1. Penggunaan Penemuan Hukum
Kegunaan
Penemuan Hukum
Kegunaan dari penemuan hukum adalah mencari dan menemukan
kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau
benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum juga didalam
masyarakat.
Dalam
menghadapi kemungkinan-kemungkinan itulah seorang hakim atau pengemban profesi
hukum lainnya harus dapat menemukan dan juga menentukan apa yang dapat
dijadikan hukum dalam rangka pembuatan keputusan hukum atau menyelesaikan
masalah hukum yang sedang dihadapi.
Persoalan
pokok yang ada dalam sistem hukum antara lain adalah :
Unsur
sistem hukum, meliputi :
1.
Hukum undang-undang, yakni hukum
yang dicantumkan dalam keputusan resmi secara tertulis, yang sifatnya mengikat
umum.
2.
Hukum kebiasaan yaitu :
keteraturan-keteraturan dan keputusan-keputusan yang tujuannya kedamaian.
3.
Hukum Yurisprudensi, yakni :
hukum yang dibentuk dalam keputusan hakim pengadilan.
4.
Hukum Traktat : hukum yang
terbentuk dalam perjanjian internasional.
5.
Hukum Ilmiah
(ajaran) : hukum yang dikonsepsikan oleh ilmuwan hukum.
2. Jenis-jenis Penemuan
Hukum
1.
Interpretasi
Gramatikal atau Menurut Bahasa
Metode interpretasi
gramatikal yang disebut juga metode penafsiran obyektif merupakan cara
penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna
ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau
bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari
sekedar ‘membaca undang-undang.’ Dari sini arti atau makna ketentuan
undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Ini tidak
berarti bahwa hakim terikat erat pada bunyi kata-kata dari undang-undang.
Interpretasi menurut bahasa ini juga harus logis
2. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis
Interpretasi teleologis
atau sosiologis adalah apabila makna undang-undang ditetapkan berdasarkan
tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini undang-undang yang
masih berlaku tetapi sudah usang atau tidak sesuai lagi, diterapkan pada
peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli apakah
hal ini semuanya pada waktu diundangkannya Undang-Undang tersebut dikenal atau
tidak.
Interpretasi
sosiologis terjadi apabila makna Undang-Undang itu ditetapkan berdasarkan
tujuan kemasyarakatan. Peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan
dan situasi social yang baru. Ketentuan undang-undang yang using digunakan
sebagai sarana untuk memecahkan atau menyelesaikan sengeketa yang terjadi
sekarang. Metode ini baru digunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat
ditafsirkan dengan berbagai cara.
Di sini peraturan
perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru.
Jadi peraturan hukum yang lama disesuaikan dengan keadaan baru atau dengan kata
lain peraturan yang lama dibuat aktual. Dapat dikatakan bahwa setiap penafsiran
pada hakekatnya merupakan penafsiran teleologis. Makin asing suatu
Undang-Undang makin banyak dicari tujuan pembentuk Undang-Undang yang
disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
3.
Interpretasi
Sistematis atau Logis
Terjadinya
suatu undang-undang selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain,
dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari
keseluruhan sistem perundang-undangan. Setiap undang-undang merupakan bagian
dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Menafsirkan undang-undang sebagai
bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya
dengan undang-undang lain disebut dengan interpretasi sistematis atau
interpretasi logis.
4.
Interpretasi
Historis
Makna
ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan dapat juga ditafsirkan
dengan cara meneliti sejarah pembentukan peraturan itu sendiri. Penafsiran ini
dikenal dengan interpretasi historis. Ada 2 (dua) macam interpretasi historis,
yaitu:
a. Penafsiran menurut
sejarah undang-undang; dan
b.
Penafsiran menurut sejarah hukum.
Dengan
penafsiran menurut sejarah Undang-Undang hendak dicari maksud ketentuan
Undang-Undang seperti yang dilihat atau dikehendaki oleh pembentuk
Undang-Undang pada waktu pembentukkannya. Pikiran yang mendasari metode
interpretasi ini ialah bahwa Undang-Undang adalah kehendak pembentuk
Undang-Undang yang tercantum dalam teks Undang-Undang. Interpretasi menurut
sejarah Undang-Undang ini disebut juga interpretasi subjektif, karena penafsir
menempatkan diri pada pandangan subjektif pembentuk Undang-Undang, sebagai
lawan interpretasi menurut bahasa yang disebut metode objektif. Sedangkan,
metode interpretasi yang hendak memahami Undang-Undang dalam konteks seluruh
sejarah hukum disebut dengan interpretasi menurut sejarah hokum
5. Interpretasi
Komparatif
Interpretasi
komparatif adalah penafsiran dengan memperbandingkan. Dengan memperbandingkan
hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan Undang-Undang. Pada
interpretasi komparatif makan penafsiran peraturan itu dibenarkan dengan
mencari titik temu pada penyelesaian yang dikemukakan di berbagai Negara.
Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional ini penting. Di luar
hukum Internasional kegunaan metode ini terbatas. Interpretasi komparatif
dilakukan dengan jalan memberi penjelasan dari suatu ketentuan
perundang-undangan dengan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan
memperbandingkan hukum yang berlaku di beberapa negara atau beberapa konvensi
internasional, menyangkut masalah tertentu yang sama, akan dicari kejelasan
mengenai makna suatu ketentuan perundang-undangan.
5.
Interpretasi
Antisipatif atau Futuristik
Pada penafsiran Futuristik
maka dicari pemecahannya dalam peraturan-peraturan yang belum mempunyai
kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan Undang-Undang. Intepretasi ini
merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif. Metode ini dilakukan
dengan menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan berpedoman pada
kaedah-kaedah perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan hukum, Contohnya
pada saat undang- undang tentang pemberantasan tindak subversi yang pada saat
itu sedang di bahas di DPR akan mencabut berlakunya undang-undang tersebut,
maka jaksa berdasarkan interpretasi futuristik, menghentikan penuntutan
terhadap orang yang di sidik berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak
pidana subversi.
6.
Interpretasi
Restriktif
Disini untuk menjelaskan
suatu ketentuan Undang-Undang ruang lingkup ketentuan Undang-Undang itu
dibatasi. Cara penafsiran yang mempersempit arti
suatu istilah atau pengertian dalam (pasal) undang-undang.
Ini adalah suatu metode penafsiran dengan mempersempit arti suatu peraturan
dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa.
Contoh
: Menurut interpretasi gramatikal kata “tetangga” dalam Pasal 666 KUHperdata
dapat diartikan setiap tetangga termasuk seorang penyewa dari perkarangan
tetangga sebelah. Kalau tetangga ditafsirkan tidak termasuk tetangga penyewa,
ini merupakan interpretasi restriktif.
7. Interpretasi Ekstensif
Menafsirkan
dengan memperluas arti suatu istilah atau pengertian dalam (pasal)
undang-undang. Contoh:
Pada pasal 492 KUH Pidana ayat (1) “Barang siapa dalam keadaan mabuk di muka
umum merintangi lalu lintas, atau mengganggu ketertiban, atau mengancam
keamanan oranglain, atau melakukan sesuatu yang harus dilakukan dengan
hati–hati atau dengan mengadakan tindakanpenjagaan tertentu lebih dahulu agar
jangan membahayakan nyawa atau kesehatan orang lain, diancam dengan pidana kurungan
paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh
lima rupiah.
3.
Perbedaan Penafsiran dan Konstruksi Hukum
Berkenaan dengan hal tersebut, ada beberapa metode
penafsiran (interpretasi) ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:
1) Interpretasi
Gramatikal (interpretasi bahasa) atau tata bahasa (taalkundige, grammatikale
interpretatie) atau metode obyektif. Hakim menafsirkan kata-kata dalam teks
undang-undang apaadanya sesuai dengan kaidah bahasa dan kaidah hukum tatabahasa.
2) Interpretasi
Sistematis (Logis), menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan
menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan lain atau dengan
keseluruhan sebagai satu kesatuan dan tidak boleh menyimpang atau keluar dari
sistem perundang-undangan (sistem hukum).
3) Interpretasi
Historis, penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan
meneliti sejarah terjadinya (terbentuknya), meliputi penafsiran menurut sejarah
hukumnya (rechtshistorisch) dan penafsiran menurut sejarah terjadinya undang-undang
(wetshistorisch, penafsiran subyektif).
4) Interpretasi
Teleologis (sosiologis), Hakim menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan
kemasyarakatan dan bukan hanya daripada bunyi kata-kata undang-undang itu saja,
karena makna dari undang-undang yang masih berlaku sudah usang atau tidak
sesuai lagi untuk diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan
kepentingan masa kini.
5) Interpretasi
komparatif, penafsiran dengan memperbandingkan antara berbagai sistem hukum,
guna mencari titik temu atau kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang
pada suatu penyelesaian yang dikemukakan di pelbagai negara, lazimnya
penafsiran ini diperhunakan dalam perjanjian internasional ini penting.
6) Interpretasi
antisipatif (futusritis), hakim menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang
(ius constitum) guna mencari pemecahan kasus yang dihadapkan padanya, dengan
berpedoman pada kaedah-kaedah hukum yang terdapat dalam suatu atau beberapa
peraturan perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan berlaku dan belum mempunyai
daya kekuatan yang mengikat (ius constituendum), misalnya rancangan
undang-undang.
7) Interpretasi
Restriktif, hakim melakukan penafsiran dengan mempersempit (membatasi) arti
suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan bertitik tolak pada
artinya menurut bahasa, dengan menghubungkannya dengan persoalan hukum yang
dihadapkan pada hakim yang bersangkutan.
8) Interpretasi
ekstensif, hakim menafsirkan dengan memperluas arti suatu istilah (pengertian)
yang terdapat dalam suatu teks peraturan undang-undang yang berlaku.
Berkaitan dengan
interpretasi tersebut, juga dibutuhkan adanya penalaran logis (konstruksi),
yang terdiri 4 (empat) jenis yaitu:
1) argumentum per
analogiam (Analogi) atau Abtraksi, hakim dalam rangka melakukan penemuan hukum,
menerapkan sesuatu ketentuan hukum, bagi suatu keadaan yang pada dasarnya sama
dengan suatu keadaan yang secara eksplisit telah diatur dalam ketentuan hukum
tersebut tadi, tetapi penampilan atau bentuk perwujudannya (bentuk hukum) lain.
2)
Argumentum a contrario (a contrario), merupakan
cara penafsiran atau penjelasan undang-undang yang dilakukan oleh hakim dengan
mendasarkan pada pengertian sebaliknya dari suatu peristiwa konkrit yang
dihadapi dengan suatu peristiwa konkrit yang telah diatur dalam undang-undang.
Hakim mengatakan “peraturan ini saya terapkan pada peristiwa yang tidak diatur
ini, tetapi secara kebalikannya. Jadi pada a contrario titik berat diletakkan
pada ketidak-samaan peristiwanya.
3) Penghalusan hukum
(rechtverfijning) atau penyempitan hukum (penghalusan hukum) atau determinatie
(pengkhususan) atau Pengkonkritan hukum (Refinement of the law). Jadi Hakim
bukan membenarkan rumusan peraturan perundang-undangan secara langsung apa
adanya, melainkan hakim melakukan pengecualian-pengecualian (penyimpangan-penyimpangan)
baru terhadap peraturan perundang-undangan, karena rumusan undang-undang
terlalu luas dan bersifat umum, maka perlu dipersempit dan diperjelas oleh
Hakim untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa konkrit tertentu yang
dihadapkan padanya.
4) fiksi hukum
(fictio juris), yaitu dengan cara menambahkan fakta-fakta yang baru, guna
mengatasi benturan antara tuntutan-tuntutan yang baru dan sistem yang ada,
sehingga tampil suatu personifikasi baru di hadapan kita, yang bukan kenyataan.
Apabila ia telah diterima dalam kehidupan hukum, misalnya melalui keputusan
hakim, maka iapun sudah berubah menjadi bagian dari hukum positif dan tidak
boleh lagi disebut-sebut sebagai fiksi. Salah satu contoh fiksi hukum yang
penting yang masih diakui oleh dan digunakan dalam hukum modern adalah
“adopsi”, dimana seseorang yang sebetulnya bukan merupakan anak kandung dari
orang tua yang mengadopsinya, diterima sebagai demikian melalui fiksi hukum
dengan segala akibat yang mengikutinya.