Negara merupakan organisasi kekuasaan yang mengatur hubungan hukum setiap warga negara.
Hubungan hukum adalah interaksi yang timbul
dengan gesekan kepentingan, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban di antara
manusia. Hak dan kewajiban ini harus dilaksanakan oleh salah satu pihak, di mana
pihak yang satu melaksanakan kewajiban dan pihak lainnya menerima haknya.
Begitupun sebaliknya, pihak yang satu menerima haknya dan pihak lainnya harus
melaksanakan kewajiban.
Hukum
merupakan sebuah instrumen yang diperlukan bagi setiap negara. Dibentuk dengan
kesepakatan antara pemerintah dengan lembaga legislatif yang disebut DPR (Dewan
Perwakilan rakyat). Persenggamaan kepentingan antara pemerintah dan DPR
dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang merupakan hukum yang
wajib dan patut untuk ditaati serta dilaksanakan oleh warga negaranya. Ketaatan
warga negara tidak bisa terlepas dari sumbangsih pemerintah untuk
mensosialisasikan hukum yang telah dilegalisasi.
Keberlakuan
hukum dalam negara berbanding lurus dengan sikap masyarakat terhadapnya. Sikap
ini dapat dikaitkan dengan ketaatan masyarakat terhadap hukum. H.C Kelman
mengatakan bahwa terdapat 3 jenis ketaatan hukum yaitu ketaatan yang bersifat compliance, identification, dan internalization. Ketaatan compliance yaitu seseorang taat terhadap
hukum karena takut akan sanksi yang akan dijatuhkan kepadanya, kelemahan
ketaatan jenis ini karena membutuhkan pengawasan secara terus-menerus. Ketaatan
identification merupakan ketaatan
karena takut hubungan baiknya rusak karena perilaku pelanggaran yang dia
lakukan. Sedangkan ketaatan internalization
yaitu seorang taat karena betul-betul sesuai dengan nilai intrinsik atau pola
pikir yang dianutnya. Dari ketiga jenis ketaatan di atas, yang merupakan
ketaatan yang paling buruk adalah ketaatan compliance
sedangkan yang paling baik dan patut untuk dicontoh adalah ketaatan dengan
tingkatan internalization.
Di
dalam realitasnya, berdasarkan konsep H.C Kelman, seseorang dapat menaati
aturan hukum, karena ketaatan salah satu jenis saja, sepeti seseorang taat
hanya dengan tingkatan compliance, tidak
dengan ketaatan identification atau internalization. Juga dapat terjadi,
seseorang menaati suatu aturan, berdasarkan dua atau bahkan tiga jenis ketaatan
sekaligus. Selain karena aturan itu memang cocok dengan nilai-nilai intrinsik
yang dianutnya, sekaligus dapat menghindari sanksi dan memburuknya hubungan
dengan pihak lain.
Kataatan
tingkatan compliance merupakan
ketaatan yang dipraktekkan di Indonesia. Seorang menaati atau tidak menaati
hukum karena takut dikenakan sanksi. Ketaatan hukum jenis ini merupakan
ketaatan dengan jenis atau tingkatan yang sangat rendah. Dikatakan tingkatan
sangat rendah karena orang hanya taat aturan jika ada penegak hukum (polisi)
yang mengawasi. Sebagai contoh dapat kita temukan banyaknya pelanggaran lampu
rambu lalu lintas di jalan karena ketiadaan polisi mengawasi. Namun jika polisi
hadir dan turut mengatur arus rambu lalu lintas maka disini masyarakat seakan
patuh dan taat terhadap hukum. Ketaatan masyarakat bukan berasal dari hati
nurani sebagaimana ketaatan internalization,
akan tetapi ketaatan hanya sebatas karena takut dikenakan sanksi.
Ketaatan
dengan tingkatan internalization
sejak lama dipraktekkan oleh Jepang. Masyarakat merasa malu dan bersalah jika
melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum. Mereka senantiasa menaati hukum
walaupun tidak diawasi oleh polisi. Bukanlah pemandangan mewah melihat mereka
tetap menunggu lampu hijau walapun tidak ada kendaraan yang sedang melintas.
Sikap malu dan bersalah masyarakat merealisasikan prinsip supremasi moral dalam
penegakan hukum. Walaupun Jepang bukanlah negara agamis namun mereka senantiasa
menjaga dan merealisasikan prinsip moral yang merupakan pencerminan dari agama
(kitab suci). Berbeda dengan negara indonesia, dimana masyarakatnya agamis
namun sikapnya tidak mencerminkan nilai-nilai agama yang dianutnya dan
senantiasa melakukan pelanggaran dan kejahatan jika tidak sedang diawasi.
Rendahnya
ketaatan masyarakat indonesia tidak terlepas dari kinerja pemerintah.
Pemerintah sebagai representasi negara seharusnya memberikan pencerdasan hukum
kepada masyarakat. Pencerdasan hukum diberikan melalui pendidikan atau
sosialisasi terkait keberlakuan hukum atau undang-undang. Dengan pendidikan
atau sosialisasi tersebut, diharapkan mengubah pola pikir atau perilaku
masyarakat yang sebelumnya taat karena takut akan sanksi (compliance) menjadi taat aturan karena sesuai dengan nilai
intrinsik atau pola pikirnya (internalization).
Perubahan pola pikir masyarakat sesuai dengan fungsi hukum sebagai alat untuk
merubah masyarakat, dari tidak taat menjadi taat.
Pendidikan hukum hanya dinikmati
kaum mahasiswa dengan konsentrasi keilmuwan hukum. Pendidikan hukum sudah
seharusnya diberikan kepada masyarakat luas. Dengan pendidikan hukum diharapkan
menjadi wadah atau pun alat pencerdasan. Hal ini karena, objek dari keberlakuan
hukum itu adalah masyarakat dan asas hukum menyatakan bahwa setiap orang
dianggap tahu akan hukum . Efektif atau tidaknya hukum tidak terlepas dari
banyaknya masyarakat yang tahu dan taat. Jika kebanyakan masyarakat taat aturan
dengan ketaatan internalization, maka
dapat dikatakan bahwa hukum itu efektif.
Sosialisasi yang dilaksanakan pemerintah
pun hanya sebatas di gedung mewah
berkapasitas maksimal 50 orang. Dilakukan hanya menghadirkan kaum yang sudah
tercerdaskan seperti mahasiswa dan kaum intelek lainnya. Seharusnya pemerintah
mengadakan sosialisasi dengan melibatkan semua masyarakat yang belum mengetahui
akan adanya aturan, sehingga mereka akan segera sadar dan taat akan hukum. Namun
sayang kinerja pemerintah masih sangat minim dan seakan hanya digunakan sebagai
proyek akhir tahun guna menghabiskan dan menghamburkan anggaran rakyat.
Pemerintah
dengan kekuasaan yang dimilikinya seharusnya bisa dan mampu mengelola proses
pemerintahan demi kesejahteraan rakyat. Proses ini melibatkan kinerja
pemerintah dalam membuat dan mensosialisasikan hukum dan penegakan hukum yang
baik. Hukum dan penegakan hukum merupakan 2 hal yang saling berkaitan layaknya
sebuah koin yang masing-masing berada disisi yang berbeda namun dalam wadah
yang sama. Hukum sebaik bagaimanapun jika penegaknya buruk, maka hukum itu akan
ikut menajadi buruk. Sebaliknya walaupun penegak hukumnya baik, jika hukumnya
buruk, maka membuat hukum itu menjadi buruk.
Hukum
dan penegakan hukum yang baik akan membawa kepada kesejahteraan. Masyarakat
akan merasa aman dan tenteram jika berhadapan dengan hukum melalui interaksi
yang mereka lakukan. Sehingga akan membuat negara indonesia betul-betul menjadi
sebuah negara hukum sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi Pasal 1 Ayat (3)
yang menyatakan indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) bukan negara kekuasaan (machtstaat).