih berpengaruh atas perilaku ita sendiri. Para ahli yang menerapkan pendekatan uni disebut berpaham situasional atas realitas perilaku yang mengangap pemahaman yang tidak realitas yang digunakan dalam kerangka rasionalitas hukum dan bahkan merugikan (Hanson & Yosifon, 2004 ; Hart, 2005 ; Kang & Banaji, 2006 ).
            Sekali lagi dapat dinyatakan bahwa hukum dan ekonomi berada di antara pertentangan antara gagasan yang dianut oleh Amarthya Sen, yakni penyederhanaan dan relevasi masalah dalam memutuskan distribusi atau keadilan ekonomi. Ketika menganalisis efisiensi, salah satu ahli ekonomi hukum yang memberikan kontribusi yang berjalan saat yang dijadikan pertimbangan hukum yang cenderung mempertimbangkan aspek kemakmuran dan dampaknya buruk sebagai sesuatu yang dianggap tidak relevan (Cooter & Ulen, 2003 , pp. 7 – 10; Polinsky, 2003 , pp. 7 – 11, 147 – 56). Misanya, dengan meninjau ulang enam kaidah hukum sebagaimana yan dikemukakan yang berbeda (lhat Gamba 19-2) , terbukti bahwa ketik orang mengikuti kaidah 1 sampai 6, konsekuensi dostrbusi diperhitungkan secara setara berdasarkan hal yang menguntungkan pemilik kapal tongkang.
            Para ahli hukum ekonomi cendurung mengabaikan pengaruh ketika mempertimbangkan aspek efiisnesi menurut kaidah-kaidah  hukum yang berbeda untuk dapat diperbandingkan satu sama lain, dimana banyak orang kurang memperhitungkan total nilai guna sosial (atau utilitas) dibandingkan distribusi. Para ekonomi memberi pendapat dengan mengamati bahwa persoalan distribusi yang dipertimbangkan di  luar jangkauan pengetahuan ekonomi dan menyatakan bahwa institusi-institusi lain lebih baik dibekali dalam mencapai penyesusian tujuan distribus yang atas pengaruh hukum. Dengan demikian, realitas dan penyederhanaan masalah adaah dua hal yang berbeda.



Kesimpulan
            Sebagaimana kritik yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa hukum dan ekonomi ini bukan tanpa resiko (biaya). Pilihan untung-rugi antara memihak pada mazhab realisme dan memihak pada pengetahuan murni merupakan hal yang lumrah, hal inilah yang menjadi pertimbangan di kalangan ahli hukum ekonomi akan terus bertentangan. Namun demikian, dengan menyelami beberapa kelemahan dalam bidang hukum dan ekonmi tidak lantas memiliki dasar pembenar untuk mengabaikannya. Apapun resikonya (biaya gantu rugi dalam pengadilan), pertimbangan keputusan menurut hukum ekonomi juga meraih kelebihan Namun bagaimanapun, selagi tuntutan mempertimbangkan aspek efisiensi berperan sebagai tujuan huku, maka tidak akan banyak memberi banyak dukungan selama ada keyakinan yang berlangsung terus bahwa efisiensi harus menjadi tujuan sistem hukum.
            Asumsi-asumsi yang relevan atas mode berdsat lentur, sehingga hukum ekonomi dapat memberi sumbangsih bagi cara-cara yang penting dalam memahami pengaruh hukum, bagaimana seharusnya hukum diperbaharui guna memberi pencapaian tujuan efsiensi yang lebih baik atau mempertimbangkan biaya efisiensi dengan menetapkan tujuan yang berbeda-beda yang hendak dicapai.


 Hukum dan Ekonomi

JON HANSON, KATHLEEN HANSON dan  MELISSA HART


            Hukum dan ekonomi, sebagaimana tertuang dalam pernyataan ringkas Judge Richard Posner, salah bidang yang paling, menyatakan pentingnya “penerapan teori-teori dan metode empiris ekonomi dalam institusi penting sistem hukum (1975, hlm. 759). Meskipun generasi pertama cendikiawan yang bertumpu pada kajian efisiensi telah lama menerapkan analisis ekonomi pada beberapa bidang hukum, misalnya hukum anti-monopoli dan perdagangan, generasi kedua hukum dan ekonomi sebagaimana yang dikemukakan oleh Posner memusatkan pada studi prinsip-prinsip ekonomi terhadap setiap masalah hukum, bahkan pada aspek yang kurang begitu relevan seperti hukum kriminil dan hukum keluarga. Posner mengikhtisarkan keberhasilan dan pengaruh hukum ekonomi dalam kutipan pernyataannya di bawah ini:
Analisis hukum ekonomi paling berkembang dan terbanyak dikaji, studi lintas ilmu yang paling menggeliat dalam sejarah hukum Amerika, berpengaruh mencolok dalam penyelenggaraan hukum dan keputusan pengadilan, menumbuhkan jasa konsulltasi hukum yang menguntungkan, menyemarakkan bidang kajian dan buku-buku dalam analisis hukum, mempengaruhi perundang-undangan (analis hukum ekonomi berperan penting dalam perkembangan peraturan deregulasi), mengembangkan studi jurusan hukum strata satu dan dua yang mengkhususkan kajian hukum dan ekonomi di fakultas-fakultas mereka, meningkatkan para praktisinya di lembaga administrasi universitas dan yudikatif federal, dan kini merambah ke kawasan Atlantik dan mulai menggenang begitu cepat di Eropa.” (1995, hlm. 275).

            Gagasan yang serupa dilontarkan oleh Profesor Thomas Ulen yang menyatakan hukum ekonomi merupakan “salah satu inovasi paling berhasil dalam studi akadamik hukum pada akhir abad ini” – suatu bidang ilmu “…. yang banyak mewarnai … pendidikan hukum modern” (1997, hlm. 434).
            Dalan rentang sepuluh tahun terakhir telah terbit banyak artikel hukum ekonomi dan dalam lima tahun terakhir tak satu pun di antara artikel itu yang lebih banyak menumpukan kajian selain hukum ganti rugi … suatu pendekatan baru dalam studi hukum ekonomi … Kecenderungan ini berpeluang besar melanjut pada masa mendatang …Tak ada praktisi hukum, akademisi hukum, hakim pada masa mendatang begitu percaya piawai memahami hukum modern ganti rugi tanpa menelaah secara seksama analisis hukum ganti rugi dalam bidang ekonomi.
            Di antara kebanyakan pandangan ahli, Priest mengukuhkan hal ini: Tak ada cendikiawan yang memperoleh pemahaman yang memadai mengenai hukum ganti rugi tanpa mula-mula memahami betul prinsip-prinsip dasar hukum dan ekonomi. Hubungan antara teori-doktrin sebenarnya agak timbal balik. Karena itu, untuk menyelami analisis ekonomi modern maka diperlukan pemahaman mengenai dampak hukum ganti rugi yang bersumbangsih dalam perkembangan hukum ekonomi modern.
            Untuk memahami hal tersebut, ada dua pendekatan umum yang perlu ditelaah dalam hukum dan ekonomi, yakni: pendekatan positif, yang terdiri dari deskriptif maupun prediktif dan pendekatan normatif, yang terdiri dari preskriptif maupun pertimbangan (judgmental). Para ahli hukum ekonomi mesti mengajukan dua pertanyaan perihal pendekatan positif: Bagaimanakah pengaruh perilaku suatu kebijakan, dan apakah kebijakan tersebut menciptakan efisiensi – yakni, dampaknya terhadap minimalisasi biaya? Kedua, bagaimana hukum itu seharusnya sekiranya efisiensi adalah satu-satunya tujuan, dan apakah hukum, mesti bertumpu pada efisiensi? Pertanyaan kedua ini diajukan kepada para penganut positivisme – pengujian hipotesis bahwa hukum bertumpu pada pertimbangan terstruktur jika memang efisiensi adalah satu-satunya tujuan (lihat misalnya, Landes && Posner, 1987; Easterbrook & Fischel, 1991). Pemastian dan pengujian hipotesa positif tersebut pernah menjadi upaya pokok hukum dan ekonomi dan sebagian besar merupakan tanggung jawab atas apa yang kita sebut sebagai hukum dan ekonomi genarasi kedua. Kalau memang demikian, hipotesa positif pada akhirnya kehilangan sebagian besar, meskipun tentu saja tidak semua, pegangannya. Lagipula, upaya ini hanyalah keberhasilan perdana yang mengesankan dalam meyakinkan beberapa cendikiawan dalam menimbang efisiensi secara serius sebagai suatu tujuan hukum. Sebagian alasannya adalah karena dukungan empiris yang mencolok bagi positivisme yang menegaskan bahwa “logika hukum” sesungguhnya mengandung logika ekonomi” (Posner, 1975, hlm. 764, penekanan dambahan diberikan), karena ahli hukum dan beberapa juri hukum mengesampingkan logika normatif bahwa logika hukum haruslah berlogika ekonomi (Michelman, 1978, hlm 1038-1039). Dan kalau demikian, ada dua pertanyaan yang diajukan perihal pendekatan normatif. Pertama, haruskah efisiensi menjadi tujuan hukum? Dan kedua, jika memang, bagaimana hukum diperbaharui guna menempuh upaya terbaik dalam memenuhi tujuan efisiensi? Pertanyaan pertama menggugah munculnya berbagai pendapat dari para pakar hukum seperti Guido Calabresi, Jules Coleman, Ronald Dworkin, dan Richard Posner yang merupakan salah satu dari banyak perselisihan pandangan yang tajam dan terkenal dalam hukum pada abad kedua puluh (lihat Journal of Legal Studies, edisi 9; Hofstra Law Review, edisi 8). Namun, kini banyak cendikiawan hukum dan ekonom menegaskan tanpa enggan bahwa tujuan hukum mesti berpijak pada efisiensi (Hylton, 2005, hlm.9). Para ahli hukum ekonomi saat ini kebanyakan menelaah pengaruh kebijakan yang berbeda-beda (isu positivisme) dan merekomendasikan perubahan berdasarkan dampaknya (isu normatif). Untuk memahami bagaimana kita memahaminya, adalah berguna untuk menelaah lebih tajam hipotesa hukum positif.
            Dalam salah di antara berbagai karya awal dan paling penting dalam studi positivisme, Richard (1972) meneliti 1.500 keputusan pengadilan banding untuk menguji “teori kelalaian” (theory of negligence) (hlm. 29). Hasil analisis sampel menguatkan hipotesanya bahwa “fungsi dominan sistem kesalahan adalah mengacu kaidah-kaidah tanggung jawab dari akibat tindakan yang ditimbulkan, setidaknya pada level kecelakaan dan keselamatan yang dibenarkan menurut efisiensi biaya” (1972, hlm. 32).
            Posner menyatakan bahwa perbedaan atas perbedaan pandangan antara logika keputusan positif dan normatif berdasarkan argumen ini menunjukkan bahwa satu-satunya tujuan – efisiensi – memua segenap penjelasan hukum kelalaian dari sampel penelitiannya sebanyak 1.500 pendapat responden tersebut. Hal yang mendukung atas hipotesa ini, dari 1.500 sampel opini yang diteliti.
            Hal ini mendukung hipotesis tersebut dimana perselisihan tersebut diselesaikan melaui retorika yang tertuang dalam kaidah hukum ekonomi yang diatur dalam ketentuan Satandar Keputusan Hukum Ekonomi Ekonometrika (Judge Hand)
[in United States v. Carroll Towing Co. , 159 F.2d 169 (2d Cir. 1947) ” (1972 , hlm. 32).
            Meskipun kasus ini di luar data yang dihimpun Posnr, ia merbuapaya merumuskan “upaya dalam membuat standar yang berlaku di pengadilan yang dijelaskan (hlm 32). Karena itu, tingkat keberhasian yang memadai dari upaya positivisme hukum ditelaah dalam kasus tabrakan kapal Caroll Towng.
            Untuk memahami dengan baik persoalan ini bahwa Keputusan Hakim Menurut Perhitungan Aljabar (Judge Hand) berlaku, tinjaulah konteks perkara dimana hukum ekonomi umumnya berlaku. Tergugat, Carroll Towing Co., mengatur posisi jalurnya terhadap jalur kapal-kapal tongkang yang tengah melabuh di Pelabuhan New York. Salah satu kapal tongkang, the Anna C , berupaya menghindar dan menabrak sebuah tanker. Baling-baling tanker tersebut merusak badan kapal tunda Anna C, dan kapal Anna C tenggelam. Penguggat, pemilik Kapal Anna C, menggugat Carroll Towing Co. atas kerugian tersebut.
            Perkara pengadilan banding apakah pemilik kapal tunda, yang dituduh lalai dalam siding perkara, dapat menghindari ganti rugi kerusakan kepada pemilik Kapal Anna C. Tergugat menyatakan bahwa sebagian kecelakaan tersebut diakibatkan oleh pemilik kapal tongkang tersebut karena gagal mempertahankan arah jalur. Teori Aljabar Ganti Rugi (Judge Hand) memutuskan bahwa tergugat dianggap lalai, dan penggugat juga berkontribusi terhadap kelalaian, dengan mempertimbangkan biaya sisi penghindaran suatu kecelakaan dikurangi biaya yang diharapkan kecelakaan. Menurut rumus aljabar yang ringkas dan tajam ini, kewajiban suatu pihak dinyatakan dalam fungsi tiga variabel: peluang terjadinya kecelakaan, (P);  tingkat keparahan kerugian yang ditimbulkan jika kecelakaan terjadi, (L); dan tanggung jawab tindakan pencegahan yang memadai untuk menghindari kecelakaan. (B).
            Dengan menerapkan rumus tersebut, maka keputusan hukum menyatakan bahwa pemilik kapal tongkang berkontribusi terhadap kelalaian karena itu biaya ganti rugi juga ditanggung pada pemilik kapal tongkang (B) yang kurang daripada peluang kerugian (P) dikali tingkat keparahan kerugian (L).
            Menurut Posner, logika Ganti Rugi Ekonometirka ini secara tersirat (implist) menunjukkan pengertian kelalaian secara ekonomi (1972, hlm. 32). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Posner, “Rumus Logika Ekonomi ini” mengacu pada tujuan efisiensi yakni minimalisasi total biaya kecelakaan, termasuk biaya penghindaran kecelakan jika B < PL, sehingga memperhitungkan nilai marjinal dalam penghindaran kecelakaan (B) yang menghasilkan nilai positif bersih ditinjau dari reduksi marjinal biaya kecelakaan yang diharapkan (PL). Jadi efisiensi tersebut mengharuskan adanya pertimbangan minimalisasi. Dengan menetapkan setiap pihak yang bertanggung jawab berdasarkan ketentian B < PL, hukum ganti rugi mengharuskan adanya pertimbangan efinsiensi menurut penghindaran kecelakaan. Dalam bahasa hukum ekonomi, hukum ganti rugi pihak-pihak “menginternalisasi biaya eksternal mereka”, yakni (biaya eskternalitas adalah biaya dimana tindakan suatu pihak berlaku dengan mempertimbangkan tindakan pihak lain dalam suatu perkara dimana masing-masing meniadakan pertimbangan dari sudut pandangnya sendiri berdasarkan perhitungan nilai efisiensi. Berdasarkan pendapat kalangan hukum ekonomi, banyak hukum ganti rugi dipahami sebagai upaya utuk mengharuskan individu-individu mempertimbangkan internalisasi biaya-biaya atas pertimbangan tindaka individu-individu lain yang berperkara.
Model Ekonomi Kasus Kapal Carroll Towing

Perhitungan Awal Asumsi
            Untuk mengetahui dengan jelas dan di bawah kondisi apa Rumus Ekonometrika ini berlaku menurut sudut pandang efisiensi, kita sekarang meninjau model sederhana  kasus Caroll Towing. Sebagaimana fakta-fakta yang terjadi dalam kasus Carrol Towing, premis kita didasarkan pada sekumpulan asumsi, yang banyak di ataranya tidak realisitis, sehingga kita barangkali yang kurang paham analisis ekonomi mengetahui dengan asumsi yang digunakan menurut model ini. Dengan menerapkan asumsi ekonomtrika ini melalui penyederhanaan, maka akan memberikan kita gambaran beberapa kesahihan suatu model abstrak ekonometrika dan kemudian mengevaluasi pengaruhnya berdasarkan asumsi-asumsi dasar, sehingga kita dapat mengilustrasikan ciri penalaran ekonomi dan potensi manfaatnua ditilik dari aspek keuntungan dan biaya. Disamping itu, kita dapat menyuguhkan metodologi analitis yang sebagian besar digunakan oleh analis hukum ekonomi yang disebut sebagai aturan main keputusan perkara (game theory).
            Asumsi model kita adalah sebagai berikut:
1)      Ekonom Robert Cooter dan Thomas Ulen menyatakan bahwa “salah satu asumsi pokok dalam teori ekonomi adalah pengambil keputusan bertindak atas dasar kepentingan diri yang rasional, “yang berarti bahwa mereka memiliki pilihan-pilihan yang stabil dan sistematis, yang menunjukkan bahwa ... mereka memperhitungkan biaya dan manfaat dari pilihan-pilihan alternatif yang tersedia bagi mereka dan mereka dapat memilih pilihan-pilihan alternatif tersebut yang dapat menawarkan keuntungan atau maslahat yang sebesar-besarnya” (hlm. 350-351). Asumsi pertama ini memandang bahwa pemilik kapal tongkang dan pemilik kapal tunda adalah individu yang rasional.
2)      Semua biaya dan keuntungan dapat diukur menurut perhitungan nilai mata uang tunggal: dollar.
3)      Pemilik kapal tongkang dan pemilik kapal tunda memiliki dan memberikan informasi yang rinci meskipun tidak sempurna (yakni, mereka tahu bahwa pertimbangan pihak-pihak lain menurut pertimbangan untung-rugi; dan mereka masing-masing tahu bahwa masing-masing pihak memperoleh informasi yang baik, namun tidak mengetahui sebelumnya berapa besar tindakan yang akan diambil oleh pihak lain).
4)      Biaya transaksi (lebih spesifik disebut biaya ex ante (sebelum kecelakaan) bagi pemilik kapal tongkang dan kapal tunda yakni alokasi tangung jawab atau tingkat kehati-hatian atau kewaspadaan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam kontrak).
5)      Biaya keagenan (termasuk biaya mempekerjakan dan memonitor agen, serta biaya residu atas kemangkiran agen) antara pemilik kapal tongkang dan pekerjanya adalah nol.
6)      Level aktivitas pihak-pihak yang berperakara, fruekuensi dan jangka waktu tindakan mereka tidaklah relevan karena tidak mempengaruhi total biaya kecelakaan. Yang hanya dipandang relevan adalah level kehatian-hatian ketika mereka bertindak.
7)      Standar pengurusan biaya liabilitas tidak ditanggung biaya.
8)      Kedua pihak yang berperkara netral resiko – yakni individu yang berhati-hati mengenai nilai pilihan mereka. Nilai yang diharapkan dari suatu pilihan yang beresiko adalah nilai absolute mereka, sekiranya terjadi, dikali peluang yang akan terjadi. Sebaliknya nilai terbalik resiko, yang dimaksud adalah kehati-hatian yang  tidak hanya menyangkut biaya yang diharapkan, melainkan pula mengenai nilai absolut resiko. Misalnya, seseorang diberikan peluang 50% memenangkan $1.000 atau jaminan menang $500. Kedua pihak memiliki nilai haapan yang sama, $500. Karena itu, bersifat netral resiko Karen masing-masing pihak tidak dibedakan antara dua pilihan yang tersedia. Karena itu, jika terjadi kebalikan dari resiko, ia dengan yakin lebih memilih $500.
9)      Tak ada pengaruh dari  pihak eksternal ketiga. Pemilik kapal tunda dan kapal tongkang hanyalah pihak-pihak yang dipengaruhi berdasarkan interaksi dan melalui pilihan kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
10)  Kedua pihak tahu kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
11)  Pengadilan dengan akurat menghitung biaya dan manfaat dari perilaku dan tindakan masing-masing pihak yang berperkara dan mereka juga tahun angka-angka yang tertuang pada Tabel 19-1 dan benar-benar menerapkan dan meneriman standar kewajiban masing-masing pihak yang berperkara.


Model Dasar

            Tinjaulah sekarang ketentuan-ketentuan spesifik dalam contoh kasus yang kita ketengahkan, sebagaimana yang terlihat di Tabel 19-1, yang menampilkan sebuah contoh yang dirumuskan oleh Profesor Polinsky dalam karyanya pada bidang masalah ini (2003, hlm. 48). Seperti yang terlihat pada Tabel 1, pemilik kapal tunda dapat berada pada level kehati-hatian yang berbeda-beda menurut jalur pergerakan kapalnya berdasarkan salah satu dari tiga kecepatan laju kapal (speed). Kolom 2 menampilkan pertimbangan keuntungan bagi pemilik kapal tunda untuk memaksimalkan jumlah upayanya dengan sebarang cara. Menambatkan kapal lebih lambat mengharuskan pemilik kapal tunda memperoleh tambahan ganti rugi. Ekonomi mennyatakan tipe keuntungan ini disebut sebagai biaya peluang (opportunity cost) dan umumnya menganggap biaya ini dijadikan pertimbangan atas tindakan pihak lain yang berperkara. Kolom 3 menampilkan kedua pihak yang dapat mempengaruhi biaya kecelakaan yang diharapkan terhadap pemilik kapal tongkang. Sebagaimana yang terlihat pada kolom 3 dan 4, kita mengasumsikan bahwa pemilik kapal tongkang dapat berada pada salah satu dari dual eve; kehati-hatian, ia dapat memmbiarkan pemilik kapal tongkang tetap berada di posisi jalurnya atau memungkinkan pemilik kapal tongkang menyingkir dari jalurnya. Meskipun tidak dinyatakan pada tabel, kita dapat mengasumsikan bahwa biaya terhadap kapal tunda yang tetap berada di jalur geraknya bernilai posiif, namun sangat kecil ($1). Kolom 4 menampilkan total keuntungan yang diharapkan yang kurang daripada total biaya yang diharapkan – perolehan biaya sosial bersih – dari tindakan pihak lain menurut level kehati-hatian yang berbeda-beda.
            Efisiensi yang diperoleh – yakni, dampak yang meminimlakna baya kecelakaan dan memaksimalkan keuntungan sosial bersih – yang berlaku menurut kehati-hatian kedua belah pihak. Pemilik kapal tunda harus melaju pada kecepatan sedang, dan pemilik kapal tongkang harus memberi amaran bahwa kapal tunda tetap berada di jalur pergerakan kapalnya. Meskipun kolom 4 menunjukkan hasil yang efisien, kolom ini menampilkan perhitungan mengapa begitu hasil perhitungan efisiensinya, yang berguna dalam melakukan analisis perhitungan marjinal yang menjadi dasar penalaran ekonomi. Pergerakan laju kapal tunda yang cepat menghasilkan keuntungan terbesar yang diharapkan oleh pemilik kapal tunda ($150). Namun ditinjau dari nilai guna sosial, pergerakan kapal tunda yang berada pada laju sedang lebih dipilih karena biaya marjina; pemilik kapal tunda berada pada nilai sedang (B) yakni hanya $50 dari peluang biaya ($150-$100), sedangkan keuntungan marjinalnya jika ditinjau dari biaya kecelakaan yang diharapkan (PL) sebesar $75 (tergantung level kehati-hatian pemilik kapal tongkang, $125-$50-$75). Karena biaya penghindaran kurang daripada biaya kecelakaan yang diharapkan (B < PL), maka ditilik dari segi efisiensi, pemilik kapal tunda tidak segera melambat dengan cepat. Terlihat bahwa efisiensi juga mengharuskan pemilik kapal tunda tidak bergerak melambat karena biaya marjinalnya juga sebesar $50, sedangkan keuntungan marjinalnya hanya $30 (B>PL). Jadi, kriteria efisiensi menetapkan pemilik kapal tunda bergerak melambat pada kecepatan sedang. Demikian pula, pemilik kapal tongkang harus berada pada jalur pergerakan karena biaya marjinalnya selalu kurang dari keuntungan marjinal ($1<$20). Setelah menghitung dampak efisiensi, kita selanjutnya menetapkan sekumpulan standar kewajiban dalam memenuhi standar tersebut.
           





            Ditilik dari fungsi uamanya dalam melegitimasi hipotesa hukum positif, sekiranya terdapat terdapat suatu perkara yang memang memenuhi hipotesanya, maka hipotesa ini disebut hipotesa kasus Caroll Towing. Namun, ironisnya, para analis hukum ekonomi kebanyakan mengabaikan pertimbangan apakah Rumus Ekonometrika (Hand Formula) sebagaimana yang diterapkan pada kasus Kapal Caroll Towing benar-benar efisien., yang hanya menapilkan pertimbangan dan perhitungan secara abstra, karena perhitungan efisiensinya kemungkinan tidak berlaku jika berhadapa dengan kasus spesifik. Berdasarkan pertimbangan hipotesa positivisme,  kita akan menguji hipotesa ini sebagai suati peluang untuk menguji ulang hipotesa dengan menempatkan Rumus Ekonometrika dalam konteks yang sebenarnya.
            Untuk menentukan apakaha standar hukum United States Caroll Towung efisien, maka kita harus mula-mula mengajukan pertanyaan, apa yang dibandingkan dalam suatu perkara menurut efisiensi? Kaidah 1-6 sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 19-1 menampilkan standar enam kewajiban yang mungkin diberlakukan. Pertanyaan yang mesti dijawab dari kedua pihak adalah apakah kedua pihak berada pada level efisiensi jika ditilik dari tingkat kehati-hatian. Keputusan untuk memutuska ganti rugi didasarkan atas kewajiban masing-masing pihak yang berperkara (yakni, maisng-masing menanggung kewajiban, berdasarkan pertimbangan kehati-hatian ditinjau dari aspek efisiensi) dan apakah hasilnya efisien. Masing-masing kaidah tersebut didasarkan pada jumlah (kuantitas) waktu yang diperlukan dan dihitung menurut Rumur Ekonometrika.
            Penting untuk mengetahui bahwa kedua kapal sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 19-1 merupakan gambaran dari tindakan masing-masing tindakan pihak yang berperkara yang umumnya menganut kaidah kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak menurut Hukum Ekonometrika. Kaidah 3 adalah standar yang mengatur kelalaian, yakni tergugat berkewajiban menagugng biaya atas kelalaiannya apakah ia tidak memenuhi kehati-hatian ditinjau menurut efisiensi, namun pihak penggugat juga dikenakan kewajiban. Kaidah 4 mengatur standar “terbalik” (kewajiban yang ketat dimana pihak tergugat melakukan kelalaian). Kewajiban penggugat terjadi jika ia tidak memenuhi prinsip kehati-hatian atas kelalaian, tetapi sebalknya tergugat juga dibebani kewajiban. Di bawah standar Hhukum Ekonometrika Ekonomi yakni kaidah 2, tergugat dibebani kewajiban jika dan hanya jika penggugat melakukan  kehati-hatian ditinjau menurut efisiensi. Tetapi pihak tergugat tidak. (Standar ini, yang merupakan standarisasi hukum ganti rugi dasar, dan versi yang diberlakukan dala perkara tabrakan kapal Carrol Towing yang disebut sebagai “kelalaian atas tergugat atas kelalaian yang dilakukan pihak lain”). Sedangkan kaidah 5 menyatakan penggugat memenuhi kewajiban jika dan hanya jka tergugat berhati-hati tetapi penggugat tidak. (Ini disebut kaidah terbalik dua pihak yang mesti dipertibangkan dalam keputusan pengadilan).

Efisiensi Sebagai Norma

            Jika sebagaimana yang kita pahami dari uraian subbab seleumnya standar kewaijiban yang ditetapkan pada Rumut Ekonometrika Hukum dalam kasusu Caroll Towing tidaklah berdasarkan pada nilai paling maksimal efisinesi, jika ada alasan untuk mempercayai bahwa yuri (hakim) yang berhasil mempertimbangkan segi efisiensi pada kasus ganti rugi- atau setidaknya mereka cukup taat asas dalam membenarkan secara absah tuntutan dimana umumnya hukum cenderung mengarah pada pertimbangan efisiensi. Bahkan sekiranya suatu kasus dipertimbangka menurut efisiensi dianggak tidak memenuhi standar efisiensi, maka kecil alasan logis untuk yakin bahwa pengadilan mempertimbangkan aspek ekonomi yang akan mencapai keputusan yang memenuhi kriteria efisiensi. Lagipula, pengadilan dan yuri membuktikan bahwa sedikti atau tanpa memuat masud yang meminta berbagai sumber informasi yang tidak berkait sama sekali atauamat kecil kaitannya dengan pertimbangan efisiensi; mereka lebih mengacu pada persoalan-persoalan yang memfokuskan pada kasus atas beban tanggung jawab atau pemutusan kesalahan atas pertimbangan efisiensi (Feigenson, 2000).
           

            Meskipun analisis  sebeluknya mengajukan beberapa keraguan terhadap gagasan dan kaidah hukum yang dianut oleh positivisme hukum dan ekonomi, analisis menurut kaidah hukum positivisme juga memperhitungkan pertimbangan bahwa hukum dan eonomi menjadi pertimbangan analisis hukum. Meskipun penganut positivisme kini mengancu dan mempertimbangkan aspek perkara menurut positivisme, maka aspek normatif juga juga mesti dipertimbangkan dalam mencapai tuuan efisiensi sebagai tujuan relevam hukum dan menerapkan piranti hukum dan ekonomi guna memahami yang dapat memenuhi tujuan.
            Menurut kemaslahatan sejati dalam bidang hukum dan ekonomi berdasarkan kaidah normatif, yang digunakan dalam menelaah dan memutuskan dengan jelas perkara bagi pihak hakm maka pembaharuan kaidah-kaidah hukum yang tidak mesti harus efisiensi sebagaimana yang dikehendaki. Menurut standar pertimbangan kemaslahatan, ahli hukum ekonomi telah menerapkan kaidah-kaidah yang diatur dalam pasal-pasal yang mengatur tentang efisiensi, khususnya mengenai kaidah-kaidah hukum ganti rugi atau keputudan hukum ganti rugi. Dan ada beberapa karya hukum yang baik mengenai kaidah-kaidah utama pengetahuan hukum ekonomi (misalnya karya Landes & Posner, 1987 ; Shavell, 1987 ; Polinsky, 2003 , pp. 43 – 78; Posner, 2007 , pp. 167 – 213), yang menawarkan cara bagaimana seharusnya pengadilan beruapa memutuskan kasus-kasus yang berdasarkan pada pencapaian tujuan efisiensi menurut kasus-kasus ganti rugi yang terjadi. Pada sub uraian iat kita telah memperoleh pemahaman melalui kajian kita mengenai kasus Kapal Caroll Towing dalam mengembangakan daftar persoalan kasus secara menyeluruh dan parsial yang ditinjau menurut efisiensi – pengadilan dalam mengajukan pertanyaan ketika berhadapan dengan tuntutan ganti rugi. Karena pertimbangan ini, kita mesti mengembangkan pedoman umum yang berguna ditinjau dalam lingkup menyeluruh kasus. Namun demikian, upaya ini harus setidaknya mempertimbangkan segala sisis yang berguna sebagai cara untuk mempertimbankan beberapa uraian di sub-uraian selanjutnya.

            Misalkan efisiensi yang dianut menurut pertimbangan hukum yang dianut hakim ketika berhadapan dengan kasus ganti rugi. Maka halim harus memutuskan mula-mula bagaimana menetapkan ketentan hukun dan selanjutnya menetapkan tipeperlindungan hukum menurut kaidah-kaidah yang sudah berlaku dalam hukum. Jika biaya transaksi antara pihak-pihak yang berperkara rendah – dan khususnya jika ukuran atau pertimbangan objektif pengadilan atas kerusakan yang terkadi menyimpanga secara nyata dari pihak-pihak yang berperkara harus menetapkan keputuan bersama yang saling menguntungkan kedua pihak berdasarka pertimbangan kaidah-kaidah hukum perlindungan yag berlaku sebagaimana yang diatur dalam kaidah hukum kepemilikan (Posner, 1986, hm.49-50).
            Namun jika biaya transaksi dianggap tinggi untuk dapat dihindari, maka portensi kaidah kewajiban dijamin, sehingga pendahilan mesti mempertimbangkan dala keputusannya dengan mengacu pada standar-standar kewajiban yang paling efisiensi menurut kaidah-kaidah hukum ekonomi. Mula-mula pengadilan harus memfokuskan semata-mata pada level kepedualian masing-masing pihak yang berperkara, dengan menetapkan keputusan a[akah salah satu pihak ata kedua pihak dapat memberikan level kewajiban yang harus dipenuhi menurut level kehati-hatian yang akan mengurangi atau mereduksi tota biaya kecelakaan. Persoala dibagi atas dua pertimbangan, salah satu pertimbangan dikaji secara mendalam oleh akar hukum ekonomi dan pertimbangan lain apakah masing-masing pihak dapat melakukan penyesuaan ditinjau dari level kehatian-hatian masing-masing dalam menghindari kecelakaan dari kasus hukum. Jika level kehati-hatian kedua pihak dianggap relevan atau berhubungan, kecelakaan tersebut mempetimbangkan kedua pihak; jika hanya satu pihak dapat mempengaruhi biaya suati kecelakaan  dengan melakukan penyesuaian yang hanya mempertimbangkan salah satu level pertimbangan dari satu pihak saja, maka hubungan keputusan digolongkan dalam keputusan sepihak dan saalah satu pihak tidak dapat melakkukan penyesuaian level kehati-hatian dalam mengurangi biaya suatu kecelakaan, yang digolongkan sebagai hubungan kasus “tak lateral”.
            Pertanyaan selanjutnya yang dipertimbangkan adalah kemampuan membela diti akan menurut fakta memiliki pengaruh menguntungkan terhadap perilaku pihak yang berperkara dengan mengajukan apakah kewajiban ganti rugi sebenarnya memberi pengaruh yang menguntungkan pihak lain. Pertama, setiap pihak mempetimbangkan faktor eksternalitas bakan ketika ada resiko kewajiban gantu rugi. Misalnya, salah satu pihak tidak dapat mengurangi resiko yang dibebankan kepadanya, atau memperoleh jaminan yang secara substansial meniadalan dampak kaidah-kaidah keputusan hukum ganti rugi (Hanson dan Logue, 1990). Kedua, kewajibam ganti rugi sifatna berubah-ubah berdasarkan insentid yang memadai menurut tingkat kehati-hatian yang ditentukan dari ketentuan-ketentuan selain dairpada hukum ganti rugi (Shavell, 2007). Sejumlah sumberm misalnya regulasi pemerintah dan faktor-faktor ekonomi pasar, antara lain pasar asuransi yang berfungsi baik-yang dapat member asuransi atau insentif. Demikian pula ciri kerusakan atas resiko tertentu dapat menetapkan kewajiban satu pihak secara relatif memperoleh insentif yang kuat untuk mengindari beban kewajiban atas kecelakaan tanpa memandang apakah hukum ganti rugi pada tempo selanjutnya memutuskan kewajiban (Landes & Posner, 1987, hlm. 65; Croley & Hanson, 1995, hlm. 1913). Jika hukum ganti rugi dapat mempertimbangkan aspek lain atau memberikan cara untuk membela diri secara tidak efektif atas tuntutan salah satu pihak, funsginya tidak didapat dijadikan dasar pembenar sebagai piranti dalam mencegah kecelakaan pada masa selanjutnya.
            Memaksakan kewajiban ganti rugi pada salah satu pihak  akan menghasilkan pemenuhan level ganti rugi ditilik dari segi efisiensi yang dapat dihindari oleh pihak lain (B < PL).
            Jika salah satu dari persyaratan ini tidak dioenuhi, maka kewajiban tidak akan memberi pengaruh yang menguntungkan menurut level kehatian-hatian salah satu pihak yang berperkara. Kerana itu, jika hakim berhadapan dengan konteks hubungan non-lateral, ia aan memilih keputusan menurut standar kewajiban dengan menggunakan dan berpatokan pada kriteria selain dari kriteria penghindaran ata pembelaaan diri. Jika konteks kecelakaan tergolong sepihak (unilateral), maka tidak aa kewajiban mutlak, tergantung pada perilaku pihak yang berkaitan dengan perilaku pihak lain. Terkahir, jia konteks kecelakaan tergolong hubungan biletral maka pertimbangan dan keputusan hakim menurut efisiensi harus memilih beberapa satndar kewajiban yang tersedia atau ditetapkan. Selanjutnya, hakim dapat mengajukan pertanyaan lanjut apakah salah satu pihak dapat memastikan level kehatian-hatan pihak lain sebelum memutuskan apakah masing-masing memang berhati-hati. Jika tergugat dapat mengetahui level kehati-hatian penggugat, maka pengadilan dapat memilih standar yang menetapkan kewajiban tergugat ketika kedua pihak dianggap lalai (kaidah 3 atau kaidah 5). Jika di palin pihak, penggugat dapat mengetahui dan memastikan level kehati-hatian tergugat maka pengadilan dapat mengadopsi kaidah hukum 2 atau 4. Tentu saja, jika kehati-hatian tidak teramati terhadap tindakan kedua pihak, maka tak ada kaidah yang terpenuhi dari empat kaidah tersebut yang dapat digunakan sebagai dasar keputusan efisiensi, sehingga digunakan kriteria lain untuk memutuskan pilihan.
            Pengadilan dapat berkonfrontasi dengan bukt-bukti dalam suatu perkara ganti rugi, tentu saja, mencapai dan menarik kesimpulan dimana pihak penggugat atau pihak terggat tidak melakukan upaya penghindaran terhadap biaya ganti rugi kecelakaan maka tidak dapat dijadikan dasar kebenaran keputusan. Dalam konteks tersebut, pilihan standar kewajiban menghendaki pertimbangan mengenai pihak ang harus menanggung resiko biaya kecelakan yang tak tergolong kelalalain. Kaidah hukum 2 menetapkan tanggungan biaya bagi penggugat, sedangkan kaidah 4 dan 5 menetapkan tanggungan biaya bagi tergugat.Dari penjelasan di atas terlihat jelas bahwa ada dua kemungkina kesimpulan yang dapat diperoleh dari pemeriksaan pengadilan apakah penggugta atau terggat tidak dapat menghindari biaya kecelakaan yang memiliki dasar kebenaran hukum. Pertama, pengadilan dapat dipandang salah memutuskan perkara.Hal ini bisa terjadi setidaknya karena dua alasan, yang berpangkal dari kekeliruan informasi yang dterima: (1) pengadilan tidak dapat menetapkan level kehati-hatian kedua pihak berperkara untuk dapat dijadikan pertimbangan keputusan; (2) pengadilan tidak dapat menetapkan besar ganti rugimenurt level kehati-hatian. Akibatna, jika terdapat banyak potensi biaya yang tidak dapat di verifikasi, maka masing-masing pihak menanggung kewajiban bahkan sekiranya tidak ada bukti kelalaian. Disamping itu, pengadilan harus peka erhaap daya pembelaan diri, dan tidak hanya mempertimbangkan daya hindar terhadap kecelakaan yang terjadi. Kesimpulan kedua yang mungkin dapat diambil adalah hasil-hasil pemeriksaan pengadilan yang tidak menunjukan adanya kelalaian dimana memang pemeriksaan pengadilan membuktikan hal tersebut. Ketika kecelaaan terjadi tanpa perilaku kelalaian, maka biaya kecelakaan ditentukan pada pihak mana yang paling mampu menanggung biaya gantu rugi tersebut. Dengan kata lain, pengadilan harus memilih keputusan yang terbaik dalam memenuhi tujuan asuransi-yakni, keputusan dalam menetapkan resiko atas kecelakaan yang tak dapat dihindari terhadap pihak yang paling kecil menanggung biaya resiko kecelakaan. Jika penggugat dianggap mengalami resiko tanggungan biaya yang leboh besar, pengadilan harus menerapkan salah satu kewajiban lain atas tergugat. Jika tergugat dianggap tergolong  berada dalam resiko yang lebih besar yang memang terbukti tidak benar, maka penggugat harus bertangung jawab menanggung biaya kecelakaan tanpa kelalaian. Masalah akhir bagi penetapan keputuan yang berpatokan pada efisiensi barangkali mempertimbangkan biaya adminsitarasi. Pada konteks kecelakaan non-lateral, jika tidak ada kritera yang terbukti membantu dalam menunjang kritera penentuan level kehati-hatian, maka pengadilan menetapan keputusan tanpa standar kewajiban. Jika konteks kecelakaan ditilik dari hubunga bilateral, makan pengailan kemungkinan tidak mengetahui suatu kaidah hukum tertentu, melainkan memutuskan pertimbangan yang fleksibe menurut kaidah 3 dan 4, dimana rumus ekonometrika hukum hanya diterapkan.
            Meskipun daftar kaidah hukum ini tidak berarti berlaku terus-menerus, namun timbul persoalan atau pertanyaan dari kalangan hukum ekonomi mengenai apakah pengadilan melaksanakan keputusan hukum menurut hsil efisien sesuai dengan kriteria efisiensi dalam hukum ekonomi. Akan tetapi pembaca akan melihat dengan jelas persoalan ini. Meskipun pertimbangan efisiensi mengarah pada pertimbangan kewajiban yang sama sesuai standar yang ditetapkan dalam konteks kecelakaan tertentu, ada kemungkinan yang lebihbesar pertimbangan efisiensi yang berbeda akan menimbulkan implikasi yang bertentangan atas pilihan yang diputuskan diantara standar-standar kewajiban yang ada. Hakim atau ahli hukum ekonomi,harus beronfrontasi dengan tugas bagaimana menetapkan pilihan di antara faktor-faktor efisiensi yang menjadi pertimbangan satu sama lain.


Beberapa Keterbatasan Hukum dan Ekonomi
            Berbagai aliran pemikrian hukum dan  ekonomi sebenarnya amat tidak swa-kritis. Dtinjau dari pengaruh teori efisinesi, kita mengangap kewajiban khusus dengan merumuskan beberapa aspek yang menyangkut keterbatasam hukum dan ekonomi.
            Kekeliruang yang sebagia besar dikritik dari  aspek hukum dan ekonomi apakah kasus dapat diangkat dengan memeriksa kembali pertimbangan efisiensi sebagaimana yang dijelaskan di sub uraian sebelumnya. Mskipun ada kemungkinan pertimbangan efisiensi lain yang dapat digunakan, pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak dapat menjawab dengan tuntas persoalan-persoalan yang berkait dengan bagaimana pengadilan harus mengukr setiap pertimbangan atau keadilan antara satu pihak dengan pihak lain. Misanya, bgaimana pengadilan melakukan tindakan bertolak belakang menurut pertimbangan pembelaan diri atas level kehati-hatian? Atau misalnya bahwa semua pertimbangan pembelaaan menunjukkan arah yang sama, bagaiamana pengadilan menyanggah pertimbangan-pertimbangan jaminan gantu rugi yang saling berseberangan satu sama lain? Bagaimana biaya administrasinya atau ganti ruginya? Apakah kaidah-kaidah yang lebih ketat  selain kaidah 1  dapat menciptakan keuntungan yang melebihi biaya administratif atau ganti rugi? Dan bagaimana pengadilan menetapkan pilihan ganti rugi jika informasi yang diterima tidk sesuai danbiaya administrasi atau gati rugi yang dihasilkan melebihi apa yang ditentukan daam Rumus Ekonometika tersebut? Meskipun berbaga pertanyaan ini dapat dijawan apada level teori, namun sebenarnya tidak dapat secara nyata pada level praktek yang nyata. Persoalan yang dihadapi oleh para ahli hukum ekonomi adalah efisiensi menolak aturan normatif, yang secara sgnifikan efisiensi mempengaruhi kaidah alternatif yang harus ditempuh. Namun ekonom, sebagaimana halnya hakim, sangat dibatasi oleh biaya informasi dan karena tu, acapkali tidak dapat secara akurat memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan efisiensi yang saling bertolak belakang.
            Ahli hukum ekonmi mengalami keterbatasan atas persoalan ini sehingga harus menempuh salah satu dari dua cara – pertama pertimbangan empiris, kedua pertimbangan teoritis. Pertimbangan pertama adlah pertimbangan yang berdasarka pada aspek normatif, yang menghendak pemeriksaan empirs guna menimbang pertimbangan-pertimbangan efisiensi. Pilihan ini jarang ditempuh, dan jika memang ditempuh, maka resiko atas tanggungan akan melebihi keuntungan yang diraih. Sebaliknya menurut kaidah normatif diperoleh dari pertimbangan dan analisis yang bukan hana sekedar memperthitungkan aspek efisiensi, namun juga mendasarkan kesimpulan pada sesuatu yang berciri etika. Akan tetapi analisis normatif akan kehilangan daya normatifnya jika mengabaikan pertimbangan potensi efisiensi yang dapat terjadi. Dengan demikian, pendekatan ini harus tidak berpijak pada kekakuan ilmiah.
            Sebagaimana yang dikemukakan oleh Amartya Sem (1985) yang menyatakan bahwa tuntutan atau kebutuhan yang dapat dijajaki dapat berkonflik dengan analisis empiris dan barangkali merupakan hal yang paling lazim dan mengandung kritik yang potensial terhadap hukum dan ekonomi sebagaimana sesuatu yang tidak realitis dan tidak ilmiah.yang senantisa mempertimbangkan perilaku agen dalam masyarakat dan ekonomi (Jolls, Sunstein, & Thaler, 1998 , p. 1487). Ditinjau secara analis prediksi, kritik terhada[ pertimbangan yang lebih realitis mengenai manusia tidak dapat menggapai sesuatu yang riil dari kenyataan situasi yang dhadapi oleh manusia untuk bisa ditiru secara nyata dengan dibuat dalam pemodelan ekonomi (Jolls, Sunstein, & Thaler, 1998 , p. 1487) dan gagal menyuguhkan model perilaku manusia dalam menentukan pengambilan keputusa yang normatif perihal wilayah hukum yang dipandang berlaku optimal (Arlen, 1998 , p. 1788).
            Belum lama para ahli hukum melakukan kajian yang mendalam periha pertentangan antara pilihan rasional. Faktor-faktor di luar mnusia kadang jauh lebih memberikan pengaruh terhadap perilaku dibanding pendekatan ilmiah yang digunakan oleh ilmuwan daripada berdasarkan pada abstraksi (teoritis). Sebenarnya, banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kendali manusia dalam mempertimbangkan keputusan (misalnya struktur pengetahuan dan hubungan yang tidak jelas) dan faktor-faktor di luar kita yang jauh lebih berpengaruh atas perilaku ita sendiri. Para ahli yang menerapkan pendekatan uni disebut berpaham situasional atas realitas perilaku yang mengangap pemahaman yang tidak realitas yang digunakan dalam kerangka rasionalitas hukum dan bahkan merugikan (Hanson & Yosifon, 2004 ; Hart, 2005 ; Kang & Banaji, 2006 ).
            Sekali lagi dapat dinyatakan bahwa hukum dan ekonomi berada di antara pertentangan antara gagasan yang dianut oleh Amarthya Sen, yakni penyederhanaan dan relevasi masalah dalam memutuskan distribusi atau keadilan ekonomi. Ketika menganalisis efisiensi, salah satu ahli ekonomi hukum yang memberikan kontribusi yang berjalan saat yang dijadikan pertimbangan hukum yang cenderung mempertimbangkan aspek kemakmuran dan dampaknya buruk sebagai sesuatu yang dianggap tidak relevan (Cooter & Ulen, 2003 , pp. 7 – 10; Polinsky, 2003 , pp. 7 – 11, 147 – 56). Misanya, dengan meninjau ulang enam kaidah hukum sebagaimana yan dikemukakan yang berbeda (lhat Gamba 19-2) , terbukti bahwa ketik orang mengikuti kaidah 1 sampai 6, konsekuensi dostrbusi diperhitungkan secara setara berdasarkan hal yang menguntungkan pemilik kapal tongkang.
            Para ahli hukum ekonomi cendurung mengabaikan pengaruh ketika mempertimbangkan aspek efiisnesi menurut kaidah-kaidah  hukum yang berbeda untuk dapat diperbandingkan satu sama lain, dimana banyak orang kurang memperhitungkan total nilai guna sosial (atau utilitas) dibandingkan distribusi. Para ekonomi memberi pendapat dengan mengamati bahwa persoalan distribusi yang dipertimbangkan di  luar jangkauan pengetahuan ekonomi dan menyatakan bahwa institusi-institusi lain lebih baik dibekali dalam mencapai penyesusian tujuan distribus yang atas pengaruh hukum. Dengan demikian, realitas dan penyederhanaan masalah adaah dua hal yang berbeda.


Kesimpulan
            Sebagaimana kritik yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa hukum dan ekonomi ini bukan tanpa resiko (biaya). Pilihan untung-rugi antara memihak pada mazhab realisme dan memihak pada pengetahuan murni merupakan hal yang lumrah, hal inilah yang menjadi pertimbangan di kalangan ahli hukum ekonomi akan terus bertentangan. Namun demikian, dengan menyelami beberapa kelemahan dalam bidang hukum dan ekonmi tidak lantas memiliki dasar pembenar untuk mengabaikannya. Apapun resikonya (biaya gantu rugi dalam pengadilan), pertimbangan keputusan menurut hukum ekonomi juga meraih kelebihan Namun bagaimanapun, selagi tuntutan mempertimbangkan aspek efisiensi berperan sebagai tujuan huku, maka tidak akan banyak memberi banyak dukungan selama ada keyakinan yang berlangsung terus bahwa efisiensi harus menjadi tujuan sistem hukum.
            Asumsi-asumsi yang relevan atas mode berdsat lentur, sehingga hukum ekonomi dapat memberi sumbangsih bagi cara-cara yang penting dalam memahami pengaruh hukum, bagaimana seharusnya hukum diperbaharui guna memberi pencapaian tujuan efsiensi yang lebih baik atau mempertimbangkan biaya efisiensi dengan menetapkan tujuan yang berbeda-beda yang hendak dicapai.


TEORI HUKUM MAZHAB PEMIKIRAN KARL MARX (354-357).

Menurut Karl Marx dan Negel keduanya menampilkan pemikiran yang serupa perihal versi konsep “determinasi” yang lebih longgar. Barangkali konsep pemikiran yang paling dikenal dikemukakan oleh Engel yang tertuang dalam surat yang ditulisnya kepada March Bloch (tertanggal 21, September, 1890):
Menurut konsepsi materialisme sejarah, faktor penentu yang gamblang dalam pembentukan sejarah manusia adalah penciptaan dan penciptaan ulang sejarah ulang. Karl Marx dan Penulis menyatakan bahwa situasi ekonomi merupakan dasar yang menentukan dalam kehidupan nyata namun berbagai unsur ekonomi tersebut memuat unsur-unsur adi-struktur (superstruktur) – ideologi politik yang membentuk perjuangan kelas, yang tertuang dalam wujud konstitusi … bentuk yuridis, dan khususnya terwujud dalam semua perjuangan kelas sosial yang terlihat dalam sejarah perjuangan sejarah dan dalam beberapa hal menerukan wujud rillnya dalam tataran khusus. Terdapat interaksi dari semua unsur ini yang mendorong terjadinya perkembangan ekonomi (Marx dan Engels, 1975: hlm. 394-395).


          Versi konsep determinasi ini biasanya disebt sebagai “teori otonomi relatif”. Gagasan umum yang mendasarinya adalah bahwa hukum dan unsur-unsur lain dalam adi-struktur kelas sosial yang menciptakan dampak yang saling berhubungan terhadap kondisi ekonomi, yang menjadi contoh pembentukan sosial dan menentukan kondisi ekonomi.
            Banyak ahli penganut aliran Karl Marx mengenai hukum merumuskan versi konsepsi determinisme “yang lebih longgar”. Hal ini menciptakan tatanan ekonomi dan hukum

            Dengan bertumpu pada teori “konsep determinisme yang longgar” dan “otonomi relative” ini, namun tidak dapat menyuguhkan pijakan awal bago teori hukum Marxisme. Dalam bentuknya yang sederhana, sanggahan atas kedua konsep ini memberi peran yang masih kecil.
            Pijakan awal konsep awal dalam teori Marxisme dalam hukum dikaji oleh ahli hukum Sovyet yang mempelopori teori Marxis dalam budang hukum yang bernama Evgeny Pashuhakins, yang pada tahun 1920-an, merumuskan gagasan hukum berdasarkan teori Marxisme ((Pashukanis, 1978 ; Beirne & Sharlet, 1980 ). Pashuskins merumuskan teori ini secara gamblag dala teori hukumnya berdasarkan kerangka kerja yang pernah dikarang oleh Karl marx dalam bukunya berjudul Capital volume 1 yang menguak kajian yang gamblang mengenai konsep “komoditas” (Marx, 1970, bab 1) yang mengkaji tentang “kesalinghubungan antara hukum dan komoditas” (Pashukanis, 1978, hlm. 63). Gagasan pokok pikirannya adalah “hubungan hukum antara subyej-subyek yang menimbulkan dampak sebaliknya mengenai hubungan antara temaga produk tenaga kerja yang beralihfungsi menjadi komoditas” (1978, hlm. 85).
            Dalam wujudnya paling sederhana, Pahuskins memandang kontrak sebagai perwujudan hukum hubungan gagasan dalam teori kapitalisme”… “Teori Marxist perihal komoditas yang dinyatakan dalam “kontrak hukum” dalam hubungan sepahk antara pemilik alat produksi dan tenaga kerja yang terikat.




Hubungan Ekonomi dan Hukum


Persoalan inti dalam teori Marxisme dalam hukum adalah: apa peran hukum dala penciptaan dan penciptaan ulang hubungan ekonomi kapitalis? Ada sejumlah hubungan hukum yang menjadi bagian dari syarat terbentuknya hubungan ekonomi kapitalis. Hukum menyuguhkan dan menjamin lingkup kepemilikan dipandang dri aspek hukum. Perluasan atas penguasaan modal dan kompleksitas peredaran modal yang memerlukan suatu ideology yang dapat memproteksi berbagai kepentingan, yang mengarah pada kepemilikan mutlak.
            Hubungan hukum menunjukkan pengaruh khas. Aspek yang terpenting dari hubungan ini adalah terbentuknya hubungan hukum yang sebenarnya membentuk hubungan ekonomi. Contoh yang paling nyata adalah terbentuknya perusahaan modern dengan tanggung jawab yang terbatas; hal ini merupakan disebabkan oleh penciptaan hukum dalam pemahaman yang penting yang mengabsahka status hukum yang membatasi tanggung jawab dan menjadikan hubungan bukan hanya khas melainkan merupakan sarana yang memadai yang menunjang modal yang berasal dari berbagai sumber (Hunt, 1988). Demikian pula, kontrak modrn harus menganut perencanaan kobtrak dalam lingkup variabel-variabel potensial. Pemikiran yang srupa mempengaruhi pengembangan persoalan-persoalan yang terdapat pada kesepakatan kolektif antara tenaga kerja dan modal.



YURISPRUDENSI FEMINISME (Patricia Smith).



            Sejak tahun 1980-an, minat dan upaya yang menantang dalam studi hukum tercurah pada kajian yurisprudensi feminisme (lihat Smith, 1993). Pengetahuan hukum feminisme menampilkan karakteristik yang cukup beragam. Sebagaimana yang sudah lazim diketahui bahwa ada berbagai mazhab pemikiran mengenai feminisme, bukan hanya satu mazhab saja, dan oleh karena itu ada berbagai teori hukum feminisme, bukan satu saja. Pertanyaaan selanjutnya yang patut dikemukakan adalah apakah yurisprudensi feminisme itu dan mengapa penting untuk dikaji? Kesamaan ciri apa yang terdapat pada semua teori hukum feminisme dan ciri apa yang membedakannya dengan semua teori hukum lain? (Ciri apa yang berlaku sama dalam teori hukum feminisme?) Kedua, pengetahuan hukum apa yang dapat diperoleh dari teori hukum feminisme? (Apa dasar pembenar teori hukum feminisme sebagai yurisprudensi?) Ketiga, manfaat apa yang diperoleh dalam analisis yurispridensi feminisme? Sekiranya suatu yurisrudensi feminisme yang spesifik diterapkan, apa fungsi hukumnya? Pertanyaan-pertanyaan di atas dilontarkan sehubungan adanya penolakan terhadap yurisprudensi feminisme yang menyatakan bahwa: (a) yurisprudensi feminisme bukanlah yurisprudensi “yang memadai”; (b) yurisprudensi feminisme memihak diri; dan  (c) yuridprudensi feminisme tidaklah penting dari segi filsafat. Penolakan tersebut menafikkan legitimasi yurisprudensi feminisme sebagai suatu disiplin filsafat. Karena itu, patut kiranya masing-masing pertanyaan yang dilontarkan di atas maupun pernyataan penolakan terhadap yurisprudensi feminisme dikaji secara terpisah.
            Apa dasar pembenar “yurisprudensi feminisme” dianggap sebagai yurisprudensi? Yurisprudensi adalah analisis mengenai kaitan hukum, konsep-konsep dan prinsip-prinsip hukum. Dengan bertumpu pada analisis seperti itu, sahih kiranya teori hukum feminisme diterima sebagai yurisprudensi. Lalu mengapa timbul penolakan untuk menerimanya sebagai yurisprudensi? Penolakannya didasarkan pada argumen bahwa yurisprudensi feminisme mengandung makna yang kontradiktif. Yurisprudensi adalah analisis prinsip hukum universal yang netral, sehingga ditilik dari segi hukum feminisme dianggap memihak diri (self-interested). Namun logika argumen ini sungguh keliru: (1) feminisme dipandang memihak diri adalah argumen yang keliru; dan (2) yurisprudensi netral nilai (netral terhadap nilai moral ataupun politik) juga adalah argumen yang keliru.
            Feminisme menyanggah argumen (1) di atas. Yurisprudensi feminisme justru tidak memihak diri ketika diperhadapkan dengan yurisprudensi universal sebagaimana yang nyata berlaku, karena faktanya, patriakisme diterima sebagai analisis objektif prinsip dan konsep hukum yang netral. Sebetulnya, banyak yurisprudensi feminisme membuktikan bahwa yurisprudensi tradisional dan hukum tidaklah netral atau universal, tetapi termencengkan (bias) akibat budaya dominan yang berlaku, sehingga mengabaikan pihak lain (lihat Smith, 1993; Estrich, 2001; MacKinnon, 2006 ). Jadi, penolakan atas legitimasi yurisprudensi feminisme mendasarkan pada logika ciri yurisprudensi dan hukum yang dianut feminisme. Karena itu, penolakan ini mengandung kekeliruan mendasar dalam memandang objek yurisprudensi feminisme yang bukan bertujuan menata ulang (rekonstruksi) institusi hukum bagi kalangan feminis, malah merekonstruksi institusi hukum yang mengabaikan feminis. Yakni, bertujuan untuk menghapus kemencengan dengan alasan bahwa feminis memihak diri. Jadi, meskipun feminis memihak diri, memihak diri yang dimaksud di sini adalah memihak dalam membela diri yang bertujuan demi menegakkan keadilan, bukan memberi perlakuan khusus dirinya. Karena itu, argumen yang menyatakan bahwa feminis memihak diri yang tidak mengandung dasar pembenar sungguh keliru.
            Argumen (2) yang menyatakan bahwa yurisprudensi adalah netral adalah argumen yang keliru. Argumen ini hanya menafsirkan yurisprudensi pada lingkup spesifik. Pemahaman yurisprudensi dikelompokkan dalam pemahaman luas dan sempit. Dalam pemahaman luas, teori-teori yurisprudensi bertumpu pada teori-teori politik yang berimplikasi terhadap hukum. Misalnya, teori liberal, Marxis dan sosialis adalah sumber dalam memahami yurisprudensi (yakni, teori-teori hukum) dan berimplikasi terhadap teori-teori hukum. Ketika orang  mengutarakan yurisprudensi menurut paham liberal atau paham sosialis, pemahaman yurisprudensinya tergantung ideologi politik yang dianut. Jadi jelas bahwa pemahaman yurisprudensi dalam lingkup luas tidaklah netral, malah cenderung sebaliknya.
            Banyak (tetapi tidak semua) yurisprudensi feminisme berkait dengan satu atau lebih teori-teori politik ini. Misalnya, feminisme liberal sejak dirumuskan oleh Mary Wollstonecraft selalu menegaskan bahwa nilai-nilai liberal memberikan kebebasan sepenuhnya bagi kalangan perempuan, persis pula yang dikaji oleh Baer (2004). Sebaliknya, feminisme sosialis berpendirian bahwa prinsip-prinsip sosialis harus melenyapkan setiap upaya dominasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Jaggar (1983). Teori-teori feminisme acapkali mengabaikan perempuan atau mengakui diskriminasi jenis kelamin jika ditilik hubungannya dengan teori-teori umum politik. Disamping itu, yurisprudensi feminisme juga berkombinasi dengan beberapa teori-teori politik lain, seperti pragmatisme (Williams, 2001), teori postmodernisme kritis (Cornell, 2007), teori radikal murni (MacKinnon, 1989, 2006), teori ras kritis (Crenshaw et all., 1996), feminisme post-Kolonial (Mirza, 2006), atau studi hukum kritis (Minow, 1991; Rhode, 1997). Tak ada yurisprudensi feminisme yang berlaku tunggal, tak ada paham politik tunggal yang berkait dengan feminisme, kecuali feminisme itu sendiri, yang juga bermuatan paham politik (paham yang mendukung kebebasan dan keadilan bagi perempuan). Jadi segenap teori feminisme memuat paham politik. Bentuknya bervariasi tergantung kombinasinya dengan teori-teori lain.
            Disamping pemahaman berlingkup luas, ada pula pemahaman yurisprudensi yang berlingkup sempit yang acapkali berlaku setara bagi segenap yurisprudensi. Jadi, legitimasi pemahaman yurisprudensi berlingkup luas acapkali disangsikan, sehingga ada alasan dasar memandang yurisprudensi feminisme sebagai yurisprudensi “hakiki”. Pemahaman yurisprudensi berlingkup luas berbeda dengan pemahaman yurisprudensi berlingkup sempit. Namun pemahaman sempit yurisprudensi – setidaknya pemahaman yang menolak legitimasi yurisprudensi feminisme – terbuka untuk diperdebatkan.
            Pemahaman yurisprudensi berlingkup sempit umumnya menyangkut pertanyaan:       apakah hukum itu? Untuk menelaah pertanyaan ini, para filsuf memusatkan analisisnya pada konsep hukum, yakni konsep dan hubungan hukum, serta fungsi hukum khususnya penalaran hukum. Ditilik dari sejarahnya, ada tiga teori utama yang menyangkut ketiga konsep ini.
            Teori pertama adalah teori hukum dasar (natural law). Teori ini memandang hukum sebagai suatu prinsip penalaran yang mesti dilestarikan demi kemaslahatan umum oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk melaksanakannya. Hukum dasar antara lain menyatakan bahwa hubungan hukum dan moralitas adalah niscaya, sehingga hukum yang tak mengandung nilai moral dipandang tidak absah atau tidak ditolak.         
            Teori kedua adalah positivisme hukum (law positivism) yang mendominasi hukum di abad 19. Teori ini menyanggah teori hukum dasar sebagai konsep yang membingungkan perihal ukuran moral menurut hukum. Teori positivisme hukum memandang hukum tidak netral nilai. Penganut paham positivisme mendefinisikan hukum sebagai suatu sistem kaidah yang dijabarkan melalui prosedur resmi, mengikat bagi para birokrat dan dipatuhi oleh masyarakat.
            Teori ketiga, realisme hukum (legal realism) yang berkembang di abad 20, yang menyangsikan teori hukum dasar sebagai teori hukum yang samar dan adiabstrak (metaphysical), dan memandang teori positivisme hukum terlampau kaku dan abstrak.Teori hukum ini menyatakan bahwa hukum pada dasarnya menampilkan karakteristik sekaligus tak terpisahkan dengan ideologi politik, dimana teori ini memandang hukum sebagai penyelesaian perselisihan dengan menerima otoritas keputusan pengadilan; atau ringkasnya, hukum adalah apa yang diputuskan oleh para hakim. Para pengeritik teori-teori hukum ini terus memperdebatkan karakteristik dasar hukum dan fungsi yurisprudensi yang memadai hingga sekarang.
            Berdasarkan sejarah hukum yang dipapar di atas tampak jelas bahwa yurisprudensi tradisional terbagi menjadi dua sub-kategori: yurisprudensi normatif dan deskriptif. Pembagian ini dirumuskan oleh John Austin, tokoh positivisme hukum abad 19 yang menyumbangkan gagasannya dalam “menetapkan lingkup yurisprudensi yang dipandang tepat”. Menurut Austin, ranah yang layak bagi yurisprudensi adalah analisis deskriptif hukum positif, konsep dasar dan hubungannya. Menurutnya, analisis hukum normatif adalah ranah yang layak bagi perundang-undangan (legislation), bukan yurisprudensi, dan keduanya tidak mesti dikacaukan tafsirannya, sebab hukum dan moralitas seharusnya tidak dikelirupahami.
            Pengaruh kuat pandangan ini tertuang dengan jelas dalam Kamus Hukum Black’s Law Dictionary yang mendefinisikan yurisprudensi sebagai:
pengetahuan hukum yang fungsinya menjamin prinsip-prinsip yang bertumpu pada kaidah-kaidah hukum, yang bukan hanya berfungsi mengklasifikasi kaidah-kaidah hukum tersebut dalam tatatertib yang tepat … melainkan pula tata cara dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum yang meragukan berdasarkan kaidah-kaidah yang memadai. Yurisprudensi lebih menyangkut hal formal ketimbang pengetahuan materi hukum (material science). Yurisprudensi tidak bersangkut paut langsung dengan persoalan-persoalan moral ataupun kebijakan politik, karena persoalan-persoalan seperti itu berada dalam wilayah etika dan perundang-undangan.

            Definsi di atas menunjukkan dengan jelas pemecahan yang baik sekali perihal kontroversi yang berlangsung lama dan berkelanjutan antara teoritikus positivisme hukum (law positivism) dan teoritikus hukum dasar (natural law), karena definisi tersebut mengungkapkan dengan tegas positivisme hukum sebagai satu-satunya yurisprudensi sejati. Sungguh sayang, persoalan-persoalan filsafati kerapkali tidak mudah dituntaskan, dan barangkali peminat yang ingin mengkaji pengetahuan hukum dasar (natural law) tidak akan memperoleh jawaban-jawaban mereka dari definisi yurisprudensi di atas. Namun bagaimana pun, definisi yurisprudensi dalam kamus tersebut benar-benar menunjukkan kekuatan pengaruh positivisme hukum dalam dunia pemikiran hukum Amerika, serta ciri pendekatan dalam menyelesaikan masalah hukum sebagaimana yang disarankan oleh Austin. Dengan demikian, jelas bahwa pandangan ini menjadi alasan dasar untuk membantah argumen yang menyatakan bahwa feminisme netral bertentangan dengan definisi yurisprudensi.
            Aspek penting yang diwartakan dalam definisi Kamus Black ’s Law Dictionary adalah adanya upayanya untuk netral, mengikatkan diri pada kemencengannya sendiri terhadap semua teori kecuali satu, yakni mengadopsi definisi teori positivisme hukum dalam menetapkan persyaratan yurisprudensi: suatu definisi yang nyaris netral.
            Ciri hukum dipengaruhi oleh paham politik tidaklah dapat disangkal, sehingga bagaimana pun yurisprudensi tidaklah netral dan tentu saja bukan ditilik menurut definisi bersyarat (stipulative definition), karena memang paham pemikiran politik berimplikasi terhadap hukum sebagai persoalan pokok yurisprudensi. Dengan demikian, yurisprudensi tidaklah netral, dan menunjukkan bahwa asumsi yang mendasari penolakan atas legitimasi feminisme sebagai yurisprudensi adalah argumen yang keliru. Jadi yurisprudensi feminisme benar-benar sebagai yurisprudensi menurut positivisme hukum atau tidak tergolong yurisprudensi menurut hukum dasar (natural law). Hal ini tidak lantas dikatakan bahwa aliran positivisme hukum dan hukum dasar keliru. Penganut paham positivism hukum dapat mengklaim hukum dasar keliru, namun tidak keliru jika tidak menggolongkan yurisprudensi feminisme bukan yurisrudensi, dan demikian pula paham lain yang mengeritik feminisme.
            Pertanyaan yang lebih sulit dituntaskan adalah bagaimana menjadikan yurisprudensi feminisme sebagai feminisme yang khas? Keragaman paham feminisme memunculkan berbagai kritik (dan bahkan dari kalangan feminis sendiri) yang menyangsikan bahwa tak ada perspektif feminisme yang berlaku umum. Tak ada penjelasan yang membedakan yurisprudensi feminisme dari semua filsafat hukum lain. Semua paham feminisme sebenarnya adalah hasil dari jabaran mazhab pemikiran tertentu, sehingga teori-teori feminisme mengandung paham yang berbeda-beda. Feminsime liberal adalah turunan dari paham liberal, feminisme postmidernisme berkiblat dari paham postmodernisme Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa feminisme tidak menawarkan gagasan baru, atau teori yang khas. Hal ini karena penerapan teori-teori lama menimbulkan masalah pengabaian dan penindasan kalangan feminis.
            Lagipula, semua perempuan tidak menganut sudut pandang yang sama. Sekiranya dianggap sebagai satu pandangan, feminisme hanyalah pandangan beberapa kelompok perempuan yang berupaya mencerahkan kelompok perempuan lain. Faktanya bahwa mayoritas perempuan di seluruh dunia ada yang tidak setuju dengan paham feminisme, atau sama sekali tidak berupaya mengangkat masalah feminisme. Rupanya hal ni merupakan masalah bagi kalangan perempuan dalam merepresentasikan diri mereka. Ini adalah masalah yang begitu serius.
            Tak disangsikan lagi bahwa perempuan menampilkan keragaman potret sebagai manusia. Ada yang kaya, miskin, lemah, kuat, pendominasi, pasif, kelas sosial tinggi, kelas sosial rendah, rasional, irasional. Perempuan adalah bagian dari ras, kebangsaan, kelas, ataupun kelompok etnik. Jadi mengapa ada sudut pandang yang menyangkal feminisme? Upaya apa yang ditempuh kalangan perempuan secara umum?
            Apa yang kita saksikan ketika melihat perempan tunawisma ketika melintasi Grand Central Station, atau pemandangan lain yang belum pernah kita saksikan di kota kita? Apa upaya kalangan pendidik di universitas perihal prostitusi, ketergantungan obat, kelompok perempuan, eksekutif perempuan, kasir, atau perempuan yang menghuni panti jompo? Bagaimana kita berbicara atas nama mereka?
            Bagaimana potret perempuan secara umum tanpa memandang ras, kelas sosial, agama, jabatan, kebangsaan, kesukuan atau latar belakang? Perempuan hidup dalam dunia patriarki. Segenap peran perempuan berada dalam dunia patriarki. Fakta yang tak tersangkal lagi, ibarat udara. Segenap kalangan perempuan berada dalam suatu potret dunia yang menampilkan  realitas tertentu – suatu potret yang secara nyata dan sistematis terabaikan dari segi gender.  Sebagaimana yang diungkapkan dari sisi gambaran feminisme radikal, bahwa gender terkonstruksi secara sosial: dominasi laki-laki dan kelemahan perempuan, otonomi laki-laki dan pengekangan perempuan, dan pemujaan laki-laki dan pengerdilan perempuan, atau pembatasan perempuan, yang semuanya menjadi sebagai dasar pembenar karena kebutuhan dan perbedaan alamiah, atau pembatasan perempuan yang diungkapkan dalam jargon netral nilai (lihat MacKinnon, 1998, 2006). Bagaimanapun teori ini bukanlah dipungut dari mazhab pemikiran manapun.
            Feminis barangkali tidak sependapat satu sama laim perihal apa yang menyebabkan penolakan terhadap dominasi gender, atau pendekatan apa yang dapat ditempuh dalam meningkatkan kondisi perempuan, atau yang paling rentang terhadap kekerasan ataupun kekeliruan pemahaman. Mereka barangkali tidak sepaham esensi masalah. Namun demikian, semua teori feminism bertujuan untuk membebaskan perempuan dari dominasi gender.
            Dominasi jenis kelamin menampilkan berbagai bentuk. Dominasi ini ditemukan dalam sikap sosial perihal kasus perkosaan, penganiayaan istri, kekerasan seksual, iklan, dan tanggung jawab keluarga, untuk menyebut beberapa contoh. Kebanyakan sikap sosial tersebit tercermin dalam hukum. Sikap sosial ini adalah bagian dari jutaan pengaruh dan implikasi patriarki. Dengan demikian, keragaman teori-teori feminisme sebagian merupakan gambaran atas tindakan tak wajar dari patriarki dan variasi pengaruhnya beragam.
            Keragaman itu juga disebabkan oleh adanya perspektif lain perihal perbedaan pemikiran feminisme. Akibatnya, feminis mengadopsi berbagai pendekatan yang berbeda dalam mewacanakan patriakri. Misalnya, beberapa pendekatan memusatkan pada kegagalan global hukum dalam memecahkan secara memadai kekerasan terhadap perempuan dalam wujud perkosaan, mesum dan kekerasan rumah tangga (lihat misalnya., Schneider, 2000; Estrich, 2001; Manderson, 2003; Husseini, 2007). Pendekatan lain menganalisis ketimpangan akibat struktur ekonomi berjenjang, dan khususnya pembedaan antara keluarga dan ekonomi pasar (lihat misalnya., Olsen, 1983 ; Williams, 2001; Fineman, 2004; McClain, 2006 ). Perpepektif lain menelaah struktur nilai yang berkait dengan peran tradisional laki-laki dan perempuan, menurutu pandangan dalam hukum dan dibenarkan menurut pandangan agama (misalnya., Peach, 2002; Reed, & Pollitt, 2002; Mirza, 2006 ). Pendekatan lain juga menelaah penyimpangan gender akibat faktor-faktor lain dari identitas dan diskriminasi, seperti ras, kesukuan, kelas, ketidakberdayaan, maupun usia (lihat Crenshaw, 1989; Crenshaw et al., 1996; Roberts, 2002; Nussbaum, 2006 ). Semua pendekatan ini baik sebagian atau secara keseluruhan diperlukan. Masing-masing menelaah beberapa aspek kemencengan patriakri.
            Namun tidak lantas ada jaminan bahwa teori-teorifeminisme mengandung ciri khas yang sama. Untuk menelaah teori-teori feminisme itu khas, kita tidak membandingkan teori-teorinya satu sama lain, melainkan dengan pandangan anti-feminis atau non-feminis. Perbedaan-perbedaan ini akan memperlihatkan dengan jelas hal yang berlaku umum pada semua teori feminisme sekaligus pula apa yang berlaku khas pada masing-masing teorinya.
            Hal ini terlihat jelas dalam debat antara Cahtherine MacKinnon dan Phyllis Schlafly perihal masalah ERA sebagai contoh perselisihan pandangan anti-feminis terhadap feminis (lihat MacKinnon, 1989). Apa yang diperdebatkan? Fokus debarnya adalah seputar perbedaan pandangan perihal apakah peran tradisional laki-laki dan perempuan harus diubah atau terus dilestarikan. Bagaimana tradisi pemikiran ini dikemukakan tergantung pada sudut pandang masing-masing pihak. Penganut paham feminis menjelaskan pengaruh peran tradisional dan institusi ini sebagai dominasi jenis kelamin. Sebaliknya anti-feminis menganggapnya sebagai pelestarian nilai-nilai keluarga. Feminis berpandangan bahwa patriakri mesti berubah dan antifeminis mesti dipertahankan. Kedua paham setuju bahwa isu ini sungguh penting.
            Di sisi lain teori non-feminis memandang bahwa patriarki tidak dipandang penting. Namun feminis umumnya berpandangan adanya implikasi dan pengaruh patriarki yang relevan terhadap beberapa aspek dibanding yang dipahami non-feminis. Sebenarnya, aspek penting dari upaya feminis adalah memandu non-feminis, atau dengan kata lain, memperjelas pengaruh patriarki yang umumnya tak terselami. Misalnya, upaya feminis untuk memperjelas bahwa struktur institusi tertentu – seperti hukum perlindungan yang setara dibentuk terhadap norma-norma patriarki sebagai standar perbandingan (lihat Allen, 2005 atau Fineman and Dougherty, 2005), konsep-konsep seperti hukum perceraian dan tuduhan pemerkosaan (Etrich, 2001), atau kebijakan seperti non-intervensi atas kekerasan rumah tangga sebagai respek terhadap hak privasi atau keluarga (Schneider, 2000; Husseini, 2007), atau pemeriksaan yudisial (Minow, 1991) yang terbiaskan atau bermuatan nilai, yang dikatakan sebagai netral.
            Jadi, secara umum, anti-feminis mendukung patriarki. Non-feminis mengabaikan patrarki. Dan feminis menentang patrarki. Jadi, suatu gambaran yang mengidentifikasi atau menggolongkan suatu teori sebagai feminis, adalah perlunya perubahan patriarki sebagai fokus sentralnya. Dengan kata lain menjadikan yurisprudensi feminisme sebagai khas feminis tanpa memandang variasi teori-teorinya.
            Jadi yurisprudensi feminisme adalah yurisprudensi karena menganalisis hubungan hukum, konsep dan prinsip hukum yang mendasar. Yurisprudensi feminis tergolong feminis karena menguji dan menentang patriarki. Namun mengapa tidak ada upaya besar terhadap yurisprudensi secara menyeluruh ketimbang sub-kelompok kecil saja? Formulasi pertanyaan ini menyingkapkan sendiri jawabannya. Feminis mengklaim bahwa patriarki merupakan struktur tak adil yang tampak nyata dalam semua tatanan sosial, dan tujuan feminis adalah menata ulang struktur tersebut. Siapa pun yang menyangkal atas upaya ini, ia ibarat tuan feodal. Sekiranya seseorang memandang klaim ini dalam pemahaman sempit, hal itu karena ia tidak meyakininya, atau barangkali tidak memahaminya karena mesti dilakukan secara bertahap dan damai.
            Untuk memperjelas pandangan feminis bagi yang belum meyakininya, maka ada beberapa argumen instrumental yang dapat diberikan. Pertama, menurut sifatnya, hukum cenderung memelihara status quo. Hukum adalah suatu sistem tatanan yang bertujuan melestarikan stabilitas. Yakni nilainya; namun dapat pula sulit untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan, khususnya perubahan sosial sistematis berskala luas. Kedua, hukum biasanya mewujudkan nilai-nilai, sikap, harapan, dan anggapan budaya dominan (yang biasanya tergambarkan sebagai nilai-niai universal dan/atau netralitas atas fakta-fakta kehidupan).
            Gambaran ini menjadikan hukum sulit menyesuaikan diri terhadap keragaman dalam pola yang benar-benar terbuka dan sederajat. Namun dalam dunia yang diwarnai oleh perubahan sosia yang cepat, pluralisme dan keragaman global, maka keterbatasan yang dihadapi hukum tergolong serius. Jika hukum hendak diwujudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum, hukum mesti mengakomodasi perubahan sosial dan keragaman budaya yang lebih baik disbanding strukturnya dan tradisinya saat ini. Budaya dominan – pihak yang terus melestarikan kekuasaan, menjadikan hukum dan kebijakan pblik serta pengembangan institusi – akan lumpuh dalam memecahkan masalah ini.
            Sekiranya hukum berdiri demi keadilan, maka hukum mutlak adil bagi semua. Namun faktanya hukum tergerus dalam menjamin keadilan bagi pihak-pihak di luar budaya dominan. Masyarakat kulit hitam, penduduk asli Amerika (Indian), dan Cina (untuk menyebutkan tiga dari banyak contoh) serta kalangan perempuan tidak memperoleh standar keadilan yang sederajat sebagaimana sebagaimana yang dgaungkan dalam semboyan “keadilan untuk semua”. Ketimpangan ini belum terkoreksi. Bintik buta kita masih nyata. Analis feminis adalah salah satu lensa koreksi terbaik yang ada saat ini karena mereka bersuara dari posisi di pihak luar. Hal ini memungkinkan mereka menjadi lebih kreatif, kurang terikat oleh tradisi, kurang dibutakan oleh derajatnya sendiri.
            Feminis dibekali motivasi untuk merumuskan cara-cara mengakomodasi perubahan dan keragaman dalam hukum, karena program feminis adalah bagian dari perkembangan baru yang diabaikan, dan karena kalangan feminis adalah pihak yang terpencilkan secara hukum yang berikhtiar meminta pengakuan. Sebenarnya, beberapa karya feminis telah menyuguhkan kajian yang berguna perihal apakah norma itu netral atau menceng, dan bagaimana mekanisme hukum diperbaharui dan dikembangkan guna meningkatkan daya kelenturan dan kepekaannya.
            Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan di atas, yurisprudensi feminisme sudah barang tentu menjadi minat kajian umum. Yurisprudensi feminis adalah satu-satunya filsafat hukum yang tengah berkonfrontasi dengan patriarki sebagai isu utama.


< >